Mohon tunggu...
KOMENTAR
Money

BBM Tanpa Tombokan

14 November 2014   22:37 Diperbarui: 19 Oktober 2015   14:05 66 0


Pemahaman dan Prolog Melodrama
Melodrama BBM dipahami sebagai pagelaran seputar BBM dengan pelakon yang terkait yaitu segenap  pemangku kepentingan BBM di negeri ini, yang mencakup pemerintah, penyedia, konsumen, serta berbagai pihak yang peduli serta bermacam kepentingan yang ikut dalamnya. BBM yang dimaksudkan adalah bensin premium (yang konon beroktan-88) beserta solar yang digunakan pada alat transportasi roda dua dan roda empat milik perorangan. Tombokan dengan kata dasar tombok dari Kamus Besar Bahasa Indonesia bermakna sebagai sejumlah uang yang ditambahkan karena terjadi kekurangan.

Prolog melodrama ini dibagi dalam 3(tiga) potongan kisah yaitu :
1. Masa produksi minyak melebihi konsumsi domestik. Puncak produksi terjadi pada 1976 saat produksi harian mencapai 1.6 juta barel dan  konsumsi hanya sekitar 400.000 barel dan BBM tersedia dengan harga yang sangat terjangkau bagi masyarakat.
2. Masa produksi harian lebih kecil dibandingkan konsumsi domestik dan keadaan ini terus berlanjut hingga kini saat produksi harian pada kisaran 780.000 barel dan konsumsi hampir 1.5 juta barel.
3. Masa mulai dimasukkannya rubrik subsidi BBM dalam anggaran pemerintah (APBN). Subsidi merupakan tombokan untuk menutupi selisih harga penjualan BBM (disebut Harga BBM Subsidi) dan biaya pengadaan BBM, dimulai pada pertengahan 1990'an. Dalam perjalanan waktu, konsumsi BBM seakan tokoh antagonis yang menggerogoti sedangkan produksi minyak merupakan tokoh protaganis yang berupaya mempertahankan atau meningkatkan produksi agar kembali menjadi pengekspor minyak dan BBM tersedia dengan harga sangat terjangkau.

Dialog dan Epilog BBM
Dialog, debat dan bahkan demo kian deras sejalan dengan bergulirnya indikasi kenaikan harga BBM subsidi dengan peniadaan subsidi. Alasannya, subsidi tidak tepat sasaran dan keterbatasan fiskal untuk pembangunan infrastruktur serta fasilitas layanan keseharan dan pendidikan.
Pada sisi lain, kecenderungan harga minyak di pasar internasional turun yang pada pekan terakhir Oktober harga per barel berkisar USD 85 dan berlanjut pada pekan pertama November 2014 pada kisaran USD 80.
Dengan merujuk pada APBN, penurunan harga minyak akan menurunkan penerimaan tetapi juga pada sisi pengeluaran, menurunkan kebutuhan tombokan dana. Dalam kondisi demikian, kenaikan harga BBM Subsidi dianggap sebagai suatu yang tidak masuk akal.
Untuk masa 2015, pemerintahan JKW-JK menerima bingkisan APBN terbesar sepanjang sejarah NKRI, hampir Rp. 2.040 trilyun. Didalamnya ada tombokan BBM sebesar Rp. 270 trilyun. Dalam berbagai kesempatan Presiden Jokowi dan juga Wakil Presiden Jusuf Kalla (Duo JKW-JK) selalu memberikan argumentasi bahwa penghapusan tombokan (subsidi) BBM perlu dilakukan untuk mempersiapkan masa depan. Dalam memberikan argumentasinya, duo JKW-JK menggunakan kalimat yang mengekspresikan “Future Tense”.
Perdebatan pro-kontra terus berlangsung dengan berbagai argumen. Yang kontra terhadap peniadaan tombokan BBM berbicara dengan kerangka “Present (Continuous) Tense”; maksudnya yang sudah dan sedang terjadi biarlah terus berlangsung. Sedangkan yang pro melihat dari sisi kestabilan dan menghindari ketidakpastian agar dapat terus melangkah. Sikap kontra mewakili tokoh antagonis dan sebaliknya sikap pro merupakan tokoh protagonis dalam mempersiapkan masa depan.
Tampaknya, dialog harus segera usai dengan epilog BBM tanpa tombokan (baca : subsidi).
Roda harus berputar dan tetap bergulir. Dalam pemahaman gramatika bahasa, dari Present (Continuous) Tense menuju Future Tense dengan imbuhan “WILL” yang maknanya “KEMAUAN”  namun bukan sekedar “mau-mauan”.

Kemauan Pasca Epilog
Usai epilog melodrama, akan muncul berbagai reaksi dari penonton, pemain, dan komentator (layaknya tokoh “Statler And Waldorf” yang selalu di balkon dan berkomentar terhadap aksi Kermit dalam serial The Muppet Show).
The show must GO ON. Penonton dan pelakon adalah pemakai BBM yang selayaknya ikut mengendalikan konsumsi BBM melalui koreksi dalam penggunaan alat transportasi pribadi dan lebih mendayagunakan transportasi publik.
Pemerintah juga selayaknya memperhatikan catatan dari dialog yang telah terjadi. Termasuk dalamnya, koreksi pada pola pengadaan dan penyediaan BBM dan mendorong kegiatan peningkatan produksi minyak. Dalam hal penyediaan BBM, agar menuju harga jual yang sesungguhnya dengan memberikan pilihan bagi konsumen sehingga tercipta iklim persaingan sehat. Juga, BBM yang tersedia selayaknya ramah terhadap lingkungan (untuk bensin tanpa timbal dengan Oktan > 91).
Yang sangat perlu dan selalu diupayakan adalah mendorong serta mengupayakan secara berkelanjutan pengembangan Energi Baru dan Terbarukan (EBT). Pengalaman lalu menunjukkan bahwa pengembangan EBT terhambat saat BBM tersedia dengan harga murah.
Jika mencermati argumentasi Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, keputusan BBM tanpa tombokan bukan untuk menimbulkan inflasi atau kemelaratan bagi masyarakat tetapi agar terjadi HIJRAH, yang didalamnya bermaksud untuk :
1. Mempersiapkan masa depan melalui pembangunan infrastruktur dan fasilitas layanan bagi masyarakat termasuk layanan kesehatan dan pendidikan.
2. Menciptakan lapangan kerja agar dapat memberikan penghasilan
3. Mendorong perpindahan dari ketergantungan pada BBM yang dihasilkan dari minyak mentah yang terbatas sumbernya serta berdampak polusi, menuju penggunaan EBT.
Untuk maksud yang terakhir berkaitan EBT, kemauan dan langkah pengembangan menuju penggunaan secara masif selayaknya bukan mengandalkan “Lampu Aladdin”. Tetapi butuh upaya dan tindakan yang komprehensif terencana dengan partisipasi penuh segenap tokoh antagonis maupun protagonis, serta kemauan penuh dan utuh agar menggapai hasil yang sempurna. Ungkapan ini bentuk gramatikanya disebut: “Future Perfect"

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun