Karena merasa dipinggirkan dan mendapat ketidakadilan, pada tahun 1991, sekelompok jurnalis di Afrika kemudian mengajukan banding pada konferensi UNESCO yang diadakan di ibu kota Namibia, Windhoek. Peristiwa itu kemudian dikenal dengan "Deklarasi Windhoek". Sekelompok jurnalis ini mengajukan dokumen yang isinya termuat tentang dasar bagi pers yang bebas, independen, dan pluralis.
Dua tahun kemudian, atau tahun 1993, pada sesi ke-26 Konferensi Umum UNESCO menanggapi seruan para penandatangan Deklarasi Windhoek dan menyepakati Hari Kebebasan Pers Sedunia. Menurut situs PBB, Hari Kebebasan Pers Sedunia diproklamasikan oleh Majelis Umum PBB pada Desember 1993, mengikuti rekomendasi Konferensi Umum UNESCO. Sejak itu, 3 Mei diperingati sebagai Hari Kebebasan Pers Sedunia.
Pada era kekinian, Hari Kebebasan Pers Sedunia agaknya cuma sekadar dijadikan pengingat dan seremoni belaka. Sebab, bila bicara menyangkut kebebasan pers, media massa, bahkan jurnalis belum benar-benar merdeka dalam menyampaikan informasi. Masih ada beragam temuan kasus, khususnya menyangkut tindak intimidasi, kekerasan fisik, bahkan serangan digital terhadap media massa ataupun pekerja jurnalis.
Berdasarkan catatan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, sepanjang tahun 2023, terdapat 89 kasus serangan dan hambatan, dengan 83 individu jurnalis, 5 kelompok jurnalis, dan 15 media menjadi korban. Jumlah tersebut naik dibandingkan tahun 2022 sebanyak 61 kasus dan 41 kasus pada 2021. Kekerasan tertinggi terjadi pada jurnalis atau media yang melaporkan isu-isu terkait akuntabilitas dan korupsi yakni sebanyak 33 kasus, disusul isu-isu sosial dan kriminalitas sebanyak 25 kasus, dan isu lingkungan sekaligus konflik agraria mencapai 14 kasus.
Sisanya adalah isu politik dan pemilu 5 kasus serta isu-isu lain di luar empat kriteria tersebut ada 15 kasus. Dari beragam kasus tersebut, jurnalis dan media masih dibayang-bayangi ancaman UU ITE yang kerap digunakan pihak tertentu karena tidak senang atas pemberitaan yang beredar. Bahkan, terkait kasus UU ITE, ada juga jurnalis yang diproses hukum dan ditahan dengan delik aduan pencemaran nama baik.
Tidak hanya sebatas pada kasus hukum saja, kini jurnalis justru dihadapkan dengan upah yang tidak layak. Bahkan, jurnalis juga dihadapkan dengan PHK (pemutusan hubungan kerja) sepihak dari perusahaan media. Teranyar, banyak media yang kemudian mulai memberlakukan sistem kontrak profesional. Dalam penerapannya, sistem kontrak profesional ini justru sangat merugikan jurnalis.
Di beberapa kota Indonesia, perusahaan media sudah mulai menerapkan aturan ini. Mereka memberlakukan aturan tersebut berangkat dari UU Cipta Kerja yang diteken Presiden RI Jokowi dan disahkan DPR RI pada awal 2023 kemarin. Dengan pengesahan UU Cipta Kerja ini, kelompok jurnalis ikut terdampak. Hak-haknya benar-benar dikebiri. Bahkan kesejahterannya pun terancam dengan beban kerja yang begitu berat.
Di satu sisi, jurnalis memang sangat membutuhkan pekerjaan. Di sisi lain, ia terpaksa mengamini kontrak kerja tersebut, karena masih membutuhkan biaya hidup yang kian mahal untuk menafkahi keluarganya. Namun begitu, bagi jurnalis profesional, ia tak akan menyerah begitu saja. Mereka terus mengupgrade kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Banyak pelatihan-pelatihan yang bisa diikuti, agar jurnalis tetap bisa bertahan di era yang kian canggih dan tak karuan ini.