Mohon tunggu...
KOMENTAR
Fiksiana Pilihan

Rindu Itu Koma: Kisah Kecil Epilepsi #Stadium 5 - Lima Puluh Lima

3 Februari 2014   22:32 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:11 85 0


PETUAH-PETUAH ketawakalan yang sering didengungkan para ustadz di pesantren begitu Koma hayati. Jargon-jargon bahwa Allah tak akan mengubah nasib seseorang hingga seseorang itu berusaha mengubahnya, senantiasa Koma lekatkan di ingatan. Tekad sudah teguh tertancap. Kesabaran dan keuletan terus digelorakan. Walhasil, bekal-bekal itu ikut mengantarkan Koma pada keberhasilan.

Di saat remaja lain menghabiskan masa remaja dengan banyak hura-hura dan keluyuran, Koma memanfaatkan masa remaja tekun belajar di pesantren. Separuh waktu di luar kegiatan pesantren, atas izin sang kyai, Koma bekerja di toko kain milik Haji Abdul. Berangkat dari niat awal bekerja semata-mata untuk mengumpulkan biaya pengobatan epilepsinya. Hal itu tercetus karena Koma sudah mencapai puncak rasa malu terus-terusan menadahkan tangan, membuat Koma belajar mandiri dan berusaha keras berpijak di atas kaki sendiri. Sedikit demi sedikit berupaya melepaskan diri dari ketergantungan bantuan orang lain.

Sang pemilik toko terkesan dengan keuletan dan kejujuran Koma, hingga seringkali Koma dilibatkan dalam pengelolaan toko. Cepat sekali Koma belajar dan menguasai seluk beluk usaha itu. Lebih setahun kemudian, atas dukungan Haji Abdul, Koma belajar mandiri, buka toko kain sendiri. Tahun pertama mengelola toko kainnya, kegagalan dan kerugian beberapa kali menghantam, malah hampir bangkrut. Tapi Koma tak gampang menyerah. Di tahun kedua, modal dan aset usaha berjalan stabil.

Sebuah pencapaian luar biasa dari kegigihannya. Perlahan, di tahun ketiga, Koma berhasil menggapai titik kemapanan, mapan dalam ekonomi. Koma sudah benar-benar lepas dari bantuan pesantren, dan giliran Koma yang banyak memberikan bantuan operasional dan biaya pembangunan beberapa fasilitas pesantren.

Di usia muda, Koma dapat dikatakan menjelma pengusaha sukses. Punya toko kain sendiri di kawasan Cigondewah, dua cabang lagi di Cianjur dan Sukabumi. Keberhasilan yang diraih Koma tidak didapatnya dengan mudah. Koma mencapai kesuksesan melewati beberapa kali jatuh bangun.

Dalam posisi mapan itu, prioritas utama yang selalu mengganggu ketenangannya adalah menemukan Asih. Di tengah kecukupan, ada kekurangan. Cukup harta, tapi selalu merasa tak cukup, sebab tiada ibu di sampingnya, sosok yang dapat memberikan perhatian kasih sayang. Koma ingin sang ibu ikut menikmati buah dari perjuangannya. Tentunya sebagai anak, ingin menunjukkan jika ia bisa menjadi kebanggaan, menyenangkan orangtua, dan boleh dikata itu sebagai bentuk balas budi, rasa terima kasih. Walaupun secara hitung-hitungan, seberapa pun besar balas budi, sepertinya tak sepadan dengan kasih sayang sang ibu. ***

SETELAH mencapai kesuksesan, saat yang tepat untuk menyempurnakan cita-cita cinta itu dengan sebuah komitmen. Semua yang dibutuhkan sudah siap. Usia cukup matang untuk ukuran kesiapan mental. Dan kemapanan finansial untuk penunjang masa depan pun sudah siap. Cita-cita cinta itu baru sempurna, disempurnakan dengan menyunting Rindu. Sudah sampai waktunya ikatan hati itu dieratkan dalam sebuah simpul pernikahan.

Ini yang selalu hadir dalam imajinasi Koma, bayangan indah, melakukan banyak hal bersama Rindu. Setiap menit, sungguh akan terasa begitu nikmatnya dijalani bersama dengan seseorang tercinta. Manakala terbangun, yang paling pertama dilihat adalah sosok orang yang dicintai, sungguh begitu indahnya. Di suatu sore mendung, Koma bertandang ke rumah tinggal Kyai Mastur, niat awal adalah mengemukakan hasratnya untuk menikahi Rindu.

"Neng, kita sama-sama sudah dewasa. Akang kira kita sudah siap! Tidakkah kita menginginkan sesuatu yang lebih baik?" cetus Koma.

"Maksud akang?" Rindu pura-pura tak mengerti.

"Ya sudah, tak perlu basa-basi lagi. Maukah Neng menikah dengan Akang?" tegas Koma.

Rindu terhenyak, tak segara menjawab. Koma melihat kekagetan yang berbeda, dan yang makin mengherankan, kekagetan itu tak bercampur kebahagiaan. Bukankah seorang gadis akan sangat senang jika pemuda yang dicintai mengajaknya menikah?

"Kenapa diam, Neng? Ada apa? Apa Neng tidak mau menikah dengan Akang?"

"Bukan itu Kang!"

"Lantas apa?"

"Sulit!" singkat Rindu. Jawaban singkat yang menyiratkan banyak arti tersembunyi

"Sulit! Apanya yang sulit?" Koma menelan ludah.

"Tak bisa Kang!"

"Kenapa tak bisa?" Koma semakin penasaran.

"Cari saja gadis lain!"

Koma seakan tersambar petir di siang cerah berawan tanpa mendung sedikit pun. Koma tak menduga jawaban Rindu seperti itu. Yang dibayangkan sebelumnya hanya kata "ya". Koma pikir, bukankah itu yang diharapkan Rindu, segera dilamar dan dinikahinya. Bukankah seperti dalam surat balasan dari Rindu yang kedua puluh satu, katanya dalam surat itu 'mungkin akan sangat indah manakala suatu saat dapat bersanding dengan Koma'. Sekaranglah saatnya itu diwujudkan.

"Apa maksud Neng cari saja gadis lain? Apa artinya ini?"

"Tak ada arti apa-apa. Mungkin lebih baik dengan gadis lain."

"Apakah itu berarti sebuah penolakan. Bagaimana hubungan yang selama ini kita jaga kesuciannya dari kemunafikan. Hubungan yang kita pelihara agar tak ternoda sampai saatnya tiba." Koma gelagapan.

"Ya, Neng tak mau menikah dengan Akang!" mata Rindu beriak. Koma merasa itu bukan berasal dari dalam diri Rindu, seperti ada sesuatu yang mempengaruhi.

"Kenapa? Beri Akang alasan yang jelas!"

"Pokoknya tidak bisa, tidak mau. Itu saja. Cari gadis lain saja!"

"Kenapa neng? Kenapa jadi begini?" tanya Koma lagi, campur baur rasa menggemuruh dalam dada.

"Neng tak pantas buat Akang," sergah Rindu

"Ini bukan soal pantas atau tak pantas." Dada Koma kian sesak. "Oh ya, Akang tahu, yang tak pantas itu Akang. Akang menyadari tak pantas untuk Neng. Siapalah Akang ini, tidak seperti Neng yang sarjana. Akang tidak punya titel, sekolah saja tak tamat. Apalagi asal-usul keluarga tak jelas. Ya, akang mengerti, itu yang membuat tak pantas."

"Pokoknya Neng tak bisa. Ada yang tak bisa Neng ungkapkan."

"Apa karena epilepsi Akang?" Tiba-tiba Koma terbetik untuk kembali mengkambinghitamkan epilepsinya.

"Bukan itu Kang! Sejak dulu, sejak tahu itu, Neng tak mempermasalahkan."

"Lalu apa? Ada rahasia apa? Bukankah selama ini kita selalu terbuka untuk memecahkan masalah bersama."

"Tidak, Neng tak bisa beritahu."

"Ayolah berikan alasan tepat, agar Akang bisa menerima keputusan Neng," desak Koma.

"Tidak sekarang, suatu saat Akang akan tahu. Yang pasti, tidak! Cari saja gadis lain yang lebih baik dan lebih pantas bersanding dengan Akang," tukas Rindu. Ingin sekali Koma segera membongkar apa dibalik penolakan Rindu, tapi nuraninya mencegah.

Bagi Koma, tak ada yang mampu menggantikan sosok Rindu. Koma telah melihat gadis itu di mimpi, di malam ketiga selepas beristikharah. Baginya sudah terkunci satu nama di hati, dialah Rindu.

Koma tak begitu saja dapat menerima keputusan itu. Koma masih menyangkal kenyataan Rindu sudah menolak ajakannya. Sangat berlawanan dengan bayangan sebelumnya. Tapi untuk sementara, Koma berusaha menerima. Nurani Koma berkata itu bukan diri Rindu sebenarnya. Mungkin tunggu beberapa saat lagi, saat yang tepat. Koma akan mencoba sekali lagi, dan beberapa kali lagi.

Serupa "dejavu", pengulangan adegan dahulu ketika ada seorang lelaki baik hati yang berkali-kali mengajak ibunya menikah, tapi justru ditolak dengan alasan tidak jelas, itu menimpa juga pada Koma. Mungkin itu sebuah karma?

"Baiklah, untuk sementara Akang bisa terima keputusan Neng. Mungkin saat ini Neng belum bersedia. Tapi akang akan tetap menunggu, sampai kapan pun. Karena tak ada gadis yang paling Akang inginkan selain Neng!" tegas Koma.

"Ya, terserah Akang. Maafkan Neng!" tak kuasa menahan, Rindu berurai air mata dan berlalu meninggalkan Koma sendirian.

Koma benar-benar mirip Surya, tak mudah menyerah dalam urusan cinta. Kesuksesan usahanya, adalah hasil ketidakmenyerahannya menghadapi ujian cobaan dan kegagalan. Untuk Rindu, Koma juga takkan menyerah. Selalu ada kesempatan kedua, ketiga, keempat dan kesempatan berikutnya, hingga pintu kesempatan itu benar-benar tertutup. ***

SEMINGGU kemudian, Koma kembali menyambangi Rindu. Kali ini Koma menghadap langsung pada calon mertuanya. Koma sudah menganggap Kyai Mastur ayahnya sendiri. Jasa sang kyai begitu besar. Salah satu cara untuk membalas jasa-jasa sang kyai adalah dengan menikahi dan membahagiakan Rindu, memberikan cucu-cucu yang lucu untuk Abah, demikian Koma memanggil sang kyai. Di pesantren itu, hanya Koma saja yang secara tak langsung diberikan legalitas untuk memanggil Kyai Mastur dengan sebutan Abah.

"Abah tahu, kedekatan saya dengan Rindu cukup lama, bertahun-tahun. Selama itu, saya berusaha menjaga kesucian cinta kami. Saya berusaha sekuat tenaga menjaga cinta itu agar sesuai dengan tujuan mulia kami. Sekaranglah, sudah waktunya. Saya ingin menikahi Rindu. Bagaimana menurut Abah?" ungkap Koma. Sang kyai mengurut jenggotnya yang menjuntai. Koma berdebar, menunggu tanggapan calon mertuanya.

"Hmm, pada dasarnya Abah tidak bisa memutuskan untuk menyetujui atau pun menolak. Semuanya tergantung Rindu. Kalau Rindu setuju, tidak ada yang dapat menahan Abah. Tentu saja Abah merestui. Tapi apa kamu benar-benar siap?"

"Insya Allah, saya siap!" tegas Koma. "Tapi bagaimana dengan keluarga saya? Saya sudah berusaha sekuat langkah untuk mencari, tapi hingga saat ini belum juga menemukannya," lanjut Koma.

"Ya, sekali lagi, kalau Abah sendiri tak bisa memutuskan. Tapi apa kamu benar-benar siap menerima Rindu. Siap menerima konsekuensi ke depannya?" tanya kyai. Koma mulai mengendus ada rahasia mengenai Rindu yang turut disembunyikan Kyai Mastur.

"Insya Allah, saya sangat siap!" Koma makin mantap.

"Tapi Abah harus mendengar langsung dari Rindu, bersedia atau tidaknya. Nah kalau sudah terang mau, berarti tinggal mempersiapkan segala sesuatunya." Sang kyai memanggil Rindu, seolah akan menginterogasi langsung. ***

"NENG, Koma sudah menyampaikan keinginannya untuk menikahimu. Dia menyatakan siap menerimamu dengan segala konsekuensinya. Bagaimana, apa Neng bersedia dinikahi Koma?" tanpa basa-basi sang kyai langsung pada pokok persoalan. Rindu tak menjawab, hanya anggukan kecil dan tersipu. Anggukan yang oleh sang kyai dan Koma diterjemahkan sebagai kesediaan.

Yang paling diharapkan Koma akan segera terwujud. Meski itu juga diluar perkiraan sebab seminggu yang lalu Rindu pernah menolak ketika diajak nikah. Dalam bayangan Koma, sebelum jatuh keputusan akhir, mungkin akan ada sebuah perdebatan dulu. Atau akan ada syarat khusus yang harus dipenuhi agar bisa mempersunting Rindu. Ternyata, sesederhana itu.

"Benarkah Neng bersedia menikah dengan Akang?" Tanya Koma kepada Rindu, seolah masih belum yakin dengan kesediaan Rindu. Koma masih teringat minggu lalu Rindu menolak ajakannya menikah.

"Insya Allah Kang, Neng bersedia," Rindu meyakinkan Koma.

"Nah kalau begitu, tidak ada alasan bagi Abah untuk tak merestui niat baik kalian. Besok kau datang lagi bersama Haji Abdul untuk mengkhitbah Rindu. Haji Abdul kan sudah seperti orangtuamu, beliau pasti bersedia, anggap saja Haji Abdul wali atau perwakilan dari keluargamu. Lalu kita bermusyawarah mempersiapkan segala keperluannya," saran Kyai Mastur.

Seakan sudah tak sabar menunggu saat yang indah itu, hari itu juga Koma pamit. Koma bersegera mengabarkan dan meminta Haji Abdul menjadi perwakilan pihak keluarga calon mempelai pria.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun