Pada masa krisis ekonomi 1998, Indonesia berusaha meminta bantuan dari luar untuk mengobati masalah ini, karena kita ketahui bahwa jika hanya mengandalkan kekuatan bangsa sendiri, investasi hanya bisa dibayar melalui dua cara. Pertama, dengan pendapatan Indonesia yang telah dipotong dengan uang konsumsi, ditabung. Â Uang ini langsung di investasikan kepada pabrik-pabrik, infrastuktur,dll. Â Kedua, dengan mencetak uang. Â Hal ini berbahaya karena dapat menyebabkan inflasi yang besar.
Nafsu yang bertujuan untuk mengejar perekonomian Indonesia tanpa ditopang dengan tabungan nasional yang mencukupi, melahirkan kebijakan mencari dana dari luar negeri dalam bentuk apapun, baik modal ekuiti ataupun modal pinjaman. Â Hasilnya menakjubkan, maka terjadi sebuah keajaiban ekonomi setelahnya.
Posisi seperti ini adalah salah, ekonomi Indonesia sebenarnya tidak pernah menguat setelah malakukan pinjaman utang dari luar negeri. Â Telah terjadi banyak paradoks yang disampaikan agar kejadian yang memprihatinkan ini tidak terlalu meresahkan bangsa ini. Diibaratkan sebuah rumah yang sangat jelek dan didalamnya ada orang yang sedang sakit krisis. Â
Indonesia sedang sibuk memperbaiki rumahnya, ketimbang mengobati orang ini. Â Indonesia berusaha mengcover seakan-akan perekonomian Indonesia mengalami keadaan yang baik-baik saja. Â Padahal itu semua bohong.
Pada tahun 2006, Indonesia mengalami penguatan rupiah sekita 7.000/dollar AS. Â Ini adalah pencapaian terbaik pemerintah setelah terjadi krisis moneter 1998. Â Memang secara kasat mata Indonesia bisa di bilang membaik. Â Tetapi di balik itu semua, Indonesia seperti memaksakan, bahkan berusaha menjual rupiah dengan dollar.Â
Bagaimana tidak, suku bunga yang ditetapkan oleh Indonesia sebesar 50%. Â Kita ambil kasus, semisal ada seorang investor yang ingin mendepositokan uanganya sejumlah 100.000 dollar AS di luar negri dengan bunga sebesar 5% pertahun, maka bunganya 5.000 dollar AS. Â Kalau uang itu dirupiahkan dengan kurs senilai 8.000 per dollar AS, maka menjadi 800 juta. Â Sedangkan di Indonesia, dengan bungga 50%, maka hasilnya 400 juta atau senilai 50.000 dollar AS. Â Berarti, 10 kali lipat daripada deposito di luar negri. Â Karena pada saat inflasi suku bunga harus tetap tinggi untuk mencegah pelarian modal.
Ini berarti, penguatan rupiah terhadap dollar bukan karena fundamental ekonomi yang membaik, tetapi sebaliknya fundamental ekonomi sudah mencapai kemerosotan yang sedemikian rupa, sehingga rupiah menguat.
Ditinjau dari teori konyungtur, ada dua karakteristik krisis. Â Yang satu, krisis yang terjadi karena tidak seimbangnya kenaikan konsumsi dengan kenaikan kapasitas produksi, sehingga terjadi kelebihan kapasitas produk. Â
Krisis ini disebut underconsumption. Â Krisis ini juga bisa terjadi karena terlampau besarnya investasi yang dipicu oleh modal asing, karena tabungan nasional sudah habis untuk berinvestasi. Â Kemungkinan memperoleh modal asing pun akan tersendat. Â Kalau ini terjadi maka terjadi penurunan investasi, yang menyebabkan krisis. Â Namanya, overinversment.
Teori tersebut mengatakan juga bahwa krisis dari underconsumption ada obatnya, yaitu dnegan memompakan daya beli kepada masyarakat, supaya ekonomi ini bergairah. Â Sedangkan overinvestment, kondisi ini hanya dapat diselesaikan dengan menunggu investasi menurun sampai tingkat yang menjurus kepada keseimbangan antara tabungan nasional dengan investasi. Â
Tetapi jangan pernah berharap akan terjadinya keseimbangan penuh, karena tidak kita pungkiri bahwa kita membutuhkan modal asing, yang dibutuhkan hanya perbandingan antara tabungan nasional dan utang luar negeri yang masuk akal. Â Begitu juga di perusahaan, tidak dipungkiri bahwa perusahaan memerlukan kredit bank dan obligasi untuk pertumbuhan perusahaan. Â Namun, kalau itu melampaui batas maka akan berakibat fatal.
Sebenarnya tanda-tanda overinvesment sudah ada sejak lama, tetapi dibiarkan meledak hingga sekarang. Â Ketika kelihatan gejalanya maka harus segera diobati karena jika timmingnya telat maka sudah tidak bisa diapa-apakan lagi, Â tetapi beda dalam kasus underconsumption, yang memang harus menunggu sampai krisis terlebih dahulu baru daya beli masyarakat dapat didorong.
Tanda-tanda overinvesment yang terlihat di Indonesia sebelumnya adalah terjadi defisit transaksi berjalan secara kontiniu dan membengkak, dan untang luar negri yang terus bertambah, baik oleh pemerintah maupun swasta. Â Di dalam negri itu sendiri, investasi dipacu terus dengan kredit bank sehingga menimbulkan kekacauan.
Indonesia dirasa kurang belajar dari sejarah bangsa lain, kurang membaca, dan ingatannya pendek. Â Maka ketika dollar turun sedikit, kita gembira. Lupa bahwa beberapa minggu sebelumnya kita dicemaskan akan hal itu. Â Kita bangga kalau dollar mencapai 10.000 per dollar. Â Kita lupa, pada saat telah mencapai titik ini. Industri sudah mati.
Dalam kondisi ekonomi yang sedang mundur saat ini, faktor yang paling dominan adalah faktor politik. Â Mengapa? Karena harus ada pemimpin nasional yang mampu menjaga kestabilitasan sosial politik dengan rakyat yang sedang kelaparan dan tingkat kemakmuran yang rendah. Â Pemimpin yang dipilih, jelas bukan pemimpin yang berKKN. Â
Kalau pemimpin yang dikelani rakyat berKKN ria, maka sikap antidemokrasi akan tumbuh dimasyarakat sehingga masyarakat tidak mau mendengar arahannya. Â Apalagi sebentar lagi akan dihadapi dengan pemilu 2019. Â Semoga siapapun yang terpilih dapat mengubah bangsa ini menjadi bangsa yang lebih baik kedepannya.
Begitu pula dengan kondisi pabrik-pabrik di Indonesia. Â Kalau politik tidak stabil, maka pabrik-pabrik itu akan mudah jatuh ke tangan asing, sebagai bayaran utang Indonesia kepada kreditur asing. Â Indonesia membutuhkan seseorang yang mempunyai entrepreneur tangguh yang mampu memberikan inovasi dan kreativitas mendirikan pabrik-pabrik yang tidak tergantung dengan bahan impor. Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah, iklim yang nyaman, Â dan tanah yang luas. Â Bila kita mampu untuk mengolahnya dengan teknologi canggih maka potensi untuk memakmurkan bangsa akan cukup besar. Â Lupakan untuk sementara tentang perdangan internasioanal, karena toh tidak akan terjadi dalam keadaan seperti ini.
Jadi stategi pembangunan yang akan digunakan akan mirp dengan Amerika Serikat. Â Amerika memiliki negara yang besar, penduduk yang banyak, kekayaan alam yang melimpah layaknya Indonesia. Â Tak perlu berorientasi pada ekspor meskipun nantinya kita akan menjadi negara yang terisolasi dan juga tidak dianggap menarik bagi investor. Â Tapi apa salahnya dengan itu? Â Negara Amerika pun hubungan perdangangan internasionalnya pun sangat kecil. Â RCC pernah terisolasi selama 50 tahun. Â Waktu lama itu tidak sia-sia karena ketika sudah berani untuk membuka diri dia ternyata tangguh.
Pola ekonomi yang sulit saat ini dikarenakan pola pikir kita yang masih ikut-ikutan (textbook) tanpa mengenal interaksi bisnis dilapangan yang sebenarnya, baik cakupan domestik ataupun internasional. Â Andalan satu-satunya adalah masuknya modal asing ke Indonesia, tanpa mempertimbangkan perbandingan dengan kemampuan menabung bangsa itu sendiri.