Ratusan manusia berlalu lalang memenuhi koridor tempat di mana para pedagang mendirikan kios - kios kecil untuk menjajakan dagangan mereka . Rasa sesak dan sumpek begitu sarat ketika ia masuk ke dalam bangunan bertingkat empat , di kiri maupun di kanan penuh dengan aktivitas jual - beli para pedagang ataupun para pedagang yang sekedar menawarkan kepada setiap orang yang lewat .
Lelah sekali rasanya . Seperti mereka tidak menemukan toko yang mereka cari . Kebanyakan kios - kios di sana menjual bumbu rempah - rempah , pakaian , dan sayur / buah - buahan - tidak ada toko yang menjual barang - barang antik . Mereka hampir putus asa , tapi itu sirna ketika aku melihat sesuatu .
" Ayah di sana ! " serunya pada ayah .
Ia menunjuk salah satu kios yang berplang ' Toko Antique Abadi ' . Ia tertarik dan mengajak ayahnya ke sana , sepertinya ayah juga tertarik dengan toko itu, kemudian mereka langsung menghampirinya .
Di depan toko itu , mereka disambut dengan ramah oleh seorang laki - laki yang ditaksir berumur 30 - an , wajahnya agak kekotakkan , kulit sawo bersih , tersenyum tipis pada mereka .
" Mau cari apa , pak ? " tanya laki - laki itu .
" Mau cari lukisan antik , bisa dilihat - lihat dulu pak ? "
" Oh silakan pak . " Laki - laki itu mempersilahkanmereka untuk melihat lukisan ynag terpajang .
Di toko yang berukuran 11 x 5,5 meter itu memuat beberapa koleksi benda antik mulai dari guci , patung , vas bunga , sampai lukisan . Semua dipanjang rapi sesuai dengan tempatnya meskipun toko itu tidak terlalu luas . Ayah memandang - mandangi satu per satu lukisan yang melekat di pajangan , mayoritas tema lukisan adalah pemandangan , flora , dan fauna . Tema lukisan seperti itu sudah banyak memenuhi dinding rumahnya . Ia ingin mencari tema - tema baru yang lebih menarik sampai pandangan matanya tertuju pada salah satu lukisan di sudut .
" Kalau yang ini , apakah dijual ? "
Lukisan seorang perempuan yang sedang duduk manis di sebuah sofa kecil berlengan dengan posisi tangan terlipat menumpu dagu dan kepala dimiringkan sedikit ke kiri , ditambah dengan goresan kuas yang rapi dan proposional , membuat lukisan dengan gaya klasik itu memikat mata ayahku .
" I-i-tu tidak dijual ! " jawab lelaki itu terbata .
" Apa maksudmu tidak dijual ? Lalu apa gunanya dipajang kalau tidak dijual ?! " pekik ayah .
" Seseorang memberikannya padaku secara percuma dan berpesan bahwa lukisan itu tidak boleh dijual . " ujar lelaki itu serius .
" Saya akan bayar berapapun untuk lukisan itu ! " Ayah tetap bersikeras untuk membeli lukisan itu .
Si penjual hanya menggeleng mendengar penawaran sang pembeli .
Melihat reaksi si penjual yang tak tertarik dengan tawarannya , ayahnya geram dan langsung mengeluarkan 30 lembar uang 100 ribuan dari dalam dompetnya dan diletakkan langsung di atas telapak tangan sang penjual . Tanpa banyak kompromi , ayahnya langsung mengambil lukisan itu dan menyuruhnyaberanjak dari sana.
" Satu pesanku kepada kalian , jangan pernah sekalipun menatap lukisan itu jam 11 malam , jika kalian melanggarnya , aku tak jamin kalian bisa selamat . " pungkas sang penjual . Raut wajah penuh ketegangan seolah menyakinkanku bahwa apa yang dikatakannya benar .
" Jangan dengarkan dia , nak . Dia hanya ingin menakut - nakutimu . " tukas ayah . Tapi Endra tak sependapat dengan perkataan ayahnya - biarlah ia pun juga tak mau ambil pusing dengan hal itu .
