Mohon tunggu...
KOMENTAR
Filsafat

To Do, To Have, or To Be?

6 Februari 2012   19:11 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:58 132 0
Tidak ada yang bisa menghentikan waktu, dan kalaupun ada, saya yakin hanyalah tuhan yang mampu melakukan itu. Begitupun dengan usia kita. Dalam hidup, kita pun harus melewati babak-babak dalam hidupnya. Mulai dari saat kita ada dalam rahim seorang ibu, hingga saat kita beranjak dewasa.

Ada masa di mana kita terfokus untuk melakukan sesuatu (to do). Ada saat memfokuskan diri untuk mengumpulkan (to have). dan tentunya ada saatnya kita mencari makna hidup (to be). Tapi sayangnya tidak semua orang mampu melewati tiga tahapan proses itu.

Fase pertama, atau fase to do.

Pada fase ini, orang masih produktif. Orang bekerja giat dengan seribu satu alasan. Tapi, banyak orang kecanduan kerja, membanting tulang, sampai mengorbankan banyak hal, tetap tidak membuahkan hasil yang lebih baik. Dan ini sangat menyedihkan. Orang dibelenggu oleh rutinitas dan kesibukan yang seperti tidak memiliki batas akhir, tapi sayangnya tidak ada kemajuan yang berarti. Misalnya seperti ini;  Ada orang melihat sebuah sampan di tepi danau. Dan ia meloncat dan mulai mendayung. Ia terus mendayung dengan semangat. Sampan memang bergerak. Tapi, tidak juga menjauh dari bibir danau. Sampai Ia sadar jika sampan itu masih terikat dengan tali di sebuah tiang.

Kebanyakan dari kita, merasa sudah bekerja banyak. Tapi, ternyata tidak produktif. Seorang kolega memutuskan keluar dari perusahaan. Ia mau membangun bisnis sendiri. Dengan gembira, ia mempromosikan bisnisnya. Kartu nama dan brosur disebar. Ia bertingkah sebagai orang sibuk.

Tapi, dua tahun berlalu, bisnisnya belum menghasilkan apa-apa. Tentu, kondisi ini sangat memprihatinkan. Jay Abraham, pakar motivasi bidang keuangan dan marketing pernah berujar, “Banyak orang mengatakan berbisnis. Tapi, tidak ada hasil apa pun. Itu bukanlah bisnis.” Marilah kita menengok hidup kita sendiri. Apakah kita hanya sibuk dan bekerja giat, tapi tanpa sadar kita tidak menghasilkan apa-apa?

Fase kedua, atau fase to have.

Pada fase ini, orang mulai menghasilkan. Tapi, ada bahaya yang mungkin tidak kita sadari, orang akan terjebak dalam kesibukan mengumpulkan harta benda saja. Terobesesi mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya. Meski hartanya segunung, tapi dia tidak mampu menikmati kehidupan. Matanya telah tertutup materi dan lupa memandangi berbagai keindahan dan kejutan dalam hidup. Terlebih, memberikan secuil arti bagi hidup yang sudah dijalani. Banyak orang masuk dalam fase ini.

Dunia senantiasa mengundang kita untuk memiliki banyak hal. Pusat perbelanjaan yang mengelilingi kita dari berbagai arah dan memaksa kita untuk mengkonsumsi banyak barang.

Bahkan, dunia menawarkan persepsi baru. Orang yang sukses adalah orang yang mempunyai banyak hal. Tapi, persepsi keliru!  Hal ini semakin membuat banyak orang mengorbankan banyak hal yang sangat berarti dalam hidup mereka. Entah itu perkawinan, keluarga, kesehatan, maupun spiritual.

Secara psikologis, fase ini memanglah tidak terlalu buruk. Harga diri dan rasa kepuasan diri bisa dibangun dengan prestasi-prestasi yang dimiliki. Namun, persoalan terletak pada fungsi, wkatu dan posisi. Orang tidak lagi mengenal kapan mereka harus meuangkan waktunya untuk sekedar menikmati hidup mereka sendiri, dan bahkan tidak jarang mereka yang hidup menjadi pribadi yang merdeka.

Fase itu menjadi pembuktian jati diri kita. Kita perlu melewatinya. Tapi, ini seperti minum air laut. Semakin banyak minum, semakin kita haus. Akhirnya, kita terobsesi untuk minum lebih banyak lagi.

Fase ketiga, fase to be.

Pada fase ini, orang tidak hanya bekerja dan mengumpulkan, tapi juga memaknai. Orang terus mengasah kesadaran diri untuk menjadi pribadi yang semakin baik. Seorang dokter berkisah. Ia terobesesi menjadi kaya karena masa kecilnya cukup miskin. Saat umur menyusuri senja, ia sudah memiliki semuanya. Ia ingin mesyukuri dan memaknai semua itu dengan membuka banyak klinik dan posyandu di desa-desa miskin.

Memaknai hidup
Ia memaknai hidupnya dengan menjadi makna bagi orang lain. Ada juga seorang pebisnis besar dengan latar belakang pertanian hijrah ke desa untuk memberdayakan para petani. Keduanya mengaku sangat menikmati pilihannya itu.

Fase ini merupakan fase kita menjadi pribadi yang lebih bermakna. Kita menjadi pribadi yang berharga bukan karena harta yang kita miliki, melainkan apa yang bisa kita berikan bagi orang lain.

Hidup kita seperti roti. Roti akan berharga jika bisa kita bagikan bagi banyak orang yang membutuhkan. John Maxwell dalam buku Success to Significant mengatakan “Pertanyaan terpenting yang harus diajukan bukanlah apa yang kuperoleh. Tapi, menjadi apakah aku ini?

Mahatma Gandhi menjadi contoh konkret. Sebenarnya, ia menjadi seorang pengacara sukses. Tapi, ia memilih memperjuangkan seturut nuraninya. Ia menjadi pejuang kemanusiaan bagi kaum papa India.

Nah, di fase manakah hidup kita sekarang? Marilah kita terobsesi bukan dengan bekerja atau memiliki, tetapi menjadi pribadi yang lebih matang, lebih bermakna dan berkontribusi!

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun