Kereta dari Jogja itu akhirnya membawa rombongan kecil kami sampai di Malang, tepat 5.30 WIB (tidak jauh dari perkiraan teman saya) hari Sabtu tanggal 25 Mei 2013. Kome, adik Junior yang langsung harus saya samperin di wisma UM (Universitas Negeri Malang), berhubung mobil yang menjemputnya akan segera datang untuk kembali ke pulau Sumatera. Jumat lalu dia baru saja mengikuti ujian seleksi masuk Pascasarjana di Universitas Negeri Malang jalur beasiswa. Tidak sampai sepuluh menit disana, nya sudah berangkat dan saya melanjutkan naik angkot pulang ke kos. Lelah pasti, di kereta itu terasa dingin, perut kembung dan tidak bisa tidur. Di angkot sedang memikir-mikir akan agenda berikutnya apa akan diikuti atau tidak. HP sudah meninggal dunia tak berbaterai dari kemaren. Jam 6.30 kata teman harus sudah kumpul di sekretariat Perkantas (Persekutuan Kristen Antar Universitas). Ini sebuah persekutuan yang menjadi bagian dari pertumbuhan rohani dan mungkin juga jasmani :-) bagi saya sampai usia sekarang ini. Bertumbuh itu perlu komunitas, jadi jangan jauh-jauh dari komunitas, hati-hati lama-lama bisa jadi lepas. Saya masih ingat kata-kata ini disampaikan oleh teman saya sekaligus senior di Pasca UM. Saya setuju dengan kata-kata itu dan lalu tanpa berpikir lebih panjang lagi, saya memutuskan untuk pergi. Hari ini ada acara susur sungai di Kali Brantas, Malang. Penyelenggaranya adalah KALI (Komunitas Advokasi Lingkungan Hidup) semacam sebuah komunitas yang bermisi dibidang lingkungan hidup dan dengan kegiatan ini berharap bahwa peserta yang ikut dapat semakin meningkatkan kepedulian terhadap lingkungan. Komunitas ini dibentuk sebagai kelanjutan dari sebuah kamp nasional mahasiswa Kristen. Saya tidak terlalu jelas merekam sejarah komunitas ini secara terperinci dan tanggal berapa dibentuknya.
Kembali ke cerita soal susur sungai. Pertama sekali mengikuti susur sungai itu membuat saya terpaku dan diam. Ada semacam erangan, kemirisan dan kesedihan di hati. Saya bergabung di grup I yang ternyata dihuni oleh beberapa teman sesuku saya dan mendapat bagian di titik paling ujung, dibawah jembatan. Sambil menyusuri kali munuju titik dimana kami harus bersih-bersih, jalanan licin tak membuat semangat kami surut, jika tidak hati-hati jangan-jangan bakalan berenang di kali. Sandal bergerigi itu tak cukup menahan membuat saya hampir terjatuh namun besi di pinggir sungai itu menahannya dengan mengoyakkan jeans ku secara kurang ajar. Baiklah, hanya jeans dan sedikit goresan, aku bangkit, Lya ketua rombongan berkali-kali jatuh bangun. Kuamati dia sejenak, semangat pemimpinnya merajai raut wajahnya, semangat! Ah, sampah dimana-mana, baunya menusuk hidung menjadikan masker penutup itu seakan tak berfungsi apa-apa. Kotoran dimana-mana, sampah menumpuk, sementara percikan air sungai yang coklat itu mengalir begitu saja seakan tak peduli kegeramanku. Satu kelompok dapat 4 karung plastik, sudah hampir penuh, di ujung masih banyak sampah. Adegan yang cukup menyulut emosi ketika Jerry (salah seorang teman kelompok)turun mengambil sampah ke dekat sungai. Sebongkah sampah malah terlempar hampir mengenai jidatnya dari atas oleh seorang warga. Oh God..ya, ya, ya…paham sekali memang benar bahwa tempat sampah mereka ada disana, dan hal itu terjadi juga kepada saya. Si Ibu malah memasukkan sampahnya ke karung yang saya pegang, lalu pergi tanpa sepatah kata pun. Lalu apa aku harus berteriak memanggil si Ibu? Baiklah,yang kulakukan hanya diam seribu bahasa walau sesungguhnya hati hancur. Ingin sekali meraih Ibunya dan mengajaknya berbicara jika perlu dari hati ke hati. Apa daya beliau malah sudah pergi dengan langkah gontai seperti pencuri. Di grup lain, kudengar teriakan mereka lantang berbicara "Pak, Bu, jangan buang sampah ke kali". Walau tidak didengarkan setidaknya kami mengerjakan bagian kami. Berharap kelak mereka mau untuk mendengarkan. Lagi-lagi hati ini memang miris teriris.