Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik Pilihan

Memilih Capres dan Mengenal Pemimpin Sejati

23 Mei 2014   05:44 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:12 140 0
Di tengah hingar bingar pencalonan presiden dan wakil presiden republik ini, tiba-tiba ada dentang nyaring sebuah tanya kala mataku memelototi banjir berita di media. Apakah khalayak warga negeri sedang mempersiapkan diri memilih presiden dan wakil presiden atau mengenal pemimpin sejati? Setiap kali selesai membaca iklan dan promosi para calon, batinku menggeletar meneriakkan perbedaan yang seharusnya sangat kentara antara calon presiden dan pemimpin sejati. Apakah mereka yang namanya tercantum di Daftar Pemilih Tetap (DPT) akan secara agregat memilih capres dan cawapres yang sekaligus pemimpin sejati atau tidak, sungguh aku tak tahu.

Mengapa jiwaku menjeritkan arti penting pemimpin sejati, aku juga masih mencoba terus memahaminya. Bisa jadi ada rasa galau tingkat tinggi yang tidak mau duduk tenteram sebagai hasil pembelajaran atas beberapa kali pemilihan presiden secara langsung yang keluaran dan kinerjanya belum memuaskan rasa keadilan, kepastian hukum dan kesejahteraan. Mungkin juga ia menjadi semacam hasrat yang berlagak heroik untuk menyempurnakan kualitas demokrasi yang sementara ini selalu dipahami sebagai kemenangan ekspresi aspirasi kaum terbanyak sepanjang yang minoritas tetap diberi kesempatan menyalurkan pendapatnya.

Dari fitrahnya yang paling hakiki, pemimpin sejati itu berciri pembawaan diri yang apa adanya, tidak dibuat-buat, tidak dilebih-lebihkan, tidak dikurang-kurangkan dan tidak dicitrakan sebagai yang berbeda dibanding biasanya. Menilai pemimpin dari sudut pandang ini akan melahirkan sosok yang segala keunggulannya tidak dieksploitasi habis-habisan. Kesejatian pemimpin juga dapat ditemukan saat segenap kelemahannya pantang untuk ditutup-tutupi.

Pemimpin yang lolos kriteria ini akan secara apa adanya pula menyalurkan aspirasinya untuk menjadi capres dan cawapres. Upaya dan ikhtiar untuk menemukan parpol yang berkenan mengusung pencalonan tentu harus dilakukan sang calon. Dari situ terlihat kesungguhan tekat dan niat untuk merintis jalan menuju kursi kepemimpinan. Namun pemimpin sejati akan menunjukkan cara yang wajar, normal dan jauh dari vulgar agar diusung parpol.

Dia tidak akan memanfaatkan kedudukannya yang istimewa di parpol, jika ada, agar pengurus teras parpol terkondisikan untuk segan, tidak enak, bahkan takut untuk tidak mencalonkannya. Dia tidak akan heboh dan kesana-kemari menggalang dan memaksakan kekuatan komponen-komponen parpol, membangun kubu bagi pendukungnya, menjanjikan sesuatu sebagai balasan dan melakukan deal-deal tertentu di bawah meja. Dia akan bersikap siap sedia jika ditugaskan partai untuk menjadi calon pemimpin no. 1 atau 2 republik ini.

Kepemimpinannya yang sejati justu akan terlihat jelas manakala dengan sukarela dia menerima kenyataan jika tidak ada parpol yang mau menominasikannya. Jika yang terakhir ini yang terjadi, sang pemimpin sejati akan segera mengucapkan selamat kepada calon lain saingannya yang terpilih oleh parpol. Itu dilandasi keyakinannya yang kuat bahwa menjadi pemimpin tidak boleh dipaksakan dan tidak layak dilakukan di bawah tekanan apa pun.

Pembiayaan sosialisasi, marketing, promosi, kampanye, pengadaan dan penyebaran alat peraga menjadi salah satu penanda kunci karakter seorang pemimpin sejati. Pemimpin sejati yang tidak memiiki sumber daya cukup untuk membiayai aneka pengeluaran di atas akan mendeklarasikan keterbasan yang dideritanya itu sejak awal. Dengan begitu segala teknik dan jurus yang dipakai sang calon pemimpin untuk mendanai berbagai metode pendekatannya kepada pemilih akan menjadi transparan bagi publik. Berapa duit yang disiapkannya dan diterimanya sebagai bantuan tidak mengikat untuk nyalon bukan rahasia.

Sejajar dengan keterusterangan akan kekurangan yang melekat padanya, pemimpin sejati tidak akan lalu jungkir balik, main akrobat dan hilir mudik untuk bagaimana caranya bisa memiliki modal keuangan yang cukup untuk menutup kekurangannya. Dia tidak akan cari hutangan. Dia tidak akan menerima bantuan yang mengikat yang mengharuskannya membayar kembali dengan satu dan lain cara di kemudian hari. Dia akan menjaga kesehatan jiwa dan ketenangan alam pikirnya dengan tidak melakukan apa pun yang melebihi kemampuannya.

Karena fulus yang cekak, otomatis baliho, spanduk, poster, sticker, kartu pintar dan kalender yang dicetaknya pun berjumlah terbatas. Karena terbatas maka daya jangkaunya pun tidak besar. Masih banyak warga pemilih yang tinggal di gunung-gunung terpencil, di sekitar kawasan yang terisolasi dan di tempat-tempat yang tersembunyi yang tidak melihat alat peraga sang calon.

Yang paling mungkin adalah penyebutan namanya dalam berita, wawancara, ulasan dan reportase tak berbayar oleh media visual, audio, cetak dan digital. Pemimpin sejati menerima keterbatasan itu dan menikmati apa pun interaksi yang terjalin secara natural itu. Dan kalau pada akhirnya dia tidak sepopuler rivalnya, dia juga tidak lalu kecewa, sedih dan frustasi lalu memaksakan diri dan membabi buta mencari jalan untuk melipatgandakan tingkat pengenalan dan kesukaan publik kepadanya. Baginya bisa menjadi calon saja sudah sebuah ungkapan syukur.

Dalam kepasrahan tingkat tinggi itulah pemimpin sejati akan menyampaikan terima kasih yang tak terhingga kepada para sukarelawan yang membantunya dengan ikhlas tanpa imbalan dan pamrih apapun. Sukarelawan inilah yang karena kesadaran penuh, seperjuangan dalam idealisme, kerinduan murni akan perubahan sejati dan bebas dari ikatan transaksional menjadi medium penggalangan dukungan bagi pemimpin sejati.

Tidak ada bantuan atau penggantian biaya operasional, uang bensin, tunjangan makan, duit rokok dan amplop untuk transport bagi mereka. Bagi mereka, bisa mengorganisir diri, bergabung dengan kenalan yang seide dan bersama-sama mempromosikan tokoh idola tanpa paksaan dan imbalan sudah merupakan sebuah kesenangan tersendiri. Jika calon yang mereka usung bisa terpilih, bonus berupa kepuasan batin sudah lebih dari cukup.

Terkandung dalam rongga dada ke-apa-adanya-annya pemimpin sejati adalah sebuah hati yang bermahkota kejujuran. Walaupun berat bagi sebagian orang untuk selalu berkata tentang kebenaran yang pernah dan sedang terjadi di segala waktu, pemimpin sejati sama sekali tidak akan pernah berbohong atau menyamarkan rekam jejak dan emosinya. Jika dia salah, seberapa tinggi atau rendah derajat kekeliruannya, dia akan mengaku.

Pengakuannya juga bukan untuk mencari simpati atau sensasi. Rasa bersalah sengaja diakui sebagai pernyataan komitmen untuk secara kestaria siap menanggung konsekuensi dan prasetya untuk tidak mengulanginya lagi. Berbohong dan memberi testimoni yang manis tapi penuh dusta bisa jadi sebuah solusi taktis yang dibenarkan demi tujuan "mulia" dan "suci" bagi sebagian kalangan. Namun itu tidak ada di kamus pergauan dan tidak dikenal di rumus hidup sang pemimpin sejati.

Pemimpin sejati tahu bahwa kejujuran tidak harus diamalkan sebagai diam. Baginya, kesenyapan dalam bersikap, terlebih saat ketidakadilan, ketidaktertiban dan penyalahgunaan terjadi merupakan pengingkaran gamblang terhadap kejujuran. Nilai kejujuran jualah yang menuntun sang pemimpin sejati untuk bersuara, menyatakan pendirian dan menentukan pilihan walau itu berbuah kontroversi dan menenggelamkan popularitasnya sendiri.

"Bahasa Terang" adalah gaya dan pola lingusitik yang dianut si pemimpin sejati. Ungkapan bersayap, kiasan yang berandai-andai, kata-kata berbunga dan tidak membumi dan ketidakterusterangan menjadi pantangan yang dihindari pemimpin sejati. Dia sadar sepenuhnya bahwa kawan karib ketidakjujuran adalah bahasa yang tidak jelas dan jauh dari lugas.

Kalaupun beresiko dianggap miskin perbendaharaan kosa kata dan lugu dalam berekspresi secara verbal, dia tidak ambil pusing. Buatnya, penyampaian pesan secara gamblang dan mudah dimengerti mitra wicara jauh lebih penting daripada keelokan komestik dan gaun bahasa yang justru mudah menimbulkan kesalahpahaman dan perbedaan penafsiran. Pengamalan prinsip ini jelas mengarah pada kesimpulan bahwa Penulis bukan pemimpin sejati. Gaya penulisannya di catatan ini yang mengawang-awang dan berliku-liku cukup menjadi bukti.

Adopsi utuh atas karakter kunci pemimpin sejati mungkin hanya akan membuahkan kekalahan sang calon. Bagaimana tidak? Di setiap dimensi yang melekat pada kualifikasi ini, ujung-ujungnya adalah kelapangan dada dalam menerima kekurangan diri dan rasa turut berbahagia atas keberhasilan kompetitor dalam meraih suara terbanyak. Apapun dan bagaimanapun rupa dan cara meraih kemenangan itu dipilih dan ditempuh pesaing.

Jadi terserah Anda sekarang. Beberapa varian pilhan terhidang. Mau memilih presiden atau wakil presiden tanpa menilainya terlebih dahulu dengan menggunakan kriteria pemimpin sejati, silakan. Mengenal pemimpin sejati -tanpa harus memilihnya sebagai presiden atau wapres- melalui momentum pilpres juga dipersilakan. Mengenal pemimpin sejati, lalu kalau ada, memilih mereka sebagai presiden dan wapres juga bisa menjadi pilihan.

Yang jelas, ada pemimpin sejati atau tidak, babak baru dalam panggung rutinitas pembelajaran hidup berdemokrasi dan sirkulasi kepemimpinan negeri baru saja dimulai. Maka seperti yang sudah-sudah, sebagai penonton, mari kita simak pertunjukkan ini dan sekali-kali berilah tepuk tangan dan siulan keras suit-suit supaya agak meriah. Yakinlah, bahwa lima tahun lagi gema ikhtiar pencarian pemimpin sejati masih akan cukup jelas tertangkap oleh indra dengar.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun