Dibandingkan dengan negara Arab lainnya, krisis politik yang terjadi di Libya memiliki intensitas pergolakan yang lebih tinggi. Menanggapi krisis politik tersebut yang cenderung terkait dengan aksi protes dan demonstrasi oleh masyarakat Libya, Khadafi lebih mengutamakan penggunaan pendekatan yang represif. Tercatat bahwa pasukan Khadafi melakukan banyak pelanggaran dengan menembaki para demonstran secara membabi buta. Bahkan dengan menggunakan jet tempurnya. Jumlah korban demonstran anti pemerintah Khadafi mencapai 1.000 orang.[ii] Hal ini tentunya dipersepsikan sebagai pembantaian yang dilakukan oleh rezim di Libya terhadap warga sendiri dan merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Dalam perkembangannya, masyarakat Libya terbagi menjadi dua kelompok yaitu pasukan loyalis Khadafi (pemerintahan Khadafi) dan pihak oposisi yang dimobilisasi oleh Dewan Transisi Nasional Libya. Kedua kelompok ini memiliki kepetingan yang kontradiktif. Pasukan loyalis Khadafi tentunya memiliki kepentingan untuk mempertahankan kekuasaan Khadafi. Sangat kontradiktif dengan kepentingan pihak oposisi yang menginginkan Khadafi turun dari tahta kekuasaannya. Dengan agenda utama mencapai kepentingan masing-masing, kedua kelompok tersebut terlibat konfrontasi. Dalam hubungan konfrontatif kedua kelompok tersebut, aksi saling menyerang yang melibatkan warga sipil tak terelakkan. Selain itu, terjadi ketidakseimbangan dari kekuatan kedua kelompok tersebut. Hal ini terlihat dari ketidakberdayaan pihak oposisi menghadapi serangan udara pasukan Khadafi. Kelompok loyalis Khadafi tentunya memiliki militer dan sistem persenjataan yang canggih jika dibandingkan dengan pihak oposisi yang memiliki persenjataan terbatas dan sistem militer yang kurang. Konsekuensinya, pihak oposisi lambat laun mengalami kemunduran.
Di lain hal, adanya isu pembantaian yang dilakukan oleh rezim di libya dan ketidakseimbangan kekuatan pro Khadafi dan pihak oposisi mengundang perhatian masyarakat Internasional. Hal ini juga didukung oleh keinginan pihak oposisi dalam meminta bantuan terhadap dunia internasional terutama PBB. Menanggapi hal tersebut, keterlibatan komunitas internasional sangat berpengaruh terhadap krisis di Libya. Keterlibatan aktor-aktor internasional didasarkan pada agenda utama yaitu menghentikan aksi kejahatan kemanusian dan mengawasi proses transisi pemerintahan di Libya.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai organisasi internasional tentunya memiliki peranan yang strategis dalam melihat krisis di Libya. Dalam hal ini, keterlibatan PBB diwujudkan dengan menerapkan resolusi 1973 DK PBB[iii] yang mengizinkan anggota PBB menjalankan langkah apa pun yang diperlukan dalam upaya melindungi warga sipil di Libya dari kekerasan pasukan pemerintah pimpinan Moammar Khadafy. Salah satu upaya perwujudan instrumen tersebut adalah persetujuan Dewan Keamanan PBB terhadap zona larangan terbang di atas wilayah Libya untuk melindungi warga sipil dan pemberontak dari serangan udara pemerintah Libya. Kepentingan PBB dalam krisis Libya tentunya untuk melindungi masyarakat Libya dalam krisis politik tersebut. Walaupun secara substansial, keteribatan PBB terkesan lebih merepresentasikan kepentingan Amerika Serikat. Hal ini terlihat dari pernyataan Sekjen PBB, Ban Ki Moon yang mengutuk pemerintahan Libya.[iv] Tidak hanya itu, segala upaya dari masyarakat Internasional yang walaupun tidak sesuai dengan prosedur PBB dengan tujuan merugikan pemerintahan Khadafi, mendapatkan legalitas dari PBB. Padahal sebagai organisasi internasional, PBB tentunya harus bersikap netral.
Dari krisis Libya itu sendiri, intervensi NATO (North Atlantic Treaty Organization) menentukan perkembangan pergolakan politik tersebut. Dalam hal ini, NATO mendapatkan mandat dari PBB untuk melakukan intervensi.[v] Dengan landasan tersebut, NATO dalam mencapai kepentingannya, menggunakan instrumen kekerasan dengan menyerang pangkalan-pangkalan militer pasukan loyalis Khadafi, walaupun dalam implementasinya banyak menewaskan warga sipil. Sesuai dengan paradigma realis, keterlibatan NATO dalam krisis Libya tentunya didasari beberapa kepentingan. Kepentingan kapital dan geopolitik merupakan dua hal yang diperjuangkan. Kepentingan kapital berkaitan dengan ladang minyak yang dimiliki Libya. Jika negara-negara NATO seperti Amerika Serikat dan negara barat lainnya, dapat menanamkan pengaruhnya, tentunya hal ini akan berimplikasi pada kontrol perminyakan Libya. Di lain hal, kepentingan geopolitik lebih dikaitkan dengan pergolakan politik di negara-negara Arab dan posisi strategis Libya dalam kawasan tersebut. Berbicara dalam konteks ini, peran utama dalam intervensi NATO tentunya dipegang oleh Amerika Serikat. Dalam hal ini, NATO menjadi kepanjangan tangan Amerika Serikat dalam melihat kepentingannya yaitu menanamkan pengaruhnya di Libya dan terkait ladang minyaknya. Inggris dan Perancis juga merupakan dua negara yang turut serta dalam operasi militer di Libya.[vi] Kedua negara ini memiliki kepentingan untuk memperbaiki perekonomian negaranya dengan melirik kekayaan minyak dan sejumlah mineral lainnya yang melimpah di Libya. Seperti halnya dengan Amerika Serikat, kedua negara ini juga berkepentingan untuk menurunkan Khadafi dari tampuk kekuasaannya dalam menanamkan pengaruhnya di Libya. Khadafi dikenal sebagai pemimpin yang anti barat dan menjadi penