Saya awali tulisan ini dengan deretan huruf yang membentuk satu kata: KONSUMERISME. Kata yang tak asing lagi terdengar saking sering mendengarnya bahkan kita sudah dan sedang mempraktekkannya. Tak disangka, kata yang terlihat begitu sedernaha namun sangat berbahaya. Mengapa berbahaya? Bagaimana tidak, kata inilah yang merepresentasikan manusia sebagai makhluk yang tak pernah luput dari kebutuhan serta pemenuhannya. Pemenuhan yang terkadang menjadi tumpang tindih karena sebagai subjek, kita tak tahu bahkan sama sekali tak bisa membedakan mana yang menjadi kebutuhan dan mana yang menjadi keinginan semata. Masalah klasik? Mungkin saja.
Menarik tentunya dapat belajar lebih banyak mengenai hal-hal yang melekat dengan kehidupan kita. Pelajaran berharga hari ini (30 Maret 2011) yang saya peroleh adalah mengenai konsumerisme. Budaya konsumtif yang seakan sulit dibasmi. Konsumerisme ini menjadi satu topik yang diangkat dalam interaktif talkshow yang tadi pagi berlangsung di kampus IV Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Adapun topik yang dibahas adalah “Consumerism, Media, and Youth Culture” dengan menghadirkan tiga nara sumber masing-masing dari Lembaga Konsumen Yogyakarta (Pak Widijantoro), IMPULSE Yogyakarta (Pak Gutomo Priyatmo) dan Media Watch (Ibu Sirikit Syah). Beruntung bisa ikut hadir dan menimba ilmu di sana!
Tiga topik di atas tentunya sangat berkaitan satu sama lain. Media menjadi sarana promosi yang paling efektif untuk kemudian memunculkan budaya konsumtif bagi orang yang mengkonsumsi media itu sendiri. Yang paling mengerikan adalah anak muda menjadi sasaran utamanya! Sungguh banyak sekali godaan bagi para muda-mudi! Bagaimana ini?
Ternyata tak mudah menjadi orang muda! Mengapa demikian? Karena hanya sedikit saja orang muda yang sudah melek terhadap apa yang ia konsumsi dan apa yang memang dibutuhkannya. Bukan hanya itu, orang muda bahkan orang-orang tua juga tak bisa mengalahkan suatu kekuatan besar dibalik pola konsumsi yang berlebihan dan memboros. Bagaimana tidak, kapitalisme global telah sangat kuat masuk ke kehidupan kita. Kapitalismelah yang senantiasa menghadirkan produk-produk budaya populer dan menjadikannya seolah-olah penting untuk kita. Namun jika dipikir-pikir, tak juga memiliki nilai fungsiobal apa-apa selain kesenangan semata dan pemenuhan keinginan.