[caption id="attachment_116532" align="alignleft" width="300" caption="courtesy wherewuat.wordpress.com"][/caption] Akhir-akhir ini makin populer istilah backpacking, bahkan ada televisi yang menayangkan program khusus tentang ini. Meskipun sering disebut-sebut, jarang dibahas pengertian backpacking itu sendiri. Sangat sedikit buku yang membahas arti terminologi ini. Bahkan, kini muncul anggapan yang salah kaprah mengenai backpacking. Banyak orang mengartikan backpacking sekedar wisata yang murah meriah. Lebih parah lagi, ada yang menganggap backpacking itu ya traveling. Jadi, tiap kali berwisata ke luar negeri ia akan menyebutnya backpacking. Padahal, wisata yang dilakukannya bersama rombongan tur dan sekedar belanja-belanji di luar negeri. Nah lho, kalau sudah begini siapa yang salah? Saya kira, muncul pengertian yang salah kaprah itu karena aktivitas backpacking belum lazim dilakukan masyarakat kita. Tiba-tiba saja istilah ini digembar-gemborkan oleh buku-buku dan tayangan televisi. Bagi sebagian besar orang Indonesia, kegiatan traveling hanyalah aktivitas buang-buang duit dan pelengkap simbol status. Kalau sudah punya rumah dan mobil, baru mereka berpikir tentang traveling. Orang yang sudah pergi ke luar negeri dianggap kelompok masyarakat sejahtera atau sudah kelebihan duit. Begitulah pemikiran yang berlaku selama ini. Pemahaman yang benar mengenai arti perjalanan belum diserap secara baik. Akhirnya, istilah backpacking yang tidak lazim dalam kultur kita itu diartikan dengan salah. Begitulah, sebagian orang Indonesia selalu gagap dengan istilah baru. Padahal, sebenarnya istilah backpacking ini tidak baru-baru sekali. Memang, sah-sah saja mengartikan backpacking sebagai wisata dengan membawa backpack. Atau mengartikan backpacker sebagai orang yang membawa backpack. Tapi, kita membicarakan backpacking sebagai sebuah istilah khusus yang sudah dipahami secara umum (meskipun kurang dipahami oleh orang yang jarang membaca dan kurang info). Di negara-negara maju, aktivitas backpacking biasa dilakukan lulusan SMA untuk mengisi waktu sebelum masuk kuliah. Ada jeda beberapa bulan antara waktu kelulusan dengan jadwal masuk kuliah. Nah, jeda waktu ini sering dimanfaatkan untuk kegiatan backpacking. Mahasiswa yang baru lulus kuliah juga sering melakukannya sebelum mereka mendaftar ke dunia kerja. Meskipun didominasi orang-orang muda, bukan berarti pelaku backpacking hanya remaja dan mahasiswa saja. Cukup banyak profesional yang sudah berkarir selama bertahun-tahun berhenti kerja hanya untuk backpacking. Ini dikenal sebagai vagabond, atau orang yang berjalan-jalan tapi tidak memiliki pekerjaan. Bahkan, kini backpacking juga dilakukan oleh lansia. Meskipun sudah berumur, cukup banyak yang masih percaya diri memanggul backpack di bahu mereka. Jelaslah, pelaku backpacking tidak mencari simbol status, tapi melakukan perjalanan untuk mengenal tempat-tempat lain di dunia. Di negara-negara maju, lulusan perguruan tinggi atau orang yang pernah berhenti kerja hanya untuk backpacking, akan diberi nilai plus oleh perusahaan yang memperkerjakan mereka. Perjalanan mandiri ke tempat-tempat asing membutuhkan kemampuan khusus. Hanya orang-orang yang memiliki kecerdasan emosional tinggi yang mampu bernegosiasi dengan orang asing, tetap survive di negara orang, serta memiliki pengetahuan lebih mengenai budaya lain. Hal-hal seperti inilah yang sangat dihargai oleh para manajer. Bandingkan dengan kondisi di Indonesia. Meskipun anak orang kaya, jarang sekali lulusan SMA yang khusus dikirim orangtuanya ke luar negeri untuk mencari pengalaman baru. Boro-boro menyiapkan backpacking, orangtua lebih suka menyuruh anaknya masuk kampus elit. Jadi, persoalannya bukan hanya karena faktor ekonomi, tapi soal pola pikir. Kembali ke soal konsep, sebenarnya ada empat prinsip dasar backpacking yang tidak bisa ditawar-tawar. Tanpa melakukan hal ini, jangan coba-coba mengaku sebagai backpacker! Empat hal tersebut adalah independent (memanfaatkan angkutan umum dan tidak menggunakan jasa tur wisata), travel light (membawa barang sesedikit mungkin), educational (bersifat mendidik), dan yang terakhir travel cheap (melakukan perjalanan dengan cara murah). Jadi, unsur murah hanya salah satu prinsip saja dalam backpacking. Murah di sini bukan dalam arti murah secara keseluruhan. Prinsip ini diartikan sebagai preferensi dalam memilih fasilitas saat melakukan perjalanan. Misalnya, backpacker selalu menginap di akomodasi sederhana dan makan di rumah makan lokal. Apakah backpacking selalu lebih murah dari paket tur? Belum tentu! Prinsip-prinsip backpacking menuntut perjalanan dilakukan dengan durasi lebih lama dari turis biasa. Bandingkan saja misalnya, biaya paket tur tiga hari keliling Bangkok akan lebih murah dibanding backpacking selama dua minggu di Thailand bagian utara. Jadi, semuanya tidak bisa diukur dengan uang. Hal yang harus dipikirkan bukan seberapa murah perjalanan itu, tapi seberapa besar pengalaman yang bisa didapat. Setuju? Merujuk pada prinsipnya, backpacking bisa dilakukan semua orang, tak hanya remaja, mahasiswa dan vagabond saja. Terminologi backpacking kini makin cair. Sekarang muncul variasi baru seperti flashpacking. Ada juga orang yang berlagak seperti backpacker, meskipun sebenarnya tidak. Siapa saja mereka? Waduh, sepertinya artikel saya ini sudah terlalu panjang. Penjelasan lebih detail silahkan baca sendiri di buku saya berjudul “Backpacking: Thailand”, diterbitkan Elex Media Komputindo. Di situ dijelaskan bagaimana caranya mempersiapkan perjalanan yang truly backpacking. Misalnya, perjalanan yang educational itu seperti apa. Lalu, bagaimana caranya mengaplikasikan konsep travel light. Pokoknya komplit plit. Buku ini juga bisa dibeli di
gramediashop.com dan
bukukita.com. Baca resensinya
di sini Kunjungi juga blog saya di
easybackpacking.blogspot.com
KEMBALI KE ARTIKEL