Tragedi Tugu Tani begitu mengguncang . Sebuah xenia yang dikemudikan sedemikian kencang, oleh seorang gadis dalam kondisi ‘hilang ingatan’, telah membuat Sembilan nyawa melayang. Bermacam komentar, berupa ulasan, ungkapan keprihatinan,  hingga hujatan pun bertebaran. Dari warung di tepi jalan, di dalam media mainstream, hingga jejaring sosial.
Lalu pernahkah kita memposisikan diri sebagai orang tua Afriani yang malang?
Andai saja Afriani anak kandung kita, betapa terguncangnya kita sebagai orang tua. Karena tak seorang pun orang tua, berharap anaknya  berbuat ‘celaka’.
Ya, bisa saja kita telah dibohongi oleh anak gadisnya. Betapa tidak, dengan penampilan sebagai ‘anak mama’, yang di lingkungan rumah selalu menurut kata orang tua, buktinya jilbab pun tak pernah jauh dari kepala, di luar dugaan justru berbuat sebaliknya.
Bisa saja saat itu Afriani minta ijin pada orang tuanya untuk menghadiri kegiatan pengajian, bisa saja Afriani bilang akan belajar bersama teman. Tapi kenyataannya, si gadis justru berpesta-pora, bahkan memakai barang haram, berupa narkoba! Naudzubillaah…
Kitapun terhenyak. Sakit hati ini. Lalu bertanya, salah siapa semua ini?
Di sinilah kita perlu bercermin diri, dan jangan sekedar meratapi nasib yang telah terjadi.
Mungkin kita telah salah dalam mendidik anak gadis kita, kita biarkan dia bergaul dengan siapa saja, kita selalu menuruti segala maunya.
Atau…  jangan-jangan kita justru telah memperlakukan yang sebaliknya . Terlalu keras, dan main paksa sekehendak kita, sehingga Afriani memberontak, dan berlari dari suasana yang membelenggunya. Bahkan tidak menutup kemungkinan, bisa juga ini terjadi sebagai dampak dari ‘perilaku’ kita dahulu, dan balasannya menimpa anak kita yang tidak tahu apa-apa…
Ah, susah juga ternyata sebagai orang tua…
Tuhan, maafkanlah saya… Dan ampunilah anak saya…