Suara itu, aku tidak kenal. Tetapi suara cempreng membuyarkan lamunanku.
"Lah!?? Kamu ternyata!!!"
Apakah ini sebuah kebetulan??? Tidak mungkin rasanya Aku bisa bertemu dengan Arka di tempat seperti ini. Tapi, tunggu dulu, kenapa dia bisa ada di sekitaran daerah sini?? Ini kan masih daerah elite. Tidak mungkin dia hanya sekedar pergi berjalan-jalan ke tempat ini.
"Ngapain kamu datang ke tempat ini???" Pertanyaan aku itu, sejujurnya tidak mendesak sekali untuk ditanyakan. Akan tetapi, aku begitu penasaran. Lebih baik aku tanyakan saja daripada rasa penasaran itu menjadi semakin berat, rasanya. "Lah, aku barusan mengantarkan beberapa pesanan sop tomat ke daerah sana. Hmm, apa ya, nama daerahnya?? Aku tidak tahu. Yang jelas aku baru saja berasal dari sana." Tangan bocah itu menunjuk-nunjuk ke arah timur. Coba aku ingat lagi, ah!! Itu dia!!! Berarti dia baru saja mengantarkan apa yang disebut "pesanan" ke tempat pesta anak-anak itu. "Begitu rupanya," aku berbicara cetus.
Aneh sekali, rasanya. Padahal, ini adalah pertemuan kedua kami. Sebelumnya tidak pernah bertemu. Jangankan demikian, mengetahui bahwa ada seorang bocah kumal bernama "Arka" saja aku tidak tahu sebelumnya. Lah, kali ini, di pertemuan kedua ini, dengan santainya kami berbicara satu sama lain. Aku begitu penasaran. Mengapa hal ini bisa terjadi.
"Aku memiliki banyak sekali pertanyaan, apa kau bisa menjawabnya? Maksudku, apa kau bisa meluangkan waktumu, hmm, paling lama satu jam untuk memuaskan rasa keingintauanku terhadap dirimu??" Aku tidak salah berbicara, kan?? Aku tidak salah memilah kata-kata, kan?? Pasalnya, aku lihat wajah bocah itu begitu kebingungan. Jangan sampai ada kesalahpahaman di sini. "Bisa. Lagipula, aku juga sudah izin ke nenek bahwa aku hanya akan pulang ketika malam sudah tiba. Jadi, tidak masalah menurutku."
Fiuh.... syukurlah kalau begitu. "Baiklah. Hmm, kalau begitu, lebih baik jika kita menentukan tempat terbaik bagi kita untuk berbagi pikiran. Rasa-rasanya, tidak mungkin kita berbicara lama-lama di tengah jalan seperti ini. Selain menganggu pemandangan dan bakal menghalangi para penunggang yang akan lewat, juga pasti akan mengundang banyak kecurigaan. Kok bisa, seorang kere macam kamu berlama-lama berada di daerah ini?? Padahal kamu tidak sedang bekerja, kan??" ucapku.
Arka memandang wajahku jengkel. Wajar saja sih, aku barusan menyebutnya kere. Tapi, mau bagaimana lagi. Memang seperti itu lah kebiasaan yang terjadi di daerah sini. "Semua orang-orang kaya itu, sama saja. Tapi, tentu aku setuju dengan saranmu itu. Lagipula, aku tidak ingin ditangkap karena dituduh melanggar batas wilayah kaya-kere nantinya. Jadi, maunya dimana?? hayo." Orang ini cukup menyebalkan juga ternyata. Akan tetapi, aku tidak terlalu memikirkan hal itu. yang terpenting sekarang adalah memikirkan tempat terbaik bagi kami berdua untuk bertukar pikiran.
"Bagaimana kalau di taman desa?? Itu tempat yang netral, kan?? Seharusnya tidak terjadi masalah apa-apa di sana." Aku sangat yakin bahwa ide aku itu sangat bagus. Akan tetapi, si Arka ini malah mengubah ekspresinya manjadi sangat serius. Wajahnya dia tundukkan ke bawah, sedikit. Lalu, tangan kanannya memegang dagunya sekarang, dengan tangan kiri menopang tangan kanannya itu. Apa yang sedang dia pikirkan, sih?? Apa ide itu dirasa jelek baginya?? Bagaimana mungkin bisa seperti itu!! Meski Arka ini berasal dari daerah kere, bukan berarti dia betul-betul terbelakang dari segi intelektual juga.
"Tunggu dulu. Sebenarnya, kamu ingin membahas masalah yang bagaimana?? Apa itu cukup sensitif atau bagaimana?? Aku khawatir, kalau masalahnya cukup sensitif atau kalau kamu ingin menyerangku karena latar belakang, aku takut kamu akan digebukin di taman itu. Ingat! Meski zona netral, tempat itu pada kenyataannya lebih sering dikunjungi oleh para preman kere yang sedang sakaw karena sedang nganggur. Lebih baik, pikirkan sekali lagi dengan matang-matang."
Wow, tidak aku sangka bocah ini cukup pandai juga. Tidak ada ide yang dia utarakan itu terpintas di dalam benakku tadi. Dan mungkin, secara jujur, aku harus mengucapkan "terima kasih" kepada anak ini. Memang benar, pertanyaanku nanti lebih bersifat menyudutkan dia yang berasal dari kalangan kere. Andaikata dia tidak mengutarakan pertimbangan itu, pastilah aku habis boyok-boyok di tangan para preman-preman yang memang suka nangkring di sana.
"Ya sudah, cepat ikut aku. Aku tahu tempat yang benar-benar aman untuk pembicaraan sensitif."
***
Hari sudah tidak panas lagi. Hawa dingin dari perbukitan yang mengelilingi TarukoPedang perlahan-lahan turun menyelimuti desa ini. Praktis, sudah banyak masyarakat desa yang tumpah ruah di berbagai kedai kopi saat sekarang ini. Para kaya bersantai sebentar sebelum menghitung berapa banyak harta yang berhasil mereka timbun hari ini. Para kere yang kebanyakan bekerja sebagai petani atau pengembala sudah kembali ke desa, khusus bagi pengembala mereka memasukkan kembali hewan ternaknya ke kandang terlebih dahulu. Para kere tentu ingin bersantai dan melepas penat setelah seharian penuh dibantai oleh panas mentari. Mungkin secangkir kopi pahit sudah cukup untuk mereka.
"Nah!!! Di sini lah kita akan saling bertukar pikiran, Arka." Akan tetapi, sekali lagi, respon bocah itu tidak sesuai ekspektasiku. Dia bengong dan hanya melihat-lihat ke arah sekitar. "Di sini?? Seriusan di sini tempatnya??" Predikat "Pria paling membosankan" dan "Pria yang paling bikin kesal" memang cocok disematkan kepada bocah satu ini. Jelas-jelas tadi aku mengatakan, "Di sini lah kita akan saling bertukar pikiran..." berarti memang inilah tempatnya. Apa kalimatku itu tidak affirmatif menyatakan bahwa ini tempatnya ya?? "Ya, memang ini tempatnya. Memang kenapa??" Aku berusaha meladeni orang ini baik-baik. Tentu saja, karena setelah ini dia yang harus meladeniku baik-baik.
"Bukan begitu. Kita sekarang berada di tengah padang rumput yang luas. Apa ini tidak masalah untukmu?? Kalau bagi orang kere seperti kami, bermain-main di tempat seperti ini bukanlah sebuah masalah. Aku takut kalau aku dituduh sebagai bocah yang berusaha meracuni pikiranmu dengan kebiasan bocah-bocah kere. Tempat ini, aku takut kamu tidak terbiasa dengan tempat ini. Nanti kulit kuningmu itu lecet, gimana? Maksudku, memang tidak berdarah, akan tetapi banyak sekali kutu-kutu penghisap darah di sekitaran sini. Nanti sekujur tubuhmu dipenuhi bintik merah bekas gigitan serangga. Ah, iya, jangan lupakan juga bahwa banyak nyamuk di sekitar tempat ini."
Sebenarnya aku tidak begitu paham. Apa Arka mengatakan hal itu murni karena dia merasa khawatir, atau karena saking takutnya dia akan terlibat masalah nantinya??
"Tidak apa. Aku juga sering berada di tempat ini. Alasannya?? Sudah jelas, kan?? Di seberang sana adalah pemadangan lepas, di selatan itu. Kalau memilih padang rumput yang lain, jelas-jelas kita hanya akan memandangi perbukitan yang semakin gelap. Lagipula, padang rumpur di sini bersih-bersih. Maksudku, tidak ada kubangan ataupun genangan air di sini. Jadi, setidaknya tidak separah padang rumpur lain yang mengitari desa."
Arka masih saja bingung. Apa ada yang salah?? Tidak ada, kan?? Lalu, untuk apa memasang wajah menyedihkan itu di hadapanku???
"Sudahlah. Daripada kamu bengong melulu, lebih baik segera menikmati keindahan dan ketenangan di tempat ini," kataku. Aku langsung merebahkan diri. Memang, rasanya tidak senyaman merebahkan diri di atas kasur. Akan tetapi, sensasi yang dihasilkan dari aroma rerumputan, hal itu menjadi suatu nilai khas tersendiri. Meski terlahir dari keluarga yang kaya, tentu aku tidak ingin sepenuhnya hanya bergantung kepada gaya hidup kalangan kaya. Beberapa kali aku melanggar aturan, seperti: tidak mandi selama tiga hari, selama seminggu aku selalu jalan-jalan ke hutan, ataupun sekali pernah aku ikut-ikutan menangkap lobster di selokan yang kotor. Apa masalahnya melakukan hal semacam itu?? Takut jadi kotor?? Takut kena penyakit?? Malahan aku melihat kalangan kere yang paling jarang sakit. Rumah sakit desa justru bertindak sebagai mesin penyedot harta kami saja.
"Jadi, apa sebenarnya yang ingin kamu tanyakan kepadaku??"
Tanpa aku sadari, ternyata Arka sudah duduk santai di sampingku. Duduk bersila dengan sembari dua tangan bertindak seperti penyangga tubuhnya dari belakang. Aku yakin, pasti dia juga menikmati sensasi yang ditawarkan oleh penampakan alam desa kami sore ini. Wajar sih, selama dua bulan belakangan hari selalu hujan terus menerus. Daerah tempat tinggal Arka pasti mengalami banjir. Dari informasi yang aku dengar, setidaknya ada tujuh orang kere yang hilang saat banjir tiba. Entah karena tenggelam atau bagaimana, keberadaan mereka nyaris tidak diketahui sampai sekarang. Setidaknya Arka sedikit beruntung karena kedai neneknya tidak terdampak. Jadi, arus pelanggan sop tomatnya masih terjaga, setidaknya dari para pengembara yang datang dari arah selatan ini.
"Apa kamu pernah mandi, Arka??"
"Hah!!? Pertanyaan macam apa itu?? Tentu saja!!! Itu, itu tidak sopan sekali, tahu!!!"
Aku sudah menyadari sedari awal, bahwa kebanyakan pertanyaanku akan membawa reaksi negatif dari Arka. Tapi, mau bagaimana lagi, karena aku ingin, "Sebenarnya, aku hanya ingin meluruskan beberapa pandangan umum yang sering aku dengar dari kalangan kaya mengenai kalangan kere. Aku tidak bisa menerima segala macam rasa benci tidak mendasar kaum kaya terhadap kaum kere. Mumpung ada kamu dan kamu bersedia untuk aku wawancarai, ya sudah, aku lanjutkan saja." Arka hanya mengangguk-angguk kecil. Aku yakin, dia pasti sangat paham apa yang aku maksud. Mungkin juga dia selama ini sering kesal terhadap perlakuan ataupun pandangan orang kaya terhadap golongan kere seperti ini. Keberadaan seorang kaya sepertiku ini, bisa dikatakan sebagai suatu pembeda baginya.
"Mantap juga keinginnanmu itu. Jarang-jarang ada yang mau, maksudku orang kaya yang mau bertindak seperti dirimu. Tapi, apa benar itu hanya murni karena kamu tidak ingin menerima secara mentah-mentah apa yang selama ini orang-orang itu katakan kepadamu??" Aku tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Aku ingin memikirkan jawabannya dulu, matang-matang tapi. Karena tentu, aku lebih suka berpikir dulu sebelum bicara daripada sebaliknya.
"Bisa dikatakan seperti itu, Arka. Tapi, tentu aku tidak mengetahui motif tersembunyi yang ada di dalam diriku. Maksudku, terkadang timbul keinginan jahat lain di kemudian hari." Jawaban yang aneh. Tapi memang hanya itu yang ada di dalam kepalaku waktu itu.
"Ya sudahlah. Lanjutkan saja pertanyaannya."
Aku berpikir dulu sejenak, lalu, "Selama ini kamu dibesarkan di keluarga yang kere. Aku ingin tahu, bagaimana caramu melewati hari-harimu selama ini??" Menurutku, pertanyaan semacam itu cukup relevan.
Arka menggaru-garuk kepala sebentar. Mungkin dia cukup kebingungan mau menjawab apa. Atau, apakah selama ini dia hanya melewati harinya secara sia-sia?? Atau, jangan-jangan dia tidak memiliki kenangan khusus untuk diberitahukan??
"Ada, banyak. Tetapi, aku tidak tahu harus memulai dari mana," keluhnya.
"Hmm, ya sudah. Bagaimana kalau kamu ceritakan berdasarkan periode-periode tertentu di dalam hidupmu. Aku yang batasi deh. Ceritakan dari masa awal ingatan kamu, sejauh yang kamu ingat, masa sebelum sekolah, masa sekolah dan masa sekarang."
"Nah, kalau begitu jauh lebih mudah menjawabnya sekarang. Sejauh-jauh aku masih mengingat, tentu saja bahwa dulu aku sempat dibesarkan oleh kedua orang tuaku. Entah karena alasan apa, mereka pergi meninggalkan desa dan meninggalkan aku bersama nenek Nyon. Setelah itu, hmm, mungkin hanya diisi oleh masa-masa kenakalan. Aku suka memanjat berbagai pohon yang sedang berbuah lebat. Aku suka sekali mencuri buah-buah itu. Ketika pemilik aslinya datang, aku langsung cabut dengan perut kenyang dan hati gembira. Tidak patut dicontoh sih, tapi tidak semua buah yang aku ambil adalah hasil curian. Sedikit diantaranya aku ambil setelah meminta izin terlebih dahulu.
Waktu kecil aku suka bermain-main ke hutan. Entah mengapa, nenek Nyon jarang memarahiku. Padahal, jika aku menengok beberapa bocah lain, kebanyakan dari mereka dimarahi oleh orang tua mereka, atau wali, sepulang berkelana dari hutan di perbukitan. Aku juga suka mandi di sungai di dekat bukit itu (menunjuk ke salah satu bukit di bagian barat). Ya, seperti yang kamu tebak. Aku memang melakukan aktifitas mandi, tetapi hanya di sepanjang aliran sungai itu saja. Aku tidak pernah mandi menggunakan sabun, seperti halnya kalian. Lalu, hmm, aku juga tidak pernah menggunakan pakaian ketika berada di luar. Ya, suka telanjang dada seperti ini. Tetapi, tentu kisahnya berbeda ketika aku bekerja di kedai. Aku harus menggunakan pakaian, biar higienis kata nenek. Aku pikir, cukup itu saja yang bisa aku jelaskan."
Aku cukup puas dengan penjelasan itu. Memang tidak detail, akan tetapi cukuplah untuk takaran jawaban seorang kere. Tapi, "Tunggu dulu. Bagian sekolahnya bagaimana?? Terus, karena kamu jarang berpakaian begini, makanya kulitmu benar-benar terlihat seperti manisan cokelat??" Arka menjawab ketus, "Tidak ada bedanya antara kegiatan bersekolah bocah kere dengan bocah kaya. Terus, apa salahnya kalau kulitku seperti ini?? Lagipula, aku seorang bocah dari kalangan kere, tidak bakal ada yang curiga atau menaruh rasa prihatin kalau tampilanku seperti ini."
Hmm, setelah aku pandangi lebih detail lagi, ternyata Arka ini cukup bersih juga tampilannya. Meski suka sekali telanjang dada, akan tetapi tidak sekumal yang aku pikirkan sebelumnya. Lebih dari itu, wajahnya pun tidak terlalu minyakan, minim jerawat dan terlihat cukup halus. Pokoknya, tampilan Arka tidak seburuk yang aku kira. Sepertinya, aku perlu mengucapkan, "Maaf kalau aku sempat memiliki pemikiran yang jorok tentang dirimu. Mungkin karena latar belakangku lah yang menyebabkan pemikiranku jadi sempit seperti ini. Tapi, lupakan saja masa lalu itu. Setelah pembicaraan ini, aku berharap semoga hubungan kita bisa lebih baik ke depannya." Suatu ungkapan yang tulus. Jarang-jarang aku seperti ini.
"Wah, tidak ku sangka, ternyata ada juga kalangan kaya seperti ini."
"Tapi, tetap saja tubuhmu itu baunya masam. Aduh, aku tidak suka dengan bau ini. Sekarang, cepat mandi sana!!!"
"Enak saja, jaga baik-baik mulut itu!!! Memangnya kau pikir kau ini harum, hah?? Bau parfum itu sudah bercampur dengan bau keringatmu. Jadi, jangan berlagak aneh-aneh!!!"
Menyebalkan, sekali ini aku dikatain seperti itu. Tidak terima, aku tidak terima!!!
"Sudahlah, jangan membicarakan hal tolol itu lagi. Â Ya sudah, aku akan mengalihkan topik pembicaraan kita. Aku hanya ingin bertanya, andai suatu hari nanti kamu diusir dari tempat ini, mau pergi kemana??" Hmm, benar-benar kacau yang satu ini. Apa aku terlalu berterus terang?? Akan tetapi, kalau hanya sekedar basa-basi saja, rasanya hal itu justru semakin menyita waktu. Hari juga semakin gelap. "Hmm, pertanyaan yang menarik. Tapi, beri aku waktu sedikit ya. Lima menit deh. Aku akan memberikan jawaban yang terbaik."
Apa benar Arka ini orangnya ramah?? Pernyataan-pernyataan yang dia keluarkan cenderung mendamaikan. Memang benar, dia sempat beberapa kali terlihat jengkel. Tetapi, harus aku akui bahwa memang karena kesalahan aku juga yang menyulut amarah dia. "Baiklah. Lima menit itu cukup, aku pikir. Aku menunggu, sembari aku tidur-tiduran sebentar di atas padang rumput ini."
Arka tidak menjawab. Wajarlah, tidak terlalu mendesak juga pernyataanku terakhir untuk dibalas. Aku memang tidak mengetahui bagaimana Arka sekarang, akan tetapi tentu saja dia sedang berpikir sekarang. Sudahlah, aku ingin menutup mata ini sebentar. Yang penting aku ingin melewati jeda waktu lima menit ini dengan sekejap. Pejam mata, pejam mata, pejam mata.
***
Dimana ini?? Apa aku baru saja memasuki alam mimpi?? Masa iya bisa secepat itu?? padahal aku baru saja lima detik memejamkan mata. Aku tidak memiliki massa saat sekarang ini, rasanya melayang-layang. Begitu juga pikiranku, tidak ada, kosong. Syukur sekali aku masih memiliki kesadaran di saat-saat seperti ini.
Tiba-tiba dada ini terasa begitu sesak. Apa yang sedang terjadi? Apa yang salah? Aku berusaha membangunkan diri sendiri, tetapi gagal. Semakin lama dada ini terasa semakin sesak. Bahkan, aku sampai berpikir bahwa aku tidak sanggup lagi melihat hari esok. Apa aku mati di atas padang rumput itu, di samping Arka?? Sungguh malang, baik aku atau Arka. Malang sekali aku, masih muda tetapi harus berakhir cepat. Lebih dari itu, aku berakhir di atas padang rumput hijau ketika sedang menunggu jawaban seorang kere. Sungguh malang Arka, dia pasti akan dituduh telah melakukan sesuatu yang jahat kepadaku (pembunuhan) karena aku mati disamping dia. Lebih dari itu, dia juga seorang kere. Dia tidak memiliki kekuatan apa-apa untuk menawar diri di pengadilan. Meski dia cucu dari pemilik kedai sop terkenal, sangat diragukan apakah nenek Nyon sendiri bisa membantunya. Hutang orang tua itu saja sangat melimpah kepada kedua orang tuaku. Lalu, bagaimana ini??
"Jangan bodoh, kamu belum mati. Mengapa berpikiran aneh seperti itu. Dasar, anak muda zaman sekarang berpikiran sangat aneh."
Hah!!? Suara siapa itu?? memangnya pikiranku sendiri bisa berbicara??
"Aku bukan pikiranmu, dasar culun!!! Aku adalah sesuatu yang akan menuntunmu sedikit hal di masa depan. Ini adalah, bagaimanapun juga, sedikit cuplikan dari apa yang akan terjadi. Jadi, dengarkan baik-baik."
Wah, menakjubkan. Apa aku sedang berada di fase mistis saat sekarang ini?? Apa hal itu memang benar-benar ada?? Tunggu dulu, sedari tadi, Cuma suara aneh itu yang dominan. Aku juga ingin berbicara. Mulut, katakanlah sesuatu, "Kau, apa yang kau inginkan dariku??" Berhasil juga!! Meski tidak bersuara dari mulut, dari pikiran juga tidak masalah.
"Tujuanku?? Di masa yang akan datang kamu juga akan paham. Sekarang, lihatlah sedikit dari apa yang harus ketahui. Selebihnya, itu tergantung dari pilihanmu: apa kamu ingin meneruskan pencarian akan pengetahuan ini atau apakah kamu ingin berhenti dan pasrah terhadap takdir."
Hah!!? Apa maksud dari perkataan suara aneh ini?? Apanya pilihan(ku)??? Apanya dikotomi aneh itu?? Sudahlah, aku benar-benar bingung.
???
***
"Hey, hey, hey, bangun!!! Kenapa ini gadis?? Apa dia tidak sadarkan diri?? Hey, bangun!!!"
Suara itu, itu seperti suara yang aku kenal. Apa, apa itu suara Arka??? "Hey, gadis kecil, bangunlah!!! Kenapa kamu tidur begitu dalam seperti itu??? Hey, ayo cepat bangun!!!" Tidak salah lagi. Itu suara Arka. Dimana, apa dia juga masuk ke dalam dunia mimpi ini??
"Hah!!?"
Aku, aku tersengal. Dimana ini?? Apa aku sudah bangun dari mimpi aneh itu?? Ha... ha..., sepertinya memang begitu. Aku, aku merasa begitu lelah sekali. Seluruh tubuhku terasa pegal, ada juga yang terasa ngilu malahan. Apa ini efek samping dari terlalu jauh mendalami dunia mimpi. Ah, mimpi!!! Itu dia!!! Apa, apa mimpi barusan itu benar-benar terjadi?? Tetapi, rasanya, aku benar-benar masih ingat mimpi barusan. Aneh, biasanya ingatan tentang mimpi langsung hilang ketika bangun. Ini tidak, aku masih mengingat dengan jelas apa saja yang terjadi di dunia mimpi itu.
"Kenapa kamu kelihatan bingung begitu?? Lalu, apa-apa an keringan dingin itu?? Aneh sekali. Mengapa kamu jadi seperti ini??"
Hah!!? Apa maksudnya itu?? Keringat dingin?? Ah, benar, sekujur tubuhku sudah basah dengan keringat dingin. Apa ini?? Reaksi tubuh ini terkesan begitu berlebihan. Aku tidak memahami makna dari keringat dingin ini.
"Sudahlah, jangan diperpanjang lagi masalah ini. Bagaimana, jawabanmu bagaimana???"
"Jawaban bagaimana?? Ini baru dua menit loh?? Mengapa buru-buru begitu?? Tapi, kalau kamu ingin jawabannya sekarang juga, aku bisa memberikannya. Tapi, tentu jawabannya tidak begitu dalam, sih."
Perkataan Arka itu, itu terdengar aneh. Baru dua menit katanya?? Perasaan, perasaan aku di mimpi tadi agak lama rasanya. Malahan, aku sempat berpikir bahwa aku sudah tertidur selama seperempat jam. Tapi, "Kalau memang baru dua menit, mengapa kamu membangunkan aku??"
"Hmm, gimana ya?? Ini memang aneh, tapi perasaan ini begitu mendorongku untuk membangunkanmu. Seakan-akan ada semacam bisikan yang memaksaku melakukan hal itu. Aku juga sempat melihat semacam kejadian mengerikan tadi. Tapi, aku tidak tahu mengapa secara spontan aku langsung membangunkanmu."
Hah!!? Arka, apa dia serius menjawab seperti itu?? Apa mungkin dia memang melihat sedikit cuplikan dari mimpiku itu?? Apa alam bawah sadar kami sempat terhubung secara paralel tadinya?? Semua kejadian aneh ini semakin membuatku bingung sekaligus penasaran.
"Ya sudah. Jawabanmu bagaimana?" Aku berusaha mengalihkan topik pembicaraan. Semakin lama topik mimpi dibahas, rasanya arah pembicaraan aku semakin ngawur. "Maafkan aku. Tapi, jawabanku untuk sementara ini adalah tidak tahu. Ya, itu benar. Aku tidak tahu harus melakukan apa jika memang diusir dari desa ini. Mungkin saja akan menggelandang, entah itu selamanya atau hanya sementara."
Aku tidak mengharapkan jawaban yang lebih dari itu. Ya, sedari awal aku sudah menduga kalau Arka akan menjawab dengan demikian. Memang mau kemana lagi mereka? Mereka tidak punya tanah di tempat lain. Selain itu, mereka juga tidak punya sanak di tempat yang jauh. Setahuku, Arka dan neneknya adalah satu-satunya dari garis keluarga mereka yang masih diketauhui. Ayah dan ibunya, seperti yang Arka jelaskan, mereka pergi dari desa ini secara tiba-tiba jauh-jauh hari yang lalu. Sungguh miris!! Kalau memang mereka, semua orang kere harus diusir, mau pergi kemana mereka?? Ini, ini sama saja seperti membunuh mereka semua secara tidak langsung.
"Hmm, aku pikir cukup sampai di sini saja. Aku harus pulang, hari sudah semakin gelap. Terima kasih, setidaknya kamu mau meluangkan waktu untuk  menjawab beberapa pertanyaan tidak bermanfaat itu. Aku juga minta maaf. Mungkin saja kamu mengharapkan pertanyaan lebih, tapi hanya sejauh yang ini yang bisa aku tanyakan untuk saat sekarang ini."
Arka beranjak dari tempat. Sembari memandang ke arah pemandangan lepas, dia mengatakan, "Tidak apa-apa. Lagipula, terlalu dini untuk menanyakan hal-hal yang lebih daripada yang sudah. Ngomong-ngomong, aku belum mengetahui namamu. Aku cukup segan, sedari tadi kamu selalu memanggil namaku, jadi izinkan aku bertanya, 'Siapa namamu?'" Cukup romantis, padahal dia hanya seorang kere dekil. "Aku Cantika. Ingat baik-baik, nama sifat yang selalu dikaitkan kepada wanita. Maka, disaat yang sama kamu pasti akan mengingat namaku."
***
Aku selalu memandang ke luar. Tidak ada yang berubah, dan memang seperti itulah seharusnya. Pertemuan dengan Arka memang membawa suatu warna baru bagi hidupku. Pertemuan dengan bocah itu, hal ini bisa dianggap sebagai pertemuan resmiku dengan seorang kere. Para pembantu, memang mereka kere, tetapi aku tidak pernah berbicara secara lepas dengan mereka. Selama ini, aku hanya mengatakan berbagai kalimat perintah kepada orang-orang itu.
"Cantika, sedang kamu di sana nak? Hari sudah mulai mendung. Seharusnya kamu menutup jendela itu dan segera tidur, sayang!?"
"Iya, Bu. Aku hanya berpikir, apa yang sedang dilakukan Arka di luar sana?"
Ah, Ibu datang. Semoga saja, dia tidak mengucapkan hal-hal yang menghinakan terhadap Arka. Setidaknya, berusahalah tetap bermuka dua ketika berbicara denganku nanti.