Satu pelajaran yang menarik untuk disimak adalah bagaimana 'serangan-serangan' terakhir dari kubu Mega Pro dan JK Win baik secara lugas, sinis, kreatif, maupun yang bernuansa "black campaign' ternyata tidak mempan menggoyahkan persentase perolehan suara SBY-Boediono, padahal beberapa survey terakhir sebelum hari tenang menyatakan adanya penurunan cukup signifikan atas dukungan kepada Pres & Wapres terpilih.
Satu fenomena yang menarik adalah bahwa ternyata 3 hari tenang benar-benar membawa rakyat Indonesia ke dalam rasio, logika yang berjalan. Dan di sinilah kita harus angkat topi pada kedewasaan demokrasi di Indonesia.
Saya selalu melihat positif tentang penurunan antusiasme pemilih dalam Pemilu legislatif lalu. Bahwa suatu negara yang dewasa dalam demokrasi akan selalu mengalami penurunan antusiasme dalam Pemilu. Lihat negara negara maju seperti Jepang maupun negara-negara Skandinavia, sangat sulit menarik lebih dari 40% pemilih. Hal itu karena rakyat telah percaya pada sistem.
Tidak berarti bahwa saya mendukung Golput, tapi saya melihat bahwa 'janji-janji' pada iklan-iklan yang sangat gencar ditayangkan ternyata tidak memberi pengaruh apapun pada keputusan para pemilih. Itu artinya bahwa image seorang calon tidak bisa dibangun hanya dalam waktu 2 bulan dengan iklan. Masyarakat menilai kinerja mereka dari bukti performance mereka selama bertahun tahun.
Dalam hal ini semua calon adalah incumbent. Mega adalah penguasa era 1999-2004, SBY dan JK adalah penguasa era 2004-2009 di sinilah masyarakat menilai siapa pemimpin yang telah memberi yang terbaik bagi negara. Hasil Pemilu berbicara dengan sendirinya.
Bila sekarang masyarakat telah matang, kita berharap para pemimpin bangsa juga bersikap dewasa. Kalau kalah, diterima dengan baik. Kalau menang tidak perlu bersombong hati. Biarlah masyarakat menikmati hasil pesta demokrasi ini dengan tenang. HIDUP KEDEWASAAN DEMOKRASI INDONESIA.
Arya Pamungkas