Fenomena Megah
Taslimin, seorang “anak kolong” sedang studi lanjutan Ekonomi Kreatif, mengerjakan tugas berkaitan dengan obyek wisata yang memberikan kesan megah, besar, warisan sejarah. Untuk mendapatkan ide unik, Taslimin lantas “browsing’ mengggunakan mesin pencari, beserta kata kunci obyek megah, besar.
Jawaban pertama Great Wall (Tembok Besar atau Raksasa) di negeri Tiongkok. Konon, Great Wall merupakan bangunan terpanjang yang pernah dibuat manusia (hampir 8.9 ribu KM) dengan gaya arsitektur Tiongkok. Dibangun dalam beberapa periode dinasti yang berkuasa di Cina, Great Wall dimaksudkan sebagai benteng pertahanan, dan jalur komunikasi & transportasi.
Pencarian berlanjut, Taslimin mendapatkan Grand Canyon; sebuah ngarai tebing-terjal, diukir Sungai Colorado, di utara Arizona, merupakan salah satu taman nasional negeri Paman Sam.
Untuk mendapatkan pilihan lain, Taslimin memasukkan tambahan kata “kota”. Semula muka Taslimin gembira membaca judul Jakarta Coastal Defence Strategy (JCDS), Giant Sea Wall (GSW) yang berubah jadi Giant Sea City, namun kemudian berkerut saat membaca penjelasannya. Sebuah proyek raksasa megah berpotensi sarat masalah
Ibarat laskar pejuang pantang menyerah, Taslimin yang membaca kata “defence” lantas menggunakan kiat “intel” alias intip dan telusuri agar paham, mendapatkan rupa-bentuk dan rinci-nalar multi disiplin akan JCDS, GSW, serta tidak lupa akan ekonomi Indonesia..
Strategi Tembok Pertahanan dan Kota Idaman
Perjalanan “intel” Taslimin berbuah manis dan memberikan pemahaman yang kaya. Ternyata, perlu strategi unggul untuk mengamankan ibukota Jakarta dari landaan banjir yang rajin berkunjung tiap tahun akibat curah hujan tinggi, kiriman curahan air dari seputaran Jakarta, kondisi permukaan tanah Jakarta yang semakin lama menjadi lebih rendah dari permukaan laut serta serangan pasang air laut. Strateginya adalah membangun “Coastal Defence” berupa bentangan tembok penghadang laut yang dilakukan melalui beberapa tahapan. Bentangan tembok memanjang sejauh 32 KM atau bahkan lebih. (Sejenak Taslimin tertegun lalu tersenyum karena teringat Si Pinokio yang hidungnya jadi panjang kalau “ngibul”). Kelak sisi dalam bentangan tembok akan ditimbun dan dibangun Giant Sea City atau “New Jakarta City” nan modern dilengkapi infrastruktur “air & sea port”, transportasi lengkap, terintegrasi dengan “Old Jakarta” yang konon kuno, kumuh, dan kusut. Pula, Giant Sea City ini sangat menarik bagi kalangan penanam modal untuk menaburkan dana mendukung “Mega Proyek” ini karena menjanjikan return yang wah hingga airliur seakan meleleh demi dan untuk mewujudkan "kota idaman".
Pesan Salim, Schumacher dan Sun Tzu dan Godaan “Gigantic & Giant Project”
Apakah Jakarta perlu dibesarkan dengan pola ‘gigantic-project’ dari kota-metro menjadi mega-city yang dengan fasilitas kelas wahid ? Apakah tidak menimbang daya dukung lingkungan serta penyebaran pembangunan sehingga mengeliminasi ketimpangan kesejahteraan secara geografis ? Apakah serangan laut demikian besar terhadap Jakarta hingga harus bertempur dengan membangun banteng agar Jakarta tidak diduduki banjir ?
Sesaat Taslimin teringat akan kisah Emil Salim kala diminta Presiden Soeharto untuk memperhatikan dampak kerusakan lingkungan, saat pertemuan keduanya pada tahun 1972 di atas kapal yang berlayar di dekat pantai Jakarta. Soeharto mengeluh karena tidak bisa lagi “mancing” di laut seputaran Jakarta akibat kerusakan lingkungan yang terjadi. Dalam perjalanan karirnya, Emil Salim kemudian menjadi sangat peduli akan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan yang juga sarat dengan perhatian pada keseimbangan ekosistem dan daya dukungnya. Konon, area Bajasutera (Bali Jawa Sumatera, disusun seturut arah edar matahari) ibarat Ksatria “Baja Hitam” yang mendominasi perekonomian Indonesia. Apabila tidak diupayakan sebaran ke wilayah lainnya, maka akan semakin besar senjangan yang timbul dan berimbas pada timbulnya gerakan “jealous guy” (kecemburuan), yang seakan mengulang kembali jarum jam pada masa lalu yang sarat aura separatisme.
Seakan berpegang pada peribahasa “Sebelum Ajal Berpantang Menyerah”, pada Agustus 2014, pesan keseimbangan wilayah dalam pertumbuhan yang berkelanjutan, peduli ekosistem dan daya dukungnya, kembali disuarakan Emil Salim dan perlu menjadi perhatian segenap kita.
Tersengat soal lingkungan, pemikiran Schumacher (Ernst Frederich, berdarah Jerman namun berpaspor UK) dalam rangkaian tulisan dalam “Small is Beautiful”, mencolek benak Taslimin. Dalam situasi yang sarat ancaman multidimensional, raihan “paradigma pertumbuhan ekonomi” Indonesia yang dalam sepuluh tahun terakhir berada dalam kisaran 5% -6% (namun kecenderungannya menurun pada tiga tahun terakhir) berbuah pada situasi paadoksal berupa senjangan (gap) masyarakat dan terus berlanjutnya penurunan kualitas ekonsistem.
Pesan kerinduan Schumacher akan “kedamaian & keselarasan” manusia dengan lingkungan dalam menuju kesejahteraan dan kemakmuran bersama, dengan kritisi pada paradigma mengejar pertumbuhan yang didorong justifikasi ala korporasi pada “return & profitability” semata kiranya perlu mejadi perhatian dan pertimbangan.
Lantas, layakkah bahaya banjir dianggap sebagai musuh, jika upaya mengejar pertumbuhan mengabaikan daya dukung lingkungan, dominasi dan ulah-laku "greedy" para “korporasi” dalam tema percepatan pembangunan, serta perilaku kaum-urban yang “sukardi-duga”, "sukardi-cerna" dan “sukardi-ubah” ? Tidakkah banjir merupakan teguran atas ulah-laku (attitude) dan perilaku (behavior) yang tidak peduli lingkungan dan daya dukungnya ?
Strategi mengejar musuh hingga ke lautan ibarat tindakan “harakiri-konyol”. Peringatan serta teguran akan bahaya kiriman air dari hulu dan “susutnya kemampuan resapan” pada daerah hilir akibat “gemilau”nya pembangunan dengan bentangan beton yang menguras habis permukaan; hanya dianggap sebagai penghambat upaya mencapai peningkatan pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja.
“Meraih 100 kemenangan dalam 100 pertempuran bukanlah puncak keterampilan. Menaklukkan musuh tanpa bertempurlah kesempurnaan tertinggi”. Demikian kutipan dari “101 intisari seni perang Sun Tzu”. Lantas, dimanakah kemampuan dan sumber daya yang dimiliki harus didaya-upayakan dan siapakah “musuh” yang harus diatasi serta bagaimana cara menaklukan tanpa bertempur ?
Pareto dan Solusi Kebijakan
Sangat tidak layak jika lantas banjir di Jakarta dianggap sebagai suatu BAU atau Banjir As Usual” karena Jakarta adalah Ibukota Negara. Namun menganggap banjir sebagai dampak serangan dari laut sebagai pertempuran utama seakan menafikkan permasalahan yang ada pada “Greater Jakarta”.
Pareto atau analisis atas kajian masalah dan tantangan dalam masyarakat layak memperhatikan inti pesan dari trio Salim, Schumacher, dan Sun Tzu untuk penyusunan kebijakan secara Terstruktur, Sistematis, dan Masif.
Beberapa kiat “sederhana tapi nyata” dapat menjadi bingkai dalam kebijakan pembangunan berkelanjutan pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla (JKW-JK) antara lain :
1. Mendistribusikan sumber daya dan kemampuan pada wilayah diluar Baja Sutera dengan membangun pola konektivitas yang berbasis pada kekuatan maritim.
2. Mengutamakan pertumbuhan yang berkelanjutan dengan selalu memperhatikan dampak serta daya dukung lingkungan.
3. Mencermati dampak dan ancaman senjangan dan tidak semata berpola pikir ala-korporasi dan berupaya memberdayakan (bukan memperdayakan) yang “Small to become Beautiful”.
Masalah Jakarta bukan semata disebabkan tindakan “beberapa hari” lalu tetapi menjadi akut karena pola kebijakan yang disharmonis dan tidak terintegrasi antara pusat-daerah dan bahkan tumpang-tindih.
Lantas dalam hal GSW vis a vis Jakarta Coastal Defence Strategy, sebagai upaya mencegah banjir Jakarta; apa pesan dan solusi untuk Tuan Ahok yang melanjutkan estafet Jokowi ?
Banyak usulan, kajian dan kritisi yang disampaikan seputar JCDS dan GSW. Namun, akan jauh lebih elok untuk fokus pada masalah yang ada pada “inner Jakarta” mulai dari transportasi, perumahan, daya dukung lingkungan, pemberdayaan masyarakat dan berbagai variannya. Sungguh tepat dan bersahabat upaya menggandeng para “tetangga Jakarta” (dalam spirit “Never Walk Alone”). Sehingga secara bersama menghadapi “palagan” pertempuran pada “Greater Jakarta”, dengan selalu memperhatikan daya dukung lingkungannya.
Tantangan merubah perilaku masyarakat, aparat, dan korporasi, dengan membangun paradigma baru akan kepedulian terhadap lingkungan dan kemampuan daya dukungnya, perlu menjadi perhatian dan diupayakan secara konsisten berkelanjutan.
Membuat “Greater Jakarta” jadi “tempat yang kian menarik” seakan mengundang permasalahan baru yang tak kunjung usai.
Teringat Taslimin akan “tagline “:
Menyelesaikan masalah tanpa masalah … Jangan “Kaugadaikan masa depanmu”.
Penghujung September 2014
Arnold Mamesah - Laskar Initiative