Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi Artikel Utama

Maafkan Aku Bu De, Kita Serahkan Saja pada Yang Kuasa

14 April 2010   03:22 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:48 490 0

Bu De, begitu ia disapa, entah siapa nama sebenarnya, aku tidak tahu. Aku terpaksa tinggal bersamanya sejak kecil, karena orang tuaku harus merantau entah kemana, dan aku dititipkan di Bu De. Kami tinggal di sebuah gubuk kecil berukuran 2 x 3 M. Gubuk itu sekaligus berfungsi sebagai warung kecil sebagai satu-satunya tempat kami bergantung hidup. Dengan demikian, Bu De kadang buka 24 jam sehari untuk melayani pembeli yang sewaktu-waktu pulang atau berangkat kerja di pagi buta.

Saat itu usiaku baru lulus SD. Dan karena aku mendapat peringkat ketiga di sekolah, harus ada wali murid yang datang ke sekolah untuk mengambil ijazah. Bu De terpaksa tidak membuka warung hari itu, hanya untuk memenuhi panggilan dari sekolah. Ketika aku turun dari panggung setelah menerima ijazah, Bu De memelukku dengan erat, hangat, bangga, serta penuh kasih sayang. Sebuah kotak kecil kuberikan kepada Bu De, sebuah hadiah dari sekolah karena prestasiku. Bu De menangis menerimanya.

“Aku tidak keberatan menutup warung sehari untuk melihatmu berprestasi, Nak.” Ucapnya terisak. Aku pun turut menangis waktu itu, karena yang aku bayangkan adalah orang tuaku yang sebenarnya, yang entah kini berada di mana. Tapi memang, hanya Bu De yang kumiliki sekarang. Bu De yang menjadi ibuku, sekaligus ayahku. Ia mengasuhku dengan penuh kasih sayang.

* * *

Siang itu terasa cukup menyengat. Warung Bu De cukup rame dikunjungi para buruh bangunan yang saat itu tengah mengerjakan proyek bangunan besar yang berada tidak jauh dari tempat tinggal kami. Aku sibuk membantu Bu De mencuci piring, membersihkan meja makan, dan segala hal yang mempermudah pekerjaan Bu De.

Aku melihat para buruh itu berkelakar riang sesama temannya. Badannya berkeringat, lusuh, kekar besar dan mengkilap. Aku terus saja memperhatikan mereka seraya mengantarkan minum, atau mengelap meja bekas mereka makan. Tidak lama kemudian, mereka pergi begitu saja. Aku tersentak. Mereka belum membayar makan. Sementara Bu De masih di belakang sedang mengurus masakan. Kontan saja aku memanggil mereka.

“Pak, bayarannya mana?” Tanyaku gelisah.

“Besok. Ngutang dulu. Bilang sama Bu De ya.” Jawab mereka sambil lalu.

Bu De ternyata memahami keadaan itu. Ia tau, kalau orang-orang itu tidak akan membayar. Tapi apa dayanya? Ia hanyalah seorang perempuan paruh baya yang tidak bisa membela diri. Tapi Bu De tidak mengeluh, apalagi menangis. Ia tetap bisa tersenyum kepadaku, sambil mengatakan, “Nggak apa2, Cup. Anggap saja sedekah”.

“Tapi Bu De, mereka sudah tidak bayar makan sudah lebih dari 5 kali Bu De. Ntar kalau Bu De rugi, bagimana?” protesku kepada Bu De setelah seminggu peristiwa itu berlalu, dan terus berulang. Tapi Bu De hanya membalasnya dengan senyuman. “Kita serahkan saja sama Yang Kuasa”.

Dalam hati, aku bertekad, besok aku harus menagih orang-orang itu. Mereka harus membayar-hutng-hutngnya. Kalau tidak, BuDe tentu tidak akan bisa berjualan lagi. Namun yang terjadi justru di luar perkiraanku. Mereka malah mengejekku, lalu mempermainkanku. Tubuhku dilempar ke sana kemari, dari orang yang satu ke orang yang lain.

Bu De menangis histeris, meminta agar mereka menghentikan perlakuannya terhadapku. Bu De memohon agar jangan menyakiti aku. Tapi orang-orang kekar itu justru semakin menggila. Mereka merobek bajuku, lalu menelanjangiku. Dan saat aku terjatuh tak berdaya, mereka mengencingi mukaku. Sesaat kemudian, dalam keadaan setengah sadar, aku merasakan kesakitan pada lubang pantatku tertusuk sesuatu.

* * *

Sudah tiga kali aku melamar menjadi tentara, tetapi selalu tidak lulus. Melamar menjadi polisi juga ternyata lebih sulit untuk tembus. Obrolan yang paling sering muncul jika bertemu dengan teman se-pelamar adalah, “Pake berapa?” Ada yang menjawab, seratus, seratus lima puluh, bahkan sampai ada yang tiga ratus lima puluh. Lalu dari mana aku mendapatkan uang sebanyak itu?

Akhirnya ada seorang pelanggan Bu De menyarankan aku agar ikut melamar menjadi Sat-Pol PP. Ia sanggup membantu dan pasti lulus, karena ia memiliki banyak relasi di pemda.

* * *

Enam bulan lamanya aku tinggalkan Bu De untuk mengikuti pelatihan dan pendidikan dasar kepemimpinan. Tiap hari aku memikirkan kesehatan Bu De. Tiap malam aku mendoakan keselamatannya. Tiap saat aku mengkhawatirkannya. Tapi Bu De selalu berpesan, serahkan saja semuanya kepada Yang Kuasa, dan itulah yang selalu mampu menentramkan perasaanku.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun