Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Pilihan

Tawuran Suku atau Tawuran Mahasiswa?

14 Maret 2014   23:24 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:56 300 2

Mendengar tawuran antar sekelompok orang yang terbukti mayoritas mahasiswa di Kupang tentu membawa keprihatinan sendiri, puluhan mahasiswa tertangkap tangan membawa 14 buah parang “sumba”, enam bilah parang biasa tanpa sarung, satu buah sabit, dan dua ember berisi batu berukuran batu dewasa, "Ada 82 mahasiswa dari Undana, PGRI, dan Unkris, serta Politani yang ditangkap. Tetapi hanya diberi pembinaan saja, kemudian akan diserahkan kepada tetua adat untuk mendapatkan pembinaan lebih dalam lagi soal perilaku mereka yang meresahkan," ungkap Wakapolres Kupang.(sindokupang).

Sebagai Warga Kota Kupang setahu saya tawuran ini berlangsung "hampir' tiap tahun, kejadiannya di tempat yang sama, yaitu jalan Suratim, Oesapa yang merupakan daerah kos – kosan mahasiswa.

Kenyataannya seperti ini, kisah perseteruan ini bukan saja melibatkan mahasiswa tetapi lebih khusus melibatkan mahasiswa dari dua suku yang berbeda, yaitu Mahasiswa etnis Sumba dan Mahasiswa etnis Alor, dua pulau berbeda, diluar pulau Timor dimana Kupang berada, pertikaian ini dipicu oleh beberapa hal, salah satunya apabila ada pesta wisuda lalu terjadi perkelahian “kecil” dan kebetulan yang berkelahi itu berbeda suku, maka akan merambat, akhirnya ajak – mengajak (dalam kasus ini lewat sms) terjadi dan akhirnya tawuran besar terjadi.

Penanganan yang dilakukan oleh pihak kepolisianpun terkesan “klasik”, maksud saya terlalu biasa – biasa saja :

1.Pembinaan terhadap puluhan pelaku ini, tentu pembinaan ini adalah mengatakan bahwa yang mereka lakukan itu salah, dan blablalala.

2.Mereka diperhadapkan kepada tetua adat, ini yang saya pikir agak sedikit ganjal kalau tidak mau dibilang aneh, cara memindahkan pola berpikir bahwa perang tanding di kampung mereka dan memindahkannya pola yang sama ke kota (seperti kejadian ini) tidak akan pernah berhasil menurut saya, bahkan cara ini   mensahkan bahwa tawuran ini adalah tawuran suku, apakah ini bukan menyelesaikan masalah malahan menambah masalah?.

Alternatif Solusi ;

1.Memindahkan/menambahkan solusi “adat” ke sanksi pendidikan itu terasa lebih baik, karena ketika mahasiswa ini ke kota, mereka bukan membawa “adat/kesukuan” mereka tetapi mereka membawa “niat” menempuh pendidikan, sehingga ketika sanksi pendidikan ini ada, akan terasa lebih berat bagi mereka, daripada mereka dikomunikasikan secara adat.

2.Berikan sanksi hukum, dari foto di atas, sebagai warga, jangan melihat pelaku ini setengah – setengah, jangan lihat mereka saja sebagai remaja, jangan melihat mereka sebagai korban dari provokasi, tapi bayangkan dengan senjata tajam yang begitu banyak, dan ditambah dengan minuman keras, kalau tidak dihentikan, apa yang akan terjadi?

3.Bagi Pemerintah Kota, secara perlahan – lahan,melalui RT/RW hilangkan simbol – simbol kesukuan, dengan nama – nama yang terlihat memecah belah dan bisa menjadi pemicu konflik,baik itu penamaan kampung, Kampung Rote, Kampung Alor dan lain - lain, sampai penamaan Asrama, Asrama Sumba dan sebagainya.

Tentu perlu kajian lagi tentang masalah ini, namun sebagai warga kota kupang seharusnya muncul terobosan – terobosan cerdas untuk menyelesaikannya, daripada merasa itu sudah biasa terjadi dan akan terus terjadi setiap tahunnya.(masyarakat di lokasi sudah maklum, seperti warga Jakarta yang maklum kebanjiran setiap tahun, sayang kan?).

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun