Mohon tunggu...
KOMENTAR
Fiksiana

Rindu Itu Koma: Kisah Kecil Epilepsi Stadium 4 # Lima Puluh Lima

4 Januari 2014   19:50 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:09 83 0
TIGA pohon cempedak di belakang rumah tinggal Kyai Mastur sudah berbuah. Ustadz Nanang meminta Koma dan beberapa santri untuk memanennya. Sisi berontak Koma muncul, tapi dia tak mampu berkelit dan menurut saja walau dalam hati ketus. Tak ada ruang di hati Koma untuk rela membiarkan siapa pun di pesantren menyuruhnya, kecuali sang kyai. Bisa saja mengelak dengan mencari-cari alasan logis untuk menolak suruhan Ustadz Nanang, tapi berhubung pohon cempedak itu berada di belakang rumah tinggal sang kyai, Koma bisa patuh dengan ikhlas. Hanya segala sesuatu mengenai Kyai Mastur, dan apa pun yang diperintahkan atas nama Kyai Mastur yang dapat Koma lakukan sepenuh hati.

Terakhir kali naik pohon, ketika Koma masih kecil. Tapi ingatan itu disembunyikan keberuntungan. Koma lupa pernah jatuh dari pohon jambu.

Di atas pohon, sebagian cempedak tampak sudah masak. Sebagian lagi masih muda. Pohon cempedak yang cukup tinggi dan rimbun, akan sulit memanjatnya. Tapi ini akan nikmat, di sana terdapat kesulitan yang didambakan Koma. Atau mungkin juga ada kegagalan.

Seorang santri sudah lebih dulu naik pohon cempedak sebelah Koma. Santri itu berhasil menjatuhkan sebuah cempedak. Koma terpacu untuk menyaingi. Lebih seru, seperti persaingan mendapatkan sesuatu yang lebih berharga dari sekadar cempedak, atau lebih seru dari sekadar menuruti perintah Ustadz Nanang atas nama Kyai Mastur.

Instruksi yang didapat Koma dari Ustadz Nanang berbeda dengan instruksi untuk santri lain. Tugas Koma memetik cempedak muda untuk dimasak sebagai sayur oleh Nyai Arum, istri Kyai Mastur. Koma cukup bersemangat, sebab dia akan menyenangkan Nyai Arum, yang berarti juga akan menyenangkan Kyai Mastur.

Satu cempedak muda berhasil dijatuhkan Koma. Koma ingin hasil lebih baik lagi, memetik cempedak muda yang lebih besar. Koma sempat membayangkan begitu nikmatnya sayur cempedak buatan Nyai Arum. Sayur dengan kuah penuh berkah keluarga kyai. Tapi yang paling diinginkan Koma adalah kegagalan, bukan keberkahan, bukan juga sayur buatan Nyai Arum. Tapi untuk sementara, yang terpikirkan Koma adalah adalah bakti pada keluarga sang kyai. Dengan berbakti pada Kyai Mastur, berarti Koma telah berbakti pada Asih, Mak Acem, Bi Tati, Mat Boncel, juga Mehong. Karena Kyai Mastur di mata Koma adalah gabungan dari orang-orang itu.

Di ujung dahan yang menjuntai sebelah kiri, sebuah cempedak muda lebih besar tiga kali lipat besar kepala orang dewasa, seolah melambai-lambai meminta dipetik Koma. Dahan pijakan cukup kuat menahan beban dua orang dewasa. Malang segera mendekat, dan itulah kegagalan yang akan didapatkan. Koma meraih cempedak muda, memelintirkannya agar terlepas dari tangkai. Terlintas senyum Nyai Arum dan sang kyai. Dahan licin akibat semalaman kemarin diguyur hujan. Pijakan kaki tak cukup lekat membuat Koma terpeleset, dan, braakk....!!! Koma terjatuh. Lebih dari lima meter tinggi pohon itu, jarak yang cukup untuk mematahkan tulang.

Seorang santri di bawah pohon yang bertugas menadah cempedak segera menolong Koma. Ustadz Nanang yang mengawasi beringsut dari kursinya. Seorang santri di atas pohon hanya melongo seolah berkata "Oh, si santri aneh itu terjatuh". Tak ada reaksi berlebihan dari beberapa santri yang menolong Koma. Meskipun antipati terhadap Koma tapi di balik itu terselip harapan di hati mereka, semoga tidak parah dan semoga setelah jatuh, si santri intropert itu tak aneh lagi, dan bisa lebih akrab dengan penghuni pesantren lain.

Keberuntungan tak bisa berbuat apa-apa untuk mencegah Koma agar tidak jatuh. Tidak juga dapat menangguhkan waktunya sehingga Koma tidak jatuh hari itu, mungkin besok, atau minggu depan. Keberuntungan juga tak dapat memangkas jarak menjadi pendek supaya jatuhnya lebih ringan, dan akibatnya tak terlalu parah.

Koma jatuh membentur tanah becek berair. Tak ada tulang patah, tak juga ada memar. Koma masih mampu bangkit. Beberapa langkah setelah berdiri, seolah dihantam benda keras, pening terasa di kepala. Koma mengaduh menahan sakit sambil memegangi kepala. Langkahnya terhuyung, tersungkur ke tanah. Badan menggigil, disambut kejang-kejang di sekujur tubuhnya. Lidah tercekat gigi. Busa berhamburan di mulut. Ustadz Nanang dan seorang santri segera memangku Koma ke teras rumah tinggal Kyai Mastur. Saat itulah awal epilepsi yang disembunyikan Koma terkuak, dan segera menyebar ke seluruh pesantren.

Kebetulan lagi, kebetulan yang sering mempertemukan Koma dengan Kyai Mastur. Di saat yang lain sangat langka mendapatkan kesempatan itu, kebetulan sang kyai sedang berada di rumah. Koma dibaringkan di beranda bambu, tempat biasa sang kyai bersantai menikmati waktu luang. Segelas air putih didoakan sang kyai, diminumkan, lalu diusapkan ke ubun-ubun dan wajah Koma. Doa orang saleh yang penuh ketulusan, sumber dari keberkahan dan keberuntungan, lekas terkabul Allah. Kejang-kejang Koma mereda, tapi tubuh masih lemah, dia tak dapat bangkit. Seluruh tubuh tak mampu digerakkan. Koma gagu, suaranya seakan hilang dirampas angin. Sekadar beruluk salam menyapa dan mengucap terimakasih pun tak bisa, apalagi salam takzim dengan mencium tangan sang kyai. Darah Koma serasa membeku, jantung berdegup pelan, sangat pelan, seakan siap berhenti.

Koma terdiam beberapa saat memulihkan tenaga, melancarkan aliran darah dan menyegarkan otot-otot supaya lancar bergerak. Perlahan menuju normal. Bersamaan dengan kepulihan, telinga Koma berdengung seperti kemasukan sekumpulan lebah yang bersarang di dalam gendang telinga. Koma tak dapat mendengar apa pun selain dengungan memenuhi rongga telinga. Seperti tersumbat air, Koma memukul-mukul dan memiringkan telinga berharap genangan air itu keluar. Terasa seperti air hangat merembes keluar dari telinga, dengungan itu menghilang, tapi malah tak ada suara sedikit pun yang tertangkap pendengaran. Hanya hening, begitu hening dan sunyi. Bahkan lenguh nafas dan detak jantung sendiri pun tak bisa dia dengar. Koma menjadi tuli, kesulitan berkomunikasi, hanya menerka-nerka menangkap gerak bibir.

"Pangersa. Maaf, saya tak bisa mendengar apa-apa."

"Istirahatkan saja dulu. Ayo lekas bawa ke kobong nya!" saran sang kyai.

Jika dalam seminggu pendengaran Koma masih terganggu, Kyai Mastur menginstruksikan membawa Koma ke rumah sakit. Sejak tuli, Koma berubah tak acuh dan tak lagi mempersoalkan "keberuntungan". Jiwa pemberontakan Koma sudah redam oleh ketakutan yang menjalar di hatinya. Selama ini urat takutnya putus, kini kembali tersambung lagi. Menit demi menit akan dilalui dengan kesunyian mencekam, membuat jumputan takut ramai bermekaran di hatinya. ***

CEPAT sekali pesantren gempar dengan peristiwa Koma terjatuh, epilepsi dan gangguan pendengarannya. Beredar isu si santri aneh itu terkena malapetaka disebabkan hantu yang bercokol di pohon cempedak. Konon ketulian Koma akibat diganggu jurig bonge yang merasa terusik dengan kehadiran santri-santri. Sangat jarang santri-santri menjamah belakang rumah tinggal Kyai Mastur. Daerah itu secara tak langsung menjadi area dengan otoritas penuh, hanya keluarga sang kyai saja yang dapat menginjakan kaki di sana, santri-santri bahkan ustadz-ustadz sungkan memasukinya.

Sebagian penduduk pesantren yang realistis menganggap kabar itu tak masuk akal, takhayul semata, tidak ada benarnya sama sekali. Sebagian penghuni pesantren percaya. Dan sebagian lagi mempertanyakan, kalaulah benar itu gangguan jurig bonge, kenapa Kyai Mastur tak mampu menanganinya. Bukankah jin setan sangat takut pada orang-orang saleh. Lagi pula pohon berhantu itu berada di belakang rumah tinggal sang kyai.Apakah keberkahan Kyai Mastur tak mampu mengusir jin setan, dedemit, genderuwo atau sebangsanya yang bersemayam di sana? Sebagian warga pesantren lain tak acuh, tak menanggapinya serius. Bagi mereka, tiada gunanya peduli pada si santri aneh itu.

Peristiwa itu membuat Koma mengikrarkan diri tak lagi memusuhi keberuntungan. Malah, jika saja keberuntungan benar-benar kasat mata ada di depannya, Koma akan berdamai. Koma tak akan menyalahkan campur tangan keberuntungan lagi atas apa yang telah menimpa padanya. Koma akan biarkan keberuntungan leluasa mencampuri hidupnya. Apakah akan menjauhi, atau masih tetap menguntit ke manapun, dia sudah tak ambil pusing, takkan lagi sengaja menghindari atau mengundang keberuntungan itu.

Setelah Koma tak lagi mempersoalkan keberuntungan, dia berkenalan dengan tingkat relijius dan perenungan mendalam tentang dirinya, perjalanan hidupnya, masa depan dan sesuatu belum pasti bersifat perkiraan. Perenungan sampai ke tingkat filosofis ingin berkenalan dengan apa yang tersembunyi di balik peristiwa-peristiwa yang Koma alami, siapa yang mengendalikan keberuntungan, siapa yang berada di balik skenario, dan siapa yang berkuasa membuat semua yang tak dapat diduga itu terjadi.

Sebelumnya, Koma sudah terasing dari lingkungan pesantren, karena dia sendiri yang menciptakan keterasingan itu. Kini, tetap dan lebih terasing lagi. Dulu tak ada alasan khusus sebagian penghuni pesantren untuk menjauhi, sekarang mereka punya alasan khusus untuk menghindar berdekatan dengan Koma. Lebih-lebih, mereka ketakutan bahkan menghindar dari tatapan Koma. Mereka takut ikut kena pengaruh jurig bonge yang hinggap di telinga Koma, yang membuat dia tuli. Bahkan ada yang mengusulkan agar Koma dipisahkan, atau dijauhkan dari kemungkinan bersentuhan dan menghirup satu udara yang sama, supaya tidak mengkontaminasi. ***

HARI-HARI selepas Isya, tak ada kegiatan lagi bagi Koma. Di saat santri lain menyambung kegiatan mengkaji kitab kuning dan mendengarkan ceramah ustadz-ustadz pengajar, Koma hanya duduk-duduk di teras depan kobong putra di lantai dua. Selama masa sakit, selama pendengarannya belum pulih, Koma diperbolehkan tidak ikut beberapa rutinitas pesantren, terutama salat berjemaah, karena seringkali ketinggalan jauh dari gerakan imam dan jemaah lain. Dianggap akan mengurangi kekhusuan ibadah, atas pertimbangan Kyai Mastur, Koma dibolehkan tidak ikut berjemaah. Dia juga mendapat dispensasi untuk absen mengaji dan mendengarkan ceramah.

Keanehan, keajaiban atau entah bahasa apalagi, kejadian demi kejadian ganjil berantai menimpa. Koma melamun, larut dalam perenungan lebih dalam, mengingati semua kejadian selama ini. Mencari-cari kesimpulan apa di balik semua kejadian ganjil dan keanehan itu. Perenungan semakin jauh. Saat Koma hampir menemukan dan menginterpretasikan kesimpulan, sesosok suara membuyarkan lamunan. "Jalu...!!" Koma terkejut, di tengah hening sepi, tiba-tiba mendengar suara seorang laki-laki menyeru. Koma belum menoleh untuk mencari sumber suara itu berada. Kaget bercampur setitik kebahagiaan. Pikir Koma, jika dia dapat mendengar suara menggema itu, berarti pendengarannya sudah kembali normal.

Untuk beberapa saat, perasaan girang membuat Koma tak mengacuhkan pertanyaan, dan mencegahnya mencari-cari dimana dan dari siapa sumber suara itu berasal. Tapi ada yang terasa ganjil. Jika Koma bisa mendengar suara itu, berarti juga dapat mendengar suara-suara lain, bisa mendengar suara daun bergesekan diterpa angin, suara kincir bambu, dan suara sayup-sayup santri mengaji di masjid pesantren. Koma mencoba lagi mendengar-dengar lebih jelas. Namun, tidak ada suara lain yang mampu ditangkap pendengarannya. Yang ada hanya sunyi, terasa lebih sunyi, serasa di ruang kedap suara.

"Jalu...!" Kedua kalinya suara itu muncul lagi. Koma dengarkan lebih teliti lagi, hanya suara sosok lelaki itu yang terdengar jelas dalam hening, tanpa latar suara lain. Ketiga kalinya, suara itu muncul dengan nada gusar seakan kesal sapaannya tak dihiraukan. Koma tergerak mencari-cari dimana sumber suara itu. Siapa di balik gema suara berwibawa itu. Tapi tak mendapati seseorang. Di asrama putra, hanya dia sendirian, santri-santri penghuni asrama itu sedang sibuk dengan aktivitas relijius mereka.

"Hei, siapa kamu? Dimana kamu?" Koma gesit menoleh ke berbagai arah, matanya berusaha menangkap sesuatu yang menjadi sumber suara itu.

"Jaluu...! Jangan kaget! Jangan cari aku di manapun! Karena aku tak kan kau temukan. Aku ada di manapun. Aku ada di dalam dirimu." Suara itu terasa semakin menggaung, seolah begitu dekat di ujung telinga. Koma semakin dibuat penasaran, dia kembali mencari-cari dimana sumber suara itu. Suara itu, tak jelas asal usul sumbernya, pikir Koma, mungkin suara gaib.

"Siapa kamu?" Koma mendelik ke atas. Dia melacak sumber suara hingga ke atas rimbun pohon beringin tua di samping asrama putra.

"Aku, Rakean Surawisesa. Aku akan menitis padamu. Aku akan menuntunmu. Aku akan memberikan kelebihan padamu!" suara gaib itu makin menggema dalam pendengaran Koma.

"Kelebihan apa?" Koma bertanya menyelidik pada suara gaib itu untuk membedah keingintahuannya. Tapi beberapa saat ditunggu, tak ada jawaban lagi. Suara itu menghilang seakan sosok sumber suara itu sudah pergi meninggalkan Koma yang terjeruji kepenasaran. ***

TAK mengenal waktu, pagi, siang, sore bahkan malam hari, kalau suara itu muncul maka Koma akan mengasyikinya sendiri. Dan, selama ini Koma banyak asyik sendiri. Tak peduli ocehan orang tentang keganjilan tingkah lakunya yang identik sebagai bentuk kegilaan, karena pada dasarnya Koma tak mendengar apa pun selain suara sosok lelaki misterius itu, suara gaib itu.

Koma tak terlalu menanggapi kebenaran bahwa suara itu berasal dari seorang tokoh yang konon hidup di masa lalu, dengan segenap kegagahan dan kesaktian. Koma tak begitu percaya suara gaib yang mengaku Rakean Surawisesa. Bisa saja nama sebenarnya bukan Rakean Surawisesa tapi Mbah Jambrong misalnya, atau Mbah Santong, Mbah Semprong, atau siapalah itu. Mungkin hanya mengaku-aku saja. Tapi Koma tak peduli. Yang penting suara itu enak diajak ngobrol, nyambung dan memahami dirinya ketika berbagi pendapat mengenai apa pun.

Dimanapun dan kapan pun suara itu datang, Koma tak mampu menolak. Tak juga mampu mengundang suara itu agar datang pada waktu-waktu tertentu yang dia kehendaki. Suara gaib itu muncul kapan dan dimanapun sesuai kehendaknya sendiri. Hanya ketika Koma bersama Kyai Mastur suara gaib itu tak muncul. Entah tak berani, tak bisa, segan, enggan, atau terlalu menghormati Kyai Mastur. Atau pula, entah sosok di balik suara gaib itu kasihan pada Koma. Sebab, jika suara gaib itu muncul manakala Koma sedang bersama Kyai Mastur, mungkin sang kyai juga ikut-ikutan menganggap Koma gila.

Karena tingkah aneh Koma sering berbicara sendiri, kebanyakan penghuni pesantren semakin yakin kalau si santri aneh itu gila. Santri-santri putra, apalagi santri putri tak berani berada dekat dengan Koma. Seolah seperti bus, di kening Koma tertulis "Jaga jarak aman!" Dulu orang-orang di lingkungan pesantren terbuka dan mencoba memperbaiki psikologi Koma dengan beragam pendekatan persuasif, tapi dia malah menghindar, bahkan menutup diri dari interaksi dengan mereka, seolah mereka yang hendak mendekatinya adalah sekumpulan orang-orang dengan kasta terendah, hina dan patut dijauhi. Kini berbalik, kebanyakan penghuni pesantren memandang bahwa menjauhi Koma hukumnya sunat, bahkan fardhu 'ain.

Asrama.

Hantu tuli dalam mitos/urban legend masyarakat Sunda.

Hukum wajib bagi setiap individu Muslim.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun