Ini malam ketiga berturut-turut aku merasa luar biasa suntuk. Otak mendadak macet memikirkan rencana ke depan, padahal sudah dua minggu aku kembali menyandang gelar pengangguran. Aku mengundurkan diri bukan tak butuh uang, tapi sudah kelewat tak cocok dengan lingkungan kerja itu. Apalagi, sama ibaratnya dengan sebuah hubungan percintaan, prinsip kerjaku dengan atasan terlampau tak sama lagi.
Kuundang kantuk dengan melahap lebih dari belasan lembar novel remaja picisan, tapi kantuk tak cepat datang juga. Betapa suntuknya. Begini salah, begitu salah. Ini tak enak, itu tak enak. Hanya berbaring memandangi langit-langit kamar dengan lamunan tak jelas mengarah kemana. Kupejamkan mata, tapi liukan melodi gitar Garry Moore dengan Still Got The Blues-nya dari pemutar mp3 di ponsel, tak juga mampu meninabobokanku hingga lelap.
Ah, ya! Mungkin bercengkrama dengan Mbak Facebook atau menjelajah Om Google dapat mengusir suntuk. Barangkali bisa curhat lewat Tante Tweeter atau Neng YM. Aku melompat, menyambar kunci motor yang tergeletak di kasur, mengunci kamar kost dan menuju tujuan pasti, warnet.
Sampai di warnet aku bergegas mengisi tempat kosong lalu login paket begadang. Jendela penjelajah internet sudah terbuka ke sebuah halaman situs perusahaan asuransi ternama. Rupanya pengunjung sebelumku lupa menutupnya. Iseng saja kubaca, "Perusahaan asuransi terbesar di Indonesia bekerja sama dengan bla bla bla menyelenggarakan lomba cerpen dengan tema asuransi." Ah, lomba cerpen. Aku kira lomba nyanyi. Aku tak begitu tertarik. Apa hebatnya lomba cerpen, kalaupun juara, pemenangnya tak begitu dielu-elukan seperti juara ajang pencarian bakat di televisi.
Kutarik scroll halaman semakin ke bawah. Tapi tunggu dulu! Juara pertama mendapatkan hadiah tujuh juta rupiah, juara kedua lima juta, juara ketiga tiga juta, dan masing-masing satu juta rupiah untuk sepuluh juara harapan. Serentak angka tujuh, atau lima, atau tiga, atau satu dengan deret nol enam digit di belakangnya tercetak tebal di otakku. Hmm, apa tidak salah lomba cerpen hadiahnya jutaan? Siapa tak tergiur dengan jumlah rupiah sebanyak itu. Baiklah kalau begitu, aku ikutan.
Akhirnya aku terfokus di halaman situs itu. Aku menunda untuk masuk ke halaman facebook sekedar update status atau memberi jempol. Kubaca berulang-ulang, persyaratan lomba dan batas waktu pengiriman karya. Kusimpan saja halaman ini ke dalam flashdisk, kebetulan selalu kubawa kemanapun pergi.
Aku tercenung sejenak. Hmm, pikirku, cerita apa yang berhubungan dengan asuransi, aku saja tak begitu tahu soal asuransi. Kali ini kupaksakan untuk mengenali lebih jauh apa dan bagaimana asuransi itu, sejelas-jelasnya. Lalu kucari bahan-bahan dengan menjelajahi google dan menyimpan beberapa referensi tentang asuransi. Mungkin setelah aku memahami asuransi, aku dapat ide cerita. Setengah jam saja, aku urung meneruskan paket begadang, logout, bayar, lalu bergegas kembali ke kost.
Angin malam menyelusup hingga badan gemeretak dan angan yang berkeliaran membuat kulajukan motor pelan saja. Masih tercetak di benakku, tujuh, lima, tiga dan satu juta rupiah. Dan mengumbar khayal, seandainya aku memenangkan lomba itu, hadiahnya lumayan untuk bayar utang, bayar kost tiga bulan, beli ini beli itu, ada dana tahun baruan, dan sisanya untuk tabungan.
Sampai di kamar kost, mumpung sedang semangat, kunyalakan laptop untuk segera mengawalinya. Kubuka file-file yang sudah kusimpan di flashdisk, kubaca cermat tulisan-tulisan itu agar aku memahami tema asuransi untuk lomba cerpen itu. Beberapa referensi sudah kubaca, bahkan ada yang diulang tiga kali. Sampai di sini, sudah terbayang apa saja yang berhubungan dengan asuransi.
Baiklah, mari kita mulai! Kupejamkan mata, "Hai inspirasi! Datanglah! Datanglah!" Lebih dari lima menit, inspirasi tak juga datang. Kutatap lekat poster Morrison yang sengaja kugantung empat puluh lima derajat condong ke kiri. "Hei! Bantu aku!" bisikku.
Kubiarkan imajiku bergentayangan kemanapun ia membawa khayalan dan lamunan untuk mereka-reka cerita. Seperempat jam berlalu, tiba-tiba aku dapat inspirasi dan langsung kuketik. Kubaca seksama, kutimbang-timbang, tapi lalu kuhapus saja. Cerita ini sepertinya tak begitu menarik, sudah terlalu umum dan mungkin sering diceritakan orang.
Huh, sepertinya kebebasan berceritaku tersekat oleh pemikiran bagaimana selera juri agar mereka memenangkan cerpenku. Aku malah jadi buntu. Kumatikan laptop. Besok saja dimulai lagi, toh masih ada lima hari sebelum batas pengiriman.
6 November 2012
Pagi-pagi, aku sudah bersiap mengerjakan cerpenku. Akumasih bingung memulai cerpenku, ide ceritanya belum kutemukan. Seperti pertapa sedang bertirakat mengharapkan ilham, aku mengurung diri seharian, dan yang kuharapkan adalah wangsit berupa ide cerita. Namun itu tak cukup membuatku segera menemukan ide cerita. Berjam-jam aku memelototi layar monitor laptopku, hingga magrib tiba, tak satupun ide cerita muncul, tak satu paragraf pun selesai kubuat. Kutunda besok saja, masih ada empat hari lagi.
7 November 2012
Hmm, susah-susah, bagaimana kalau menyadur? Cari saja cerpen bagus dari penulis terkenal yang sudah diterbitkan, lalu menyesuaikan ceritanya dengan tema asuransi, merombak alur dan memodifikasi tokohnya. Tapi tidak, nuraniku tak mengijinkannya, itu tidak cantik.
Sudah dua hari tapi belum juga kutemukan ide cerita bagus, itu membuatku sedikit tertekan. Baiklah, jangan terlalu dipaksakan, santai saja dulu. Mungkin bermalas-malasan dan banyak tidur untuk menyegarkan otak.
8 November 2012
Apa mungkin aura kamar kost ini tidak cocok denganku, sehingga inspirasi tak juga datang. Dan memang, tempat kostku tepat di pinggir jalan yang ramai, takkan pernah sepi sebelum jam duabelas malam. Jadi apa yang mesti kuperbuat? Apa mengungsi sementara ke tempat sepi, seperti ke hutan, gunung, atau goa. Ah, ya, mungkin pulang kampung saja. Ketenangan desa mungkin lebih membantu menemukan ide cerita.
Hanya berbekal laptop dan beberapa potong pakaian yang kubawa. Jam sepuluh, masih lumayan pagi, cukup untuk berangkat. Jam setengah satu sampai di desa tercinta. Satu setengah jam lebih berkendara, terik cukup menyengat, membuat lelah badan. Istirahat saja dulu, tidur, satu atau dua jam.
Aku terjaga jam empat sore, itupun dibangunkan ibuku. Aku bergegas mandi dan menyambar meja makan, lepas itu aku bersiap memulai. Baru saja membuka laptop, kerabat berdatangan, ngobrol ngalor ngidul hingga masuk beduk magrib mereka baru membubarkan diri.
Desa ini mirip belantara, selepas Isya sudah mulai sepi, suasana yang sangat mendukung. Oke, mari kita mulai mengerjakannya. Dan, sungguh tak sia-sia kupaksakan ke tempat ini, aku dapat ide cerita. Segera kususun kerangka cerita. Tinggal memulai paragraf awal.
Sampai di situ, aku buntu lagi. Tak tahu kata dan kalimat apa untuk memulainya. Huh, betapa sukarnya! Sempat terpikir menyerah saja. Tapi tunggu, sudah separuh jalan. Sayang sekali kalau terhenti di tengah-tengah, apalagi jumlah hadiahnya. Selain cinta, uanglah yang sangat bisa mendorongku untuk melakukan sesuatu yang sulit. Oke, aku takkan menyerah! Ingat tujuh, atau lima, atau tiga, atau satu juta, begitu menggoda.
Malam ini menjadi malam yang panjang namun terasa begitu singkat. Hingga jam satu malam, hampir lima jam berkutat dengan laptop mengarang cerpen, hanya baru dapat tiga paragraf. Itu karena kebanyakan diselingi game, sedikit meredakan ketegangan. Semakin lama, katup mata terasa berat. Tidur saja, pagi nanti dilanjutkan lagi.
9 November 2012
Udara pagi desa seakan ikut menyegarkan otakku. Aku begitu bersemangat. Usai sarapan, aku kembali bersarang di kamar. Mengurung diri, dan berpesan agar tak diganggu siapapun. Kumatikan ponselku biar tiada seorangpun mengganggu konsentrasiku.
Menit demi menit berjalan, alinea demi alinea tersusun, ditemani Symphony #2 Beethoven hingga kacapi suling Cianjuran untuk menstimulasi otak agar lebih kreatif memainkan kata dan kalimat. Aku bertekad keras, hari ini mesti selesai, dan besok revisi terakhir. Batas pengiriman karya besok jam duabelas malam, dikirim lewat email.
Dengan puncak konsentrasi, tanpa diselingi main game, jam empat sore akhirnya cerpenku selesai. Kuturuti tips salah satu penulis sukses, saat menulis fiksi katanya endapkan dulu sebentar supaya segar saat memperbaikinya. Besok revisi terakhir sebelum dikirim.
10 November 2012
Ini seperti sebuah berkah setelah menziarahi makam kakekku tadi pagi. Otakku terasa begitu cemerlang. Tiba-tiba aku jenius memilah diksi, meramu ulang kalimat yang kurang pas, dan merombak narasi hingga kurasa cukup sempurna. Tepat adzan Magrib cerpenku rampung direvisi terakhir. Tinggal mengirimkannya lewat email, nanti malam sebelum jam dua belas cari warnet, sedikit ke kota, sebab di sekitar desaku tak ada.
Usai salat magrib aku rebahkan diri di atas kasur sekedar meluruskan pinggang. Ada waktu beberapa jam, cukup untuk istirahat sejenak. Kupejamkan mata, membayangkan seandainya aku menjuarai lomba cerpen itu. Selain bangga, tentunya yang paling penting adalah hadiahnya. Semakin lama kupejamkan mata, andai-andai makin jauh mengelana, hingga terperosok dalam kantuk dan impian membawaku ke sebuah adegan saat aku menerima hadiah juara pertama, begitu manisnya.
Sayup suara adzan semakin lama semakin jelas terdengar. Kesadaranku belum pulih, mata masih begitu berat untuk terbelalak. Rasanya begitu malas untuk beranjak dari kasur kapuk empuk ini. Kurapatkan lagi mata ini untuk kembali tidur. Tiba-tiba, "Lomba cerpen dengan tema asuransi berhadiah jutaan rupiah..." Seolah diujung telinga bisikan suara itu, lirih namun begitu jelas. Aku terperanjat, segera melesat ke kamar mandi. Bagian akhir adzan masih melantun bersahutan.
Keluar kamar mandi aku berpapasan dengan ibuku. "Tumben kamu sudah bangun. Ayo berjamaah salat Subuh di masjid sana!" kata ibu sambil melangkah masuk kamar mandi.
"Hah?" Kutengok jam di dinding, jam empat lewat lima menit. "Hah, subuh? Jadi barusan adzan subuh? Aku kira adzan isya."
Aku masih belum percaya begitu saja. Aku menuju kamar, sekali lagi kuyakinkan diri. Kuraih ponsel di atas kasur, kulihat layar ponsel menunjukkan tanggal 11 November 2012 jam 04:09, walau beda menit tapi jam di ponsel dan di dinding, akur. Aku ternganga, spontan menepuk kening. Mendadak tubuh terasa begitu berat, lunglai, dan kujatuhkan diri di atas kasur. Saat itu aku benar-benar menyadari, sudah terlambat. Aku gagal mengirimkan cerpenku. Sudah lewat batas pengiriman.
"Aaarrgh...!" rutukku dalam hati.
Untuk sesaat aku terdiam menyesali kesempatan emas yang terlewatkan begitu saja. Di tembok kamar, angka tujuh, lima, tiga, dan satu dengan nol enam digit melayang-layang lalu menghablur, dan lenyap begitu saja. ***