Pernah suatu hari saya menyaksikan sebuah acara televisi yang menampilkan profil sebuah negara di Skandinavia, Norwegia. Di negara Eropa Utara tersebut, sebagian besar cadangan minyak dalam negeri di jual ke luar dan hasilnya di distribusikan untuk subsidi pendidikan hingga sarana umum. Beberapa bulan kemudian saya menyasikan kembali sebuah wawancara tentang perminyakan negeri kita, narasumbernya Kurtubi. Di dunia perminyakan Indonesia, Kurtubi bukan orang asing dan beliau mengatakan jika negera kita memeiliki sekitar 50 milliar barel cadangan minyak. Bisa kita bayangkan berapa puluh triliun subsidi pendidikan kita jika cadangan minyak mentah kita sebesar itu dan di jual keluar. Namun sayang hal tersebut masih utopia bukan saja karena ucapan Kurtubi masih perlu di buktikan tetapi juga kebijakan negera kita yang berlandasan menjadi ‘’importir’’ minyak. Lima milliar barel tentu bukan hal yang sedikit meskipun hal tersebut memang perlu di buktikan. Paradigma perusahaan migas kita dari sedari dulu memang cukup aneh dan unik. Memiliki cadangan minyak yang lumayan besar sebenarnya, akan tetapi kebijakan negeri ini tak pernah mencerminkan ingin mengeksplorasinya. Perbandingannya tak usah jauh-jauh dari negeri seberang saja, Malaysia. Di negeri jiran tersebut sharing profit antara perusahaan minyaknya, Petronas, dan pemerithannya 70-30. Lihat di Indonesia, antara Pertamina dan pemerintah pusat 30-70. Bagaimana Pertamina bisa mengeksplorasi ladang-ladang migas baru jika pola pembagian keuntungan seperti ini? Saya tidak heran jika sosok Keren yang bergaji 200 juta pun lebih memilih mengajar di Harvard. Meskipun alasan keluar masih perlu di teliti lebih lanjut apakah alasanya politis atau memang alasan profesional.
KEMBALI KE ARTIKEL