Godaan Megaproyek Megah
Usai menjalani kajian dan perdebatan panjang, pada 9 Oktober 2014 akan dilakukan ground-breaking alias pemasangan tiang pancang proyek infrastruktur Giant Sea Wall (GSW), yang merupakan bagian dari National Capital Integrated Coastal Development. Kelak bentangan tembok sepanjang 33 KM di laut Utara Jakarta diyakini akan melindungi Ibukota Jakarta dari ancaman banjir akibat gempuran pasang laut dengan varias turunnya permukaan tanah. Dengan atribut megaproyek 500 trilyun rupiah, GSW menggunakan anggaran tahun jamak dan digarap untuk jangka panjang, diharapkan mampu menyiapkan cadangan air baku di Jakarta. Seakan belum cukup, nantinya akan ada pengembangan daerah baru (real estate) serta beberapa pengembangan "property" lain. Demikian kutipan dari pernyataan Menko Perekonomian.
Sepertinya GSW sebuah megaproyek nan megah dan sang menko ibarat seorang yang terbuai godaan (seduction) untuk memetik setangkai mawar merah berduri.
Strategi “Parkir Bis” menghadang Banjir
Tidak disangkal bahwa ancaman banjir yang tiap tahun melanda Jakarta merupakan potret buruk ibukota Republik Indonesia. Dengan melihat permasalahan secara komprehensif dan berbekal kemampuan yang dimiliki, serta memperhatikan aspek daya dukung lingkungan secara multidisiplin; banyak sudah kajian dan usulan disampaikan anak bangsa kepada Pemda DKI dan pemerintah pusat. Namun, berbagai usulan tersebut mungkin dianggap mustahil sehingga pilihan jatuh pada resep mustajab dari para “meneer van Holland” yang diimbuh dengan kesaksian walikota Rotterdam, Ahmed Aboutaleb, yang konon piawai menghadang terjangan Laut Utara.
Sungguh patut disesalkan, jika dana untuk penanggulangan banjir Jakarta hanya diumbar untuk bertempur melawan serangan laut padahal seharusnya berkawan dengan laut. Genangan air di “Telaga Jakarta” adalah “dosa bersama” akibat kiriman curahan air dari tetangganya dan turunnya kemampuan wilayah dalam meresap air akibat perilaku dan polalaku pembangunan yang sangat tidak memperhatikan kelestarian lingkungan. Masalah banjir bukan semata diselesaikan di Jakarta bahkan di bibir pantai sebelah Utara, tetapi kolektivitas dengan area seputar Jakarta akan menghasil langka bersama sekaligus memperhatikan kapasitas daya dukung lingkungan.
Dalam permainan sepakbola, bentangan “Sea Wall” di bibir pantai Utara Jakarta ibarat strategi “Parkir Bis” di tengah area lawan, sehingga dampaknya gawang sendiri makin gampang bobol.
Menabur Aroma Menuai Badai
Sebagai megaproyek bertahun jamak, GSW layak dikaji dan diuji serta dipuji, jika memang demikian, dalam kelayakan (feasibility), kelanggengan (viability) dan kelogisan (plausibility) berbagai dimensi.
Dari sisi pertumbuhan ekonomi, GSW menjanjikan kontribusi pada besaran investasi, namun pada sisi lain akan berpotensi berupa peningkatan beban dan resiko hutang pihak swasta. Bisa saja, rekayasa yang dibuat logis namun dengan menimbang waktu dan kelanggengan proyek, ancaman “penundaan kewajiban” hingga “default” ibarat aroma badai yang menghantarkan pada krisis keuangan seperti fenomena Krismon 1998.
Mencermati sisi pembangunan ekonomi, GSW menjanjikan penyerapan tenaga kerja dan pembelajaran teknologi reklamasi serta pembangunan bendungan yang tangguh sebagaimana pengalaman di Rotterdam menghadapi terjangan North Sea. Tapi dari sudut pandang penyebaran dan pemerataan pembangunan, serta pelestarian lingkungan (ekosistem), GSW berdampak pada meningkatnya beban lingkungan dan juga beban akibat migrasi rural dan sub urban ke Megapolitan Jakarta.
Tidak ada salahnya untuk mengingat kembali pesan Datuk Ekonomi Indonesia, Bapak Emil Salim dan Pakar Ekonomi Berwawasan Lingkungan, E.F. Schumacher dalam kumpulan artikel Small is Beautiful. Juga memperhatikan sari pesan dan makna Paradoks Intan dan Air (“Diamond Water Paradox”) : Intan itu indah dan mahal sedangkan air itu murah, tetapi air lebih diperlukan.
Jika GSW dipandang sebagai suatu proyek infrastruktur, perlu dingat pesan Emil Salim, Schumacher, dan Paradoks Intan dan Air, yang secara sederhana dapat diterjemahkan sebagai :” Utamakan membangun infrastruktur, tidak perlu megaproyek, tetapi tersebar untuk mendukung pengembangan industri dan penyerapan tenaga kerja serta akrab dengan kelestarian lingkungan demi mendukung pertumbuhan dan pembangunan ekonomi Indonesia yang berkelanjutan”.
The Show Must go On atau The Show Must Go Wrong
Dalam pengambilan keputusan, secara bergurai ada anekdot “Kumaha engke” (Bagaimana nanti ?) dan “Engke kumaha ?” (Nanti bagaimana ?).
Pola berpikir “Kumaha engke” seakan menitipkan beban permasalahan bagi penerus atau pelaku pada masa mendatang. Sebaliknya, “Engke kumaha” berupaya untuk mengantisipasi dan menghindari potensi ancaman dan kegagalan pada masa mendatang sehingga berhati-hati dalam memutuskan.
Setelah bertahun melewati berbagai kajian dan wacana, keputusan harus diambil. Sang pengambil keputusan (baca : Menko Perekonomian) lantas memilih “The Show Must GO ON” atau harus segera mulai.
Dalam wawasan berpikir cerdas, cermat, dan cekatan, dan pola “Engke Kumaha”, pilihan terbaik yang muncul adalah “The Show must GO WRONG”.
Pekan pertama Oktober 2014
S. Arnold Mamesah – Laskar Initiative