Pada siang ini, saya ingin menulis salah satu tradisi pernikahan Bugis-Makassar, "Uang Panai'". Tulisan ini sebenarnya berangkat dari sebuah keresahan, bukan hanya saya semata, tapi mungkin "kegalauan semesta" para pemuda yang berdarah Bugis-Makassar atau pemuda dari suku lain yang kecantol dengan gadis dari Bugis-Makassar. Saya tidak tahu dengan adat perkawinan dari suku lain, tapi menurutku ada, hanya nama dan konteks yang berbeda. Sudah lama saya ingin curhat dalam bentuk tulisan tentan uang panai' ini, tapi baru kali ada kesempatan dan tentunya ide yang mengilhami tulisan ini.
Bagi masyarakat Bugis-Makassar, pernikahan bukan semata mempertemukan hubungan dua insan dalam satu mahligai rumah tangga, akan tetapi lebih dari pada itu, pernikahan adalah titik temu dua keluarga besar dengan segala identitas dan status sosial serta cara melestarikan garis silsilah dan posisi di tengah masyarakat. Sadar atau tidak, hal ini adalah warisan sistem feodal di masa silam yang jejak-jejaknya masih sangat bisa ditemukan pada masa kini, khususnya pada pernikahan.
Menikah atau pernikahan (botting atau mappa'botting) dalam tradisi Bugis Makassar bukanlah sesuatu hal yang murah. Dalam tradisi tersebut, dikenal adanya istilah uang panai sebagai salah satu prasyarat utama di mana calon mempelai laki-laki memberikan sejumlah uang kepada calon mempelai perempuan yang akan digunakan untuk keperluan mengadakan pesta pernikahan dan belanja pernikahan. Uang panai tidak sama dengan mahar, kedudukannya sebagai uang adat yang terbilang wajib dengan jumlah yang disepakati oleh kedua pihak keluarga mempelai. Uang panai' juga akan semakin berat ketika pihak perempuan meminta sompa (harta tidak bergerak seperti sawah dan kebun), erang-erang (asesoris resepsi pernikahan), belum lagi ketika pihak perempuan meminta beras dan kelengkapan lainnya.
Besarnya uang panai' ini sangat dipengaruhi oleh status sosial yang mau melaksanakan pernikahan, baik dari pihak laki-laki maupun perempuan. Tingkat pendidikan, strata sosial, faktor kekayaan, dan faktor keterkenalan menjadi dasar utama. Semakin tinggi semua yang disebutkan sebelumnya, bersiap saja uang panai'-nya juga akan tinggi. Tidak jarang, banyak lamaran yang akhirnya dibatalkan, karena tidak bertemunya keinginan dua pihak.
Uang puluhan juta atau bahkan sampai pada ratusan juta menjadi nominal yang lumrah, terlebih lagi jika calon mempelai perempuan adalah keturunan darah biru (punya gelar adat, seperti karaeng, andi, opu, puang, dan petta) ataupun tingkat pendidikan calon mempelai perempuan adalah S1, S2, PNS, haji, dan lain-lain maka uang panai'-nya akan berpuluh-puluh sampai beratus-ratus juta. Semakin tinggi nominal uang panai' maka semakin tinggi pula citra diri keluarga mempelai di mata masyarakat. Itu fakta yang terjadi. Hal ini terjadi dikedua kakak saya, saat kakak perempuan saya menikah (2006), uang panai' yang dipersiapkan calon suaminya lebih 30 juta dan ketika kakak lelaki saya menikah (2011) pun berkisar puluhan juta. Bahkan orang tua saya saat menikahkan kakak laki-laki saya, mesti merelakan beberapa petak sawah sebagai sompa.
Lalu bagaimana pernikahan bagi keluarga yang tidak mampu dan berstrata rendah? Khusus yang ada di kampungku, penentuan uang panai'-nya ditentukan oleh yang punya pengaruh. Orang tuaku sering terlibat dalam penentuan uang panai', kisarannya tidak sampai 10 juta. Resepsi pernikahan mereka sederhana, tak ada tenda, hala suji dan lamming (asesoris resepsi pernikahan), berbanding terbalik dengan pernikahan orang yang punya kuasa dan nama.
Pernah saya pertanyakan makna uang panai' ke orang tua saya dan tetua kampung, mereka mengatakan bagi laki-laki Bugis , memenuhi prasyarat uang panai juga dianggap sebagai praktik budaya siri'. Hal ini bisa saja terungkap ketika calon mempelai laki-laki tidak mampu memenuhi permintaan pihak keluarga perempuan dan menebus rasa malu tersebut dengan merantau dan kembali setelah punya uang yang disyaratkan. Makanya dalam keluarga besarku, pantang tidak memenuhi permintaan pihak perempuan, karena keluarga akan malu terhadap pihak perempuan. Menyanggupi permintaan pihak perempuan (tentunya melalui diskusi dan proses tawar menawar antara kedua belah pihak) dianggap sebuah kewajiban. Selain itu, memenuhi jumlah uang Panai' bisa dijadikan sebagai simbol akan ketulusannya untuk meminang sang Gadis.
Tapi sebenarnya jika kita melihat realitas yang ada, arti dari uang panai’ ini sudah bergeser dari arti yang sebenarnya. Uang panai’ sudah menjadi ajang gengsi atau pamer kekayaan. Tak jarang untuk memenuhi jumlah permintaan uang panai’ tersebut, calon mempelai pria bahkan harus berhutang. Jika dipandang dari segi agama, Rasulullah SAW meminang seorang Bunda Khadijah dengan mahar 20 ekor sapi betina , kalau dirupiahkan dengan kurs rupiah sekarang jumlahnya mencapai ratusan juta, padahal Bunda Khadijah adalah salah satu perempuan terkaya di zamannya. Kepada Bunda Aisyah, Saudah, Hafsah, Zainab Rasulullah SAW meminangnya dengan mahar 400 dirham. Tapi di sisi lain Rasulullah SAW bersabda “Wanita yang baik menurut Nabi adalah wanita yang paling rendah maharnya dan pernikahan yang paling baik menurut agama adalah pernikahan yang paling sedikit biayanya”.
Kalau sesuai dengan keinginanku, uang panai’ hendaknya tidak terlalu tinggi dan memberatkan calon mempelai pria. Ini bukan soal menghargai atau tidak menghargai calon mempelai wanita, tapi akan lebih baik jika uang panai’ tersebut digunakan untuk keperluan lain yang jauh lebih bermanfaat seperti untuk membeli rumah atau bahkan sebagai modal usaha untuk membantu keuangan rumah tangga kedua mempelai.