“Raperda Tata Ruang Jember Contek Daerah Lain”,begitulah cuplikan judul salah satu harian digital sebuah media nasional (Tempo.co), Jumat 22 Maret 2013. Terus terang saya tersentak, sangat kaget, dan bisa dibilang tidak percaya dengan apa yang baru saja saya baca. Tapi bukan karena cuplikan judul tersebut, melainkan bagaimana bisa kasus ini muncul ke permukaan bahkan samapai ke media. Pada kenyataannya paraktek seperti ini lumarah terjadi tidak hanya di jember, tetapi di berbagai daerah di luar Jember.
Salah satu petikan dalam artikel tersebut menyebutkan “Aktivis LSM SD Inpers Jember, Bambang, memaparkan berbagai kejanggalan ditemukan dalam kedua dokumen yang menyangkut nasib dan kehidupan warga Jember tersebut. Di antaranya, dan ini sangat memalukan, kedua rancangan perda tersebut menyontek alias copy-paste perda milik Kabupaten Kebumen dan Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah”. Terasa menggelikan memang, bagaimana bisa sebuah proyek tata ruang dengan dana ratusan juta rupiah dibuat dengan sebuah metode copy paste seperti itu? Tapi itulah faktanya, kita tidak bisa berkelit dengan keadaan yang memang lumrah terjadi dalam penyusunan proyek tata ruang ini.
Ingin sekali saya protes, bagaiamana bisa produk yang seharusnya menjadi pedoman dalam penataan dan pembangunan suatu wilayah justru dibuat dengan asal-asalan sepertii itu? Bukankah ini berarti sebuah proses penjerumusan, apakah daerah lain yang di copy paste memiliki karakteristik yang sama dengan derah yang akan direncanakan? Apakah kedua derah memiliki local genous yang sama? Atau apakah kedua daerah memiliki partisipasi yang sama dari masyarakatknya? Tentu saja berbeda, tidap daerah pasti memiliki perbedaan, mulai dari SDA, SDM, sampai local genous mereka, dan inilah yang harus menjadi perhatian dalam penyusunan rencana tata ruang wilayah tersebut.
Jika saya melihat perjalanan sebuah rencana tata ruang, memang sangat menggelikan. Pertama, proses birokrasi yang terlalu bertele-tele; kedua, kebebasan konsultan untuk berkreasi dalam menyusun rencana tata ruang diabaikan oleh kepentingan pemerintah (pemilik proyek); ketiga, kongkalinkong antara pemerintah (pemilik proyek) dengan konsultan. Ketiga hal tersebut menjadi batu super besar yang menghambat terwujudnya sebuah rencana tata ruang yang ideal dan benar-benar bisa menjadi sebuah master plan pembangunan suatu daerah. Dengan meilik kasus copy paste rencana tata ruang di Jember, kita sudah bisa melihat dengan jelas bagaimana sebuah proses penyusunan tata ruang itu dimanipulasi oleh kepentingan “uang”.
Menyedihkan memang, tapi ini adalah cambuk buat saya yang memang bekerja pada domain tata ruang, tapi ini justru menjadi bahan introspeksi buat saya untuk mengubah paradigm yang buruk dalam penyusunan naskah akademis rencana tata ruang yang bisa bermanfaat. Bahkan sebuah ide muncul untuk menyusun sebuah pilot project rencana tata ruang yang akan saya kerjakan sendiri dengan teman-teman planner lainnya, yang murni sebuah kajian akdemis untuk rencana tata ruang. Ini untuk membuktikan bahwa proses penyusunan rencana tata ruang yang slema ini dilakukan adalah sebuah kekeliruan yang menghasilkan sebuah dokumen cacat!