Berita yang saya terima hari ini (kamis, 14/04/2011) dari salah seorang sahabat seniman di Solo tentang telah berpulangnya kehadirat Illahi
blih I Wayan Sadra pada pukul 00.05 WIB di Rumah Sakit Muwardi-Solo, sungguh mengejutkan hati saya. Ada keperihan yang tak terperikan yang tiba-tiba saja menggelayut di dalam dada saya. Duh, blih Sadra. Berbagai kenangan tentang “persetubuhan” kita beberapa tahun yang lalu adalah sebuah pelajaran yang paling berharga buat saya. Engkau adalah guru informal saya dalam berkesenian. Engkau juga adalah guru spiritual saya dalam memahami dengan santun berbagai persoalan-persoalan berkesenian. Dipertemuan kita yang terakhir kalinya dipelataran Taman Budaya Surakarta pada medio Oktober 2010. Engkau seakan memberikan "isyarat" penting bahwa kita tidak akan pernah bertemu lagi. Saya menjabat erat tanganmu Blih. Saya memelukmu dengan penuh cinta Blih. Tatapanmu masih berbinar. Senyummu masih hangat. Blih, jejak-jejak rekaman itu kembali mengalir dengan manisnya. Semuanya masih terekam dengan sangat jelas ketika saya menawarkan sebuah gagasan dan konsep pementasan tentang persoalan yang berhubungan dengan issue
“global warming dan green house effect”. Secara mengejutkan engkau menerima tawaran konsep saya dan bahkan dengan ringan hati engkau bersedia untuk menggarap komposisi musiknya. Sungguh Blih, saat itu ada rasa bahagia yang sangat sulit saya ungkapkan. Blih, hal yang paling menimbulkan kesan yang sangat dalam terhadap diri saya adalah ketika saya mendapatkan sebuah pelajaran yang paling berharga tentang apa dan bagaimana untuk menjadi seorang Seniman Profesional. Mulai dari gagasan, rencana kerja, latihan hingga menuju kepanggung pementasan. Semuanya harus tepat waktu serta selalu siap menghadapi berbagai kendala. Blih, malam ini jam 19.00 WIB semua sanak saudara dan handai taulan sedang berkumpul di rumah kebanggaanmu di Ngringo, Jaten-Karanganyar untuk upacara Adat Keagamaan. Besok jumat 15 April 2011 jam 14.00 WIB tugas kemanusiaanmu akan diselesaikan oleh sanak saudara dan handai taulanmu. Hari sabtu 16 April 2011 abu jenazahmu dilarung dalam tata krama keagamaanmu di Sungai Bengawan Solo. Duh Blih, saya semakin tak berdaya. Saya semakin galau dan risau. Engkau telah pergi. Engkau telah berada di alam barzakh. Alam penyempurnaan jazadmu. Maafkan saya kerana tak bisa mengantar kepergianmu. Do’a tulusku untuk kedamaianmu disisi-Nya adalah pengabdian rasa cintaku yang tak terperikan kepadamu. Blih, saya tidak bisa lagi bercerita banyak tentangmu. bagiku engkau adalah Seniman Besar yang pernah ada di Indonesia. Lebih dari itu, bagiku juga engkau adalah bukan pemusik biasa. Kini, engkau sedang istirahat. Engkau sedang menikmati sebuah kolaborasi permainan komposisi indah dan menakjubkan denganNya di alam sana. Saya tak ingin mengganggu kedamaianmu. Biarlah semuanya menjadi kenangan masa lalu kita untuk menjadi hal yang paling indah dan tak akan pernah terlupakan disepanjang hidup saya yang tinggal sebentar. Hanya
Sang Hyang Widhi yang bisa menjelaskan kepadamu betapa perihnya hati ini. Duhai sahabat nuraniku berangkatlah dengan damai menuju KeharibaanNya. Mainkan musik cintamu di panggung nurani persembahan purna kehidupanmu. Bagiku engkau tak pernah tiada. Engkau senantiasa ada di hatiku, di jiwaku untuk tetap berkolaborasi memainkan tembang cinta yang membahana sunyi.
"Sabbe Sankhara Anicca.........."; Selamat Jalan Blih. Selamat jalan Guruku; Selamat jalan Abangku; Selamat jalan Sahabatku. Rinduku kepadamu sepanjang hayatku. .
In Memoriam I Wayan Sadra Sentul-Bogor, 14 April 2011
KEMBALI KE ARTIKEL