Supra X 125 itu sudah terparkir di depan teras rumahnya . Rumah yang tak terlalu besar dengan ukuran 12 x 15 meter cukup untuk mereka tinggali . Tak terlalu berdempetan dengan rumah tetangga . Di halaman yang cukup luas itu , mereka menanam pohon mangga dan beberapa tanaman hias agar suasana rumah lebih semarak .
Ayah mengambil kunci rumah dan menekan gagang pintu . Terlihatlah beberapa lukisan koleksi ayah di ruang tamu , ia tidak bisa menceritakan satu per satu , yang pasti , dirinya lebih menyukai gambar seorang ksatria gagah berpedang menunggangi seekor kuda .
" Ndra , menurut kamu cocoknya di mana lukisan ini diletakkan ? "
Suara ayah langsung membuyarkan lamunannya . Ia coba mengumpulkan konsentrasinya dan matanya mengedar , mencari posisi yang pas sebagaimana ayahku tanyakan tadi .
" Bagaimana kalau di sana ? "
Jari telunjuknya mengarah pada sisi kosong di sebelah kiri lukisan ksatria itu . Ayah coba meletakkan lukisan itu di sana dan - pas . Lukisan seorang perempuan cantik dan ksatria sungguh paduan yang tepat . Ia pun juga berpendapat demikian .
Endrasekali lagi memandangi lukisan perempuan yang duduk di sofa itu - ia seperti gambar tiga dimensi yang hidup . Wajah bulat dengan bola mata jernih berbinar , serta kulit kuning langsat .Betapa cantiknya perempuan itu . Tapi hanya saja ada yang aneh , warna latar belakangnya , merah -ini bukan merah biasa seperti darah yang dicampur dengan cat minyak berwarna merah .
" Ah , itu tidak mungkin . Lupakan saja . " Endra berlalu meninggalkan lukisan itu dan menuju ke kamar .
Malam sudah tiba . Sudah jam 10 malam . Dirinya masih saja berkutat dengan layar kaca laptop ku . Tugas presentasi Biologi harus ia selesaikan malam ini dan akan ditampilkan Senin esok - sepertinya , malam ini ia tidak bisa bersantai membaca novel horror yang hari jumat itu dibelinya di Siantar Plaza .
Endra mengucek - kucek matanya yang perih karena terlalu lama terpaku di layar laptop . Ia menelan ludah kering di tenggorokkandan iamerasa kehausan . Terpaksa , ditinggalkan laptopnya sebentar untuk mengambil segelas air minum sekaligus makanan yang ada dikulkas . Sejenak , ia mengamati jam weker - 22 . 50 . Sudah jam sebelas rupanya .
Ia sudah merasa lega . Sesampainya di dapur , Endra mengambil gelas dan menuangkan air dari teko ke gelasnya . Ia langsung meminumnya dan menuangkan kembali ke gelas. Kini , ia sudah siap kembali ke kamar dengan membawa dua potong kue bolu di tangan kanan .
Langkah kakinya terhenti . Pikirannya kembali terusik dengan perkataan tukang penjual lukisan itu . Endra ingin sekali membuktikan kebenaran kata - kata si penjual itu . Apakah ia cuma bergurau atau betul - betul serius .
Endra kembali melangkahkan kakinya ke ruang tamu . Entah kenapa perasaannya tak enak ketika dirinya hendak menuju ke sana . Nurani seakan berbisik , menyuruhnya untuk tidak pergi ke sana .Tapi sepertinya , rasa ego yang kuat t'lah mengalahkan nurani . Keingintahuannya t'rus menuntun langkahnya ke sana .
Ia sudah menapakkan kedua kakinya di sana . Kemudian , dirinya menekan kontak lampu untuk membuat suasana lebih terang . Lampu pijar itu bukan bersinar terang , tapi ia sedikit temaram , membuat bulu romanya bergedik . Ia memberanikan diri melihat lukisan di samping ksatria itu - lukisan perempuan yang tadi siang dibeli oleh ayahku .
Aku mendekat dan menatap sepasang bola matanya lekat - lekat . Bola mata jernih itu seolah membalas tatapanku . Ia mulai merasa tiupan angin lembut meraba tengkuknya .
" Berani - beraninya kau melihatku ?! "
Suara serak itu menyentaknya . Endra gugup , menoleh ke kanan - kiri - belakang , mencari sumber suara itu . Namun , tidak ada siapapun sampai ia melihat sesuatu .
" Kenapa ?! "
Astaga ! Dirinya melihat sepasang bola mata di lukisan itu betul - betul menatapnya . Urat matanyamemerah dan segaris bibir tipis pucat mengeluarkan suara serak tertahan .
" Kenapa ?! "
Ia terus mengulangi kata - kata itu . Badannya bergetar hebat begitu mengetahui lukisan itu benar - benar hidup . Kepala berkunang - kunang . Ia tak sanggup menahan rasa takut yang sudah membludak di ubun - ubun . Tapi iatak bisa berpaling dari sana -- sendi kakinyakebas .
Tak sadar , air mata mengalir deras dari sudut pelupuk matanya . Sekarang , bola mata dan bibirnya mengeluarkan darah segar berbau amis menyengat . Perempuan dalam lukisan itu hampir tertutupi darah . Jantung berdegup tak beraturan , melihat pemandangan horror itu .
Akhirnya , dengan segenap doa dan kekuatan yang bisa ia kumpulkan, Endra mundur dari sana . Ia tidak memperdulikan lagi makanan dan minuman yang dibawanya . Yang penting , ia bisa sampai ke kamar dengan selamat .
Ia masuk ke kamar dan melompat tergesa - gesa ke arah tempat tidur. Ia menudungi seluruh tubuhku dengan selimut merah tebal .
" Itu pasti cuma ilusi ! " gumamnya dalam selimut . Dirinya terus meyakinkan kalau kejadian yang dilihatnya tadi hanya ilusi -- tipuan mata saja . Meskipun begitu , rasa takut itu sudah merongrong nyalinya . Ia tak bisa menenangkan degup jantung dan irama nafasnya yang kian memburu . Ketakutan masih menghantui pikirannya .
Endra masih bingung , mendapati dirinya berada di sebuah ruangan yang di penuhi alat - alat lukis dan hasil lukisan yang sudah jadi . Pun , ia melihat seorang wanita sedang duduk manis di sebuah sofa . Rupanya , sang pelukis menghayati pose wanita itu dan menggoreskan sketsa dengan pensilnya di atas kanvas .
Pemandangan itu tak berlangsung lama . Jerit dan ratapan kepedihan menggema di ruang itu . Sang pelukis menikamkan obeng yang dipegangnya bertubi - tubi ke arah tubuh sang wanita . Tikaman itu lebih banyak mengenai leher dan darah segar memancar dari urat nadi yang terkoyak . Ia tak sanggup menyaksikan pembunuhan sadis itu , namun dirinya tak bisa berbuat apa - apa . Bibirnya terkunci rapat . Kedua tangan dan kaki membeku . Matanya terbeliak , terpaku menatap si gadis meregang nyawa dengan long dress kuning pisang bermandikan darah .
Sang pelukis itu meninggalkan gadis malang itu dengan menenteng sebuah lukisan di tangan kanannya . Ia bagaikan patung hidup di sana . Melihat tanpa bisa berbuat apa - apa . Endra menyesali ketidakberdayaannya .
Di tengah rasa sesal , matanya melotot , beradu padang dengan mayat gadis itu . Tatapan itu menyiratkan kebencian , dendam , amarah meluap - luap di kedua sorotnya . Aku makin tak karuan , saat ia mencoba menyeret - seret badannya mendekatinya .
" Ka-kaaaa-uuu ! "
Badannya menegang , matanya mengerjap . Butir - butir keringat jagung sudah membasahi wajah tampannya .
" Mimpi buruk yang benar - benar mengerikan ." gumamnya .
Ia terjaga untuk beberapa saat ,melirik jam weker - 03 . 00 dini hari . Masih terlalu pagi ia bangun . Endra menyipitkan matanya ,melihat silaunya sinar lampu pijar yang masih menyala benderang . Ia mengurungkan niat untuk mematikan lampu kamar . Mimpi buruk itu membuatnya dirundung rasa was - was dan cemas .
Ayam jago berkokok , matahari bersinar terik .Semua buku, alat tulis termasuk laptop sudah disusun ke dalam tasnya, ia sudah siap berangkat ke sekolah . Endra keluar dari kamar hendak menuju ke pintu luar . Tapi , suara ayah mengagetkannya .
" Endra , kenapa kamu meninggalkan makanan dan minumanmu di ruang tamu ? "
" Oh - itu ?! Semalam aku mau nonton di TV . Eh , tahu - tahunya aku malah ngantuk berat dan lupa membawanya . " Ia menyunggingkan senyum lebar membenarkan perkataannya padahal dirinya sedang menutupi kebohongannya .
" Ya sudah kamu pergi saja , biarlah ayah yang menyimpannya. "
" Ya ayah . Aku pergi . " pungkasnya sambil berlalu dari hadapan ayah .
S'perti biasa, hari senin adalah hari paling ' menegangkan ' untuk para pelajar seperti dirinya . Usai upacara , mereka langsung melakukan presentasi dan tibalah giliran kelompoknya . Ia mengeluarkan segala sesuatu yang berhubungan dengan tugas presentasi , tapi tangannya menyentuh sesuatu yang dingindan kaku di dalam tasnya .Endra tercekat . Tangannya gemetar terangkat , pelan dan perlahan , ternyata ...
Sepotong tangan !
Endra memekik pelan dan melepaskan potongan tangan itu dari tangannya . Salah satu temannya yang mendengar ia memekik , lalu menegurnya .
" Hei , Endra kenapa kau ?! Kayak abis lihat setan aja kau ! " ujar temannya , Rizal .
" E-er nggak ada apa - apa kok ! Tanganku cuma kesemutan doang ... hehehe . " Aku menggaruk - garuk kecil kepalaku .
" Ya sudah ayo ! Ini sudah mau mulai presentasi . "
Endra langsung maju bersama temannya . Ia pun juga berperan sebagai moderator dalam kelompok itu . Sudah menjadi tugas moderator untuk memperkenalkan diri dan membuka sesi penjelasan materi . Saat memperkenalkan diri , matanya menangkap sosok wanita tengah menatapnya dengan kepala miring ke kiri tertutupi rambut panjang berantakan menutupi wajahnya lalu menghilang .
Ia terdiam sesaat .
" Heh Endra , kenapa malah bengong ?! Ayo mulai ! " bisik Yenny .
Ia hanya mengangguk setengah . Kikuk , semua mata tertuju padanya .
Lega rasanya kalau mendengar lonceng berbunyi . Ribuan siswa dengan segala kepenatan dan kejenuhan di kepala mereka berhamburan , menuju pintu gerbang , pulang ke rumah masing - masing termasuk Endra .
Dirinya harus cepat menuju ke rumah , menceritakan kejadian - kejadian aneh yang menimpanya di sekolah , setelah ia melanggar peringatan yang dikatakan oleh sang penjual lukisan itu . Mungkin , dirinya juga akan mengusulkan , baiknya lukisan itu dipulangkan saja kepada sang penjual itu . Ia tidak mau teror mengerikan yang menimpa dirinya , menimpa ayahnya juga - jangan sampai .
Ia sudah turun dari angkutan yang membawanya pulang . Dipercepat langkah kakinya agar sampai ke dalam rumah . Kini , dirinya sudah berada di ruang tamu dan mendapati ayahnya sedang makan siang .
" Aku pulang ! " soraknya pelan .
Ayahnya mendengarnya dan menyahut . Namun , ayahnya tetap melanjutkan makan siangnya yang sedikit terganggu .
" Ayah . " ujarnya sambil mengambil tempat di samping ayahku .
" Ada apa , nak ? " ayahnya kembali menghentikan kegiatannya .
" Aku ingin minta pendapat ayah . Bagaimana kalau lukisan perempuan yang berada di ruang tamu itu kita kembalikan saja ? " aku tak berani menatap mata ayah secara langsung .
" Apa maksudmu nak ? Ayah sudah membeli mahal - mahal lukisan itu tapi kamu mau menyuruh ayah memulangkannya ?! Jangan - jangan kamu sudah terpengaruh omong kosong dari penjual lukisan itu ya ?! " mata ayah kini serius memandangnya . Mungkin dalam hatinya , ia mempertanyaan alasan anaknya mengatakan hal seperti itu .
" Bu-bu-bukan begitu maksudku , ta-tt-tapi ... "
" Sudahlah nak . Lebih baik , ganti bajumu , cuci muka , dan makan . Kelihatnya kamu lelah sekali hari ini . " tukas ayah sambil menaruh piring kotornya di washing plate .
Endra pun juga undur diri dari sana . Ia bingung mengapa tiba - tiba dirinya jadi gugup . Firasatnya mengatakan hal buruk akan terjadi pada ayahnya , namun ia terus meyakinan dirikalau semua akan baik - baik saja -semoga saja .
Tatapan mata ayah tak bisa lepas dari dua orang yang sedang menggiring bola dalam tabung kaca itu . Jam dinding sudah menunjukkan 23 . 00 . Tak dihiraukannya lagi , dinginnya angin malam yang sudah menggelitik tengkuknya . Konsentrasinya masih terfokus dengan pertandingan bola yang terpampang di sana .
Rasa dahaga sudah menyerang kerongkongannya . Mau tak mau , ia harus pergi ke dapur untuk mengambil segelas air. Rasa dahaga sirna ketika air dalam gelas itu membasahi kerongkongannya , ia langsung bergegas menuju ruang tamu agar tidak ketinggalan permainan ' cantik ' yang dibawa oleh tim bola kesayangannya itu .
Sebelum ia kembali duduk di sofa , ia mengamati sejenak lukisan itu . Wajah perempuan yang menjadi model dalam lukisan itu mengingatkan dirinya akan almarhumah istrinya yang sudah 16 tahun meninggalkan dirinya . Ia tak ingin berlama - lama mengenang nostalgia kelabunya itu , ia segera duduk di atas sofa panjang dan kembali fokus dengan tontonannya .
Tok tok tok !
Suara ketukan itu berasal dari luar . Ia tak ingin konsentrasinya terganggu gara - gara ulah orang usil yang mengetuk - ketuk pintu rumahnya .
Tok tok tok !
Dua kali suara ketukan itu mengganggu konsentrasinya . Ia yang tak tahan dengan suara itu , mendatangi pintu itu dengan perasaan dongkol . Saat ia membuka
Kosong !
Tidak ada siapapun di luar sana . Yang ada hanyalah , hamparan luas kegelapan yang menutupi semesta dan suara jangkrik dan kodok bersahutan . Ia mendesah keras melihat keanehan yang terjadi dan beralih ke sofanya .
Matanya tak sengaja menangkap sekelebat bayangan melintasi ruang dapurnya . Ia tercekat seketika . Pikirannya menyuruhnya untuk mengikuti ke mana bayangan itu pergi . Sesampainya ia di dapur , ia menyalakan kontak lampu dan mengamati sekelilinginya - kosong . Tak ada apapun yang mencurigakan , selain piring bekas yang tergeletak di sana . Dirinya mulai terusik dengan hembusan angin yang meniup tengkuknya . Tak betah rasanya berlama - lama di sana . Ia mengambil langkah seribu meninggalkan dapur .
Kejadian aneh yang menimpa dirinya , membuat rasa takut perlahan menguasai pikirannya . Ia berniat untuk mematikan TV nya dan cepat - cepat pergi ke kamar tidurnya .
TV yang menyala itu kini mati ketika ia menekan tombol OFF pada papan remote . Saat meletakkan remote itu di atas TV , telinganya mendengar suara lirih amat pilu dan menoleh ke samping .
Ya Tuhan !
Sesosok wanita dengan long dress kuning pisang lusuh berbau tanah , tengah menatap garang ke arahnya . Wajahnya pucat pias , bola mata terbeliak hampir keluar dan leher membusuk itu mengeluarkan aroma amis darah . Ia tak sanggup menahan rasa mual yang bergejolak di perutnya dan muntahannya mengotori lantai .
Ia terus mendekat dengan langkah tertatih menuju ayah . Tatapannya tak bisa lepas darinya . Ia hanya bisa menyaksikan kengerian makhluk itu karena kedua kakinya bagaikan menyatu dengan lantai . Ia menyunggingkan seringai lebar menyeramkan menatap ketidakberdayaannya . Degupan jantung keras dan tak beraturan seperti mau meledak . Darahnya berdesir deras mengalir ke ujung kepalanya . Bulir - bulir keringat jagung membasahi wajahnya , ia tak tahan lagi dengan semua kengerian yang dialaminya . Makhluk itu tinggal dua jengkal dari hadapannya .
Keajaiban pun datang . Ia kembali bisa menggerakkan kembali tubuhnya . Namun naas . Saat ia coba berlari , ia tak menyadari ada tembok di belakangnya . Kepalanya berbentur keras dengan tembok itu , membuat darah segar mengucur dari keningnya . Ia meringis kesakitansebelum dirinya tergelak tak berdaya bersandar di dinding . Makhluk itu tertawa cekikikan , puas menyaksikan kesengsaraan yang ditanggungnya , makhluk itu lenyap .
Keesokan harinya , Endra sibuk mencari keberadaan ayahnya untuk meminta uang jajan . Ia tak menemukan ia di kamarnya , namun dirinya teringat bahwa ayahnyasemalam menonton pertandingan bola di ruang tamu . Mungkin saja ayah ketiduran di ruang tamu dan dirinya berniat membangunkannya .
Setiba di sana , ia terperanjat . Ayahnya tergeletak tak sadarkan diri di ruang tamu . Wajahnya tertutup darah kering yang mengalir dari keningnya . Endra panik dan langsung membuka pintu , meminta pertolongan pada orang - orang yang kebetulan melintas di jalan .
Dirinya masih cemas menunggu hasil pemeriksaan dokter . Tak henti - hentinya ia berdoa dan memohon pada Tuhan agar keadaan ayah baik - baik saja dan dokter sudah keluar dari ruang pemeriksaan .
" Bagaimana keadaan ayah saya , dok ? " tanyanya memelas .
" Ayah Anda masih belum sadarkan diri . Namun , kita berdoa saja agar ayah Anda cepat pulih . " ujar sang dokter .
Ia hanya bisa tertunduk lesu melihat keadaan ayahnya memprihatinkan dan dokterr beralih dari hadapannya . Dari kaca tipis yang tertempel di pintu kamar , dirinya melihat sesosok perempuan tengah memandang ayahku . Wujudnya tetap mengerikann sama seperti saat ia melihatnya di sekolah . Sadar ia telah dipergok , ia menghilang .
" Ini pasti ada hubungannya dengan lukisan itu . Aku harus menyelesaikannya sebelum terlambat . " tukasnya dalam batin .
Endra memacu sepeda motorku ke tempat kami membeli lukisan itu - Pasar Horas . Banyaknya kendaraan bermotor padat merayap di jalan , membuatnyaharus berhati - hati dan mengurangi kecepatan .
10 menit waktu yang ditempuh dari Rumah Sakit Vita Insani ke Pasar Horas dan ia telah tiba . Dirinya memarkir dan mengunci sepeda motornya di tempat parkir yang disediakan . Ia menuju ke dalam bangunan utama pasar . Sarat akan pedagang dan manusia yang hilir balik memenuhi koridor jalan . Dirinya memutar mata , mencari toko di mana ayahnya membeli lukisan itu . Padat dan sesak yang mendesak dada di antara ratusan orang lalu lalang dan - aku melihatnya - toko itu dan maju ke sana .
Tapi sialnya toko itu sudah tutup hanya tersisa plang yang menempel di atas dinding . Salah satu pedagang yang melihat dirinya kebingungan , menghampirinya .
" Cari siapa ya bang ? "
" Oh , kira - kira yang punya toko ini ke mana ya , kak ? "
" Yang punya toko ini sudah tidak berjualan lagi , tapi ia sebelum ia pergi , sang pemilik menitipkan ini pada saya untuk di sampaikan pada abang . " tutur perempuan pemilik butik di sampingnya .
Endra menerima kertas yang diberikan perempuan itu dan membacanya .
Komplek Mega Land
Jalan Kertas blok 67 A .
Ia mengucapkan terima kasih kepada perempuan itu dan menuju ke tempat parkir . Setelah dirinya membayar uang parkir , ia langsung melesat ke komplek Megaland .
Ribuan derap langkah pejalan kaki dan desauan mesin menambah keriuhan kota kecil di mana aku berada sekarang . Ini bukan pemandangan yang asing lagi baginya , namun inilah gambaran kecil kehidupan orang - orang di sana .
Ia memacu sepeda motornya kencang dan tiba juga di alamat yang tertulis dalam kertas itu . Ia bertanya - tanya pada setiap orang yang berjalan di sepanjang jalan itu untuk mencari rumah pemilik lukisan itu .
Tapi dirinya hanya melihat sebuah rumah mewah bercat ungu bertingkat 2 yang telah dipasang garis polisi . Endra sempat ragu apakah ini alamat yang dituju dalam kertas itu , benar . Namun keraguannya hilang , ketika seseorang dari belakang mendekatinya .
" Rumah ini sudah lama disegel pihak kepolisian . " ujar lelaki berambut pendek itu .
" Anda siapa ? " tanyanya .
" Saya Kristanu , penjaga rumah ini . "
Sepintas , wajah lelaki itu tampak pucat dengan tatapan bulat memandangku . Ia agak risih dipandang seperti itu , namun dirinya bersikap biasa - biasa dan lelaki itu melanjutkan ceritanya .
" Menurut berita yang tersiar , dua hari yang lalu , di rumah ini ditemukan seorang laki - laki dan perempuan tewas mengenaskan . Mayat lelaki itu tergantung dengan seutas tali tambang di depan mayat perempuan yang tubuhnya bersimbah darah . Kuat dugaan , mayat perempuan itu sudah dibunuh oleh lelaki itu . " ujar lelaki itu datar .
Namun , ia merinding mendengarkan cerita yang dituturkannya . Mungkin mimpi yang dialaminya 3 hari yang lalu adalah cuplikan pembunuhan yang dilakukan sang pelukis itu . Terbesit pertanyaan apakah yang membuat sang pelukis itu tega menghabisi wanita itu dan ia bertanya lagi pada lelaki itu .
" Tapi apa yang membuat sang pelukis itu tega membunuh wanita itu ? "
" Sang pekulis mengalami sejenis penyakit jiwa langka - Obsesif Compulsif Disorder - gangguan otak dan perilaku di mana seseorang mengalami kecemasan yang begitu parah sampai membunuh orang lain . "
Aku menelan ludah kering mendengar penjelasan seputar penyakit jiwa yang dialami oleh sang pelukis . Ia tak menyangka ada seseorang yang terkena penyakit jiwa yan membahayakan tersebut .
" Tapi apakah anda tahu ke mana perginya lukisan - lukisan miliknya ? " sambungnya lagi .
" Lukisan - lukisan itu itu dilelang dengan harga yang murah , tapi salah satu lukisan itu s'perti membawa kutukan sendiri di dalamnya . "
" Kutukan ?! " sentakku .
" Ya . Lukisan - lukisan itu dibeli oleh sepasang suami - istri kaya .Namun , setelah dua hari mereka membeli lukisan itu , mereka meninggal dunia karena kecelakaan , sekarang aku pun bagaimana nasib lukisan - lukisan itu sekarang ... "
Jantungnya mendadak berdegup kencang . Kepalanya serasa ditimpa palu raksasa . Lukisan terkutuk itu sekarang berada di rumahnya . Ia lantas mengucapkan terimakasih pada lelaki itu dan bergegas menjauh darinya . Kini satu - satunya hal yang dapat dilakukan untuk menghentikan teror lukisan terkutuk itu adalah menghancurkannya -- sebelum semuanya berakhir .
Hari cepat berlalu . Sekarang sudah jam 10 malam . Suara kodok bergaung keras , angin malam menerpa kulitnya , membuat ia bergidik ngeri , sesuatu yang buruk pasti akan terjadi . Tapi ditepisnya semua demi mengakhiri teror yang menimpa mereka akhir - akhir ini . Ia tak mau menunggu lama - lama , semuanya harus diselesaikan .
Dirinya mengambil lukisan perempuan yang terpajang di sana dan ditatapnya lekat - lekat .
" Kau akan berakhir di sini . " katanya , tatapnya geram memandang lukisan itu .
Endra membantingnya berkali - kali ke arah dinding . Kayu penyangga lukisan itu patah , kacanya pecah berhamburan di lantai . Belum puas amarahnya , ia mengambil gambar lukisan itu dan dirobeknya sampai yang tersisa hanya sobekan - sobekan kertas .
Ia menuju dapur dan mengambil sebotol minyak tanah yang sudah disiapkan sorenya . Dia menaburkan minyak itu ke atas robekan kertas itu , kemudian mengambil korek api dalam saku celana dan memantiknya .
Kobaran api merah mulai menghanguskan lukisan itu . Perlahan , sosok wanita ayu dalam lukisan itu berubah menjadi abu , begitupun lainnya . Dirinya menghela nafas lega melihat lukisan itu hanya menyisakan abu dan arang -teror hantu lukisan itu sudah berakhir .
" Ke-ke-napa ka-kau me-me-mbakar rumahkuuu ?!! "
Sontak saja , suara serak kering itu membuatku terperanjat hebat begitu dirinya berbalik ke belakang . Sesosok wanita dengan long dress lusuh , tubuh penuh luka tikaman beraroma busuk , serta rambut panjang kusut , memandangnyapenuh amarah , kebencian , dan dendam yang kian menggelora .
Belahan bibirnya mengatup keras . Ia hanya bisa mengeluarkan erangan tak jelas menyaksikan makhluk dengan penampilan yang mengerikan itu . Jantungnya berdetak hebat , mataku mendelik , darahnya berdesir kencang sampai ke ubun - ubun . Air mata dan butiran keringat mengucur deras membasahi wajah yang dicekam oleh ketakutan luar biasa .
" Kau harus mati ! HAHAHA ! " pekiknya sambil mengeluarkan tawa yang membahana di ruang tamu .
Kini , kedua tangannya sudah mencengkeram lehernya . Endra tak sanggup melawan , menggerakkan jari - jari di kaki pun aku tak bisa . Ia tak punya kekuatan sekadar mengangkat lengan sajatak sanggup - Checkmate .
Cengkeraman tangannya semakin kuat , napasnya tersendat - sendat . Ia masih berusaha bertahan walaupun yang dilakukannya tampak sia - sia . Dirinya gelagapan , kesesakan sudah menekan dadanya bersamaan dengan urat leher sudah mati rasa .
Wajahnya mulai membiru , sisa nafas yang dimilikinya tak sanggup membuatnya bertahan . Dalam keputusasaannya , ia melihat sesosok lelaki yang ternyata - ia lelaki yang kujumpai tadi siang . Wujudnya begitu mengerikan . Matanya terbeliak , mukanya membiru dengan tetesan air liur dai sudut bibirnya . Ia memandangku nanar melihat penderitaan yang dialaminya .
Hembusan nafas pendek inilah yang menjadi akhir hidupnya . Ia berada di ruang gelap di mana yang kudengar hanyalah ratapan tangis memilukan dan jiwa - jiwa kesepian yang berkeliaran sana - sana sini . Tatapan mereka kosong , tak ada niat kehidupan yang terpancar di dalamnya termasuk perempuan yang sedang bersamanya sekarang .
Ia berharap ayahnya belum menyusulnya .
The End