Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan Pilihan

Jaminan Pluralitas dalam Islam

4 November 2014   05:49 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:44 75 1
SAAT ini tidak sedikit orang yang keliru dalam memahami ide penerapan Syariah dan Khilafah. Sehingga tidak jarang muncul penolakan karena kekeliruan tersebut. Salah satunya adalah pemahaman bahwa Syariah hanya berlaku untuk masyarakat Islam dan masyarakat Islam adalah masyarakat yang semuanya terdiri dari orang-orang Islam (homogen).

Karena itu, untuk menerapkan Syariah harus mengislamkan dahulu semua orang yang ada di negeri tersebut, atau mengusir orang-orang non muslim yang ada di negeri tersebut. Sungguh kekeliruan yang perlu untuk diluruskan.

Manusia adalah makhluk yang beragam. Keberagaman manusia adalah fitrah yang tidak bisa dihilangkan. Konsep masyarakat homogen adalah suatu bentuk kegagalan berpikir. Ia tidak akan pernah terwujud menjadi realitas. Semisal konsep masyarakat komunis yang utopia.

Walaupun negara sosialis USSR (Union of Soviet Socialist Republik) berusaha mewujudkan konsep masyarakat tanpa kelas dan negara itu selama lebih dari 80 tahun, impian tersebut tak kunjung terwujud, bahkan USSR akhirnya pecah berkeping-keping. Karena itulah, sebuah pandangan hidup yang benar pasti akan sesuai dengan fitrah manusia, pasti akan cocok dengan keberagaman (pluralitas) manusia.

Islam adalah sebuah pandangan hidup yang khas. Islam membangun masyarakat di atas dasar aqidah Islam. Aqidah Islam menjadi pondasi berbagai peraturan hidup dalam Islam (syariah Islam). Namun, bukan berarti Islam menolak keberagaman. Allah swt meniscayakan keberagaman manusia ini dalam Q.S. Al Hujurat [49]:13. Allah swt pun menjadikan keberagaman manusia itu sebagai bagian dari ujian ketaatan manusia. (lih. Q.S. Al Maidah[5]:48).

Jadi, jelaslah bahwa Islam mengakui keberagaman (pluralitas) manusia. Sehingga tuduhan bahwa ketika syariah Islam diterapkan akan mengancam keberagaman adalah anggapan yang keliru. Justru penerapan syariah dalam bingkai khilafah akan menjadi rahmat bagi seluruh alam, baik muslim maupun non muslim.

Kerahmatan Islam nampak melalui kemampuan syariah Islam dalam memecahkan berbagai persoalan hidup manusia, tanpa membeda-bedakan agama, madzhab, suku, bangsa, ras, golongan maupun jenis kelamin. Dalam negara Islam, seluruh warga negara terlindungi harta, jiwa dan kehormatannya.

Islam membiarkan non muslim hidup berdampingan secara harmonis dengan kaum muslim, selama mereka tidak memusuhi dan memerangi kaum muslim. Orang-orang non muslim yang hidup di negara Islam disebut sebagai ahlu dzimmah. Harta dan darah mereka terjaga sebagaimana harta dan darah kaum muslim.

Tidak seperti kaum muslim yang mengeluarkan zakat, infaq dan shadaqoh, kaum non muslim yang hidup di negara Islam hanya dipungut jizyah, itu pun hanya dikenakan kepada laki-laki yang telah baligh saja. Sebagaimana yang disampaikan oleh Nafi’ bahwa Umar r.a. pernah menulis surat kepada para pemimpin pasukan agar memungut jizyah. Tetapi mereka tidak boleh memungutnya dari wanita dan anak-anak. Selain itu, jizyah pun tidak dipungut dari orang yang miskin, lemah dan butuh sedekah.

Berbeda dengan sistem kapitalisme yang diterapkan saat ini, semua warga negara dikenai berbagai macam jenis pajak, baik kaya maupun miskin.

Berikut beberapa bukti penerapan syariah Islam yang menunjukkan adanya jaminan pluralitas tersebut :

Pertama, Islam akan memperlakukan orang-orang muslim dan non muslim sesuai ketentuan-ketentuan syariah. Perlakuan terhadap warga negara bukan berdasarkan keinginan kaum mayoritas dan bukan pula demi pembelaan terhadap kaum minoritas. Apabila ketentuan syariah dikhususkan hanya untuk muslim atau mensyaratkan keislaman terlebih dahulu. Maka ketentuan tersebut tidak boleh diberlakukan kepada non Muslim. Allah swt menegaskan dalam Q.S. Al Baqarah[2]:256, yang artinya: “Tidak ada paksaan dalam agama.”

SEBAGAIMANA yang dilakukan Rasulullah saw tatkala membebaskan Yaman, beliau membiarkan orang non muslim memeluk agamanya. Beliau saw pun membiarkan kebiasaan orang-orang non muslim Yaman yang gemar meminum khamr (bukan peredaran dan jual beli, pen.). Beliau saw tidak memaksa mereka untuk meninggalkan khamr. Mereka juga tidak dikenai sanksi minum khamr. Karena dalam ketentuan syariah, larangan meminum khamr hanya berlaku untuk muslim saja.

Adapun mengenai ketentuan syariah yang berlaku umum atau yang tidak mensyaratkan keislaman terlebih dahulu. Maka negara Islam akan menerapkan ketentuan tersebut kepada seluruh warga negara, baik muslim dan non muslim. Rasulullah saw. pernah merajam dan menjalankan hukum qishah kepada orang Yahudi. Karena dalam ketentuan syariah, hukum-hukum tersebut berlaku umum dan tidak dikhususkan untuk kaum muslim saja. Begitu pula mengenai larangan riba, itu berlaku untuk semua warga negara. Sebagaimana Rasulullah saw pernah mengirim surat kepada penduduk Najran yang beragama Nashrani, “Siapapun di antara kalian yang melakukan jual beli dengan riba, maka tidak ada perlindungan baginya.”

Kedua, setiap warga negara -muslim dan non muslim- memiliki hak yang sama terhadap berbagai pelayanan pokok yang diberikan negara. Misal dalam masalah kesehatan, Rasulullah saw. pernah mendapat hadiah seorang dokter dari Raja Muqauqis. Beliau saw menjadikannya sebagai dokter umum untuk seluruh rakyat. Begitu pun Rasulullah saw pernah merawat serombongan orang dari Urairah yang terserang penyakit. Beliau memerintahkan mereka untuk beristirahat di penggembalaan ternak kaum muslim milik baitul maal, di Zhi Jadr (sebelah Quba). Mereka diijinkan tinggal dan minum susu di sana, sampai sembuh dan menjadi gemuk.

Pada abad XV, orang-orang Yahudi Spanyol terusir secara politis akibat inkuisisi pasukan Kristen. Mereka dipersilahkan untuk mendirikan tempat tinggal, beribadah dan mendapatkan ajaran Yahudi di wilayah daulah Khilafah. Dalam bidang kedokteran, dokter-dokter Yahudi dipekerjakan oleh Daulah Khilafah di rumah sakit negara. Selain itu, mereka pun mendominasi industri kerajinan logam dan kaca.

Kebutuhan akan rasa aman pun dijamin Islam. Ibnu Mas’ud berkata, bahwa Rasulullah saw bersabda, yang artinya :”Barangsiapa yang menyakiti kafir dzimmi, maka aku berperkara dengannya. Dan barangsiapa berperkara denganku, maka aku akan memperkarakannya pada Hari Kiamat.” (H.R. Al Khatib). Bahkan ketika kaum muslim tidak bisa lagi melindungi orang-orang Kristen Syam dari serangan pasukan Romawi, Umar bin Al Khaththab r.a. mengatakan kepada mereka bahwa jizyah mereka akan dikembalikan. Namun orang-orang Kristen malah menolaknya seraya menyampaikan bahwa mereka akan berdo’a untuk kemenangan pasukan kaum muslim.

Ketiga, semua warga negara memiliki posisi yang sama di hadapan hukum. Kesamaan hukum di dalam pengadilan Islam nampak sekali dalam kasus baju besi Ali bin Abi Thalib r.a. Khalifah Ali merasa kehilangan baju besi dan ia menemukan baju besi tersebut di toko seorang Yahudi ahlu dzimmah. Saling klaim terhadap baju besi itu membawa mereka berdua ke pengadilan. Qadhi Syuraih yang menjadi hakim dalam perkara tersebut akhirnya meminta Ali r.a. supaya menghadirkan saksi atas bukti kepemilikannya. Khalifah Ali r.a. menyebutkan Hasan, putranya, dan Qonbar, pembantunya. Akan tetapi Qadhi Syuraih menolaknya, karena kesaksian seorang anak dan pembantu tidak dapat diterima. Walhasil, khalifah Ali kalah dalam perkara tersebut.

Beliau pun menerima kekalahan itu dengan lapang dada. Lalu Yahudi itu berkata, “Duhai khalifah Ali, Amirul Mukminin, anda berperkara denganku tentang baju besi milikmu. Akan tetapi, hakim yang engkau angkat ternyata memenangkan aku atasmu. Sungguh, aku bersaksi bahwa ini adalah kebenaran dan aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasulullah.” Allohu Akbar, Yahudi itu masuk Islam setelah merasakan sendiri keadilan hukum Islam.

Keempat, semua warga negara berhak mengajukan keberatan terhadap penyimpangan pelaksanaan hukum Islam atas mereka, atau terhadap kezaliman yang dilakukan penguasa atas mereka. Khalifah Umar bin Al Khaththab pernah memanggil gubernur ‘Amr bin ‘Ash dan putranya karena mencambuk anak Qibthi yang beragama Nashrani. Di hadapan Khalifah, putra gubernur pun mengakui perbuatannya. Umar memberikan pilihan kepada anak Qibthi tersebut, antara qishash ataukah diyat (ganti rugi).

Anak Qibthi tersebut memilih qishash. Setelah hukuman dilaksanakan, Umar r.a. kemudian menawarkan kepada anak Qibthi tersebut untuk mencambuk Sang Gubernur, Seraya berkata, “Hai anak Qibthi, orang itu berani mencambukmu karena dia anak gubernur. Oleh karena itu, cambuk saja gubernur itu sekalian!”. Namun anak Qibthi itu pun menolaknya dan menyatakan puas dengan keadilan hukum Islam. Umar r.a. kemudia berkata, “Hai ‘Amr, sejak kapan engkau memperbudak anak manusia yang dilahirkan ibunya dalam keadaan merdeka?”

Itulah beberapa contoh jaminan pluralitas dalam Islam. Karena itulah, syariah Islam yang diterapkan secara kaffah dalam sistem Khilafah pasti akan menjadi rahmat bagi seluruh alam. Wallohu a’lamu bishshowwaab. []

oleh : Ary Herawan

sumber tulisan : http://www.islampos.com/jaminan-pluralitas-dalam-islam-1-142554/  dan  http://www.islampos.com/jaminan-pluralitas-dalam-islam-2-habis-142557/

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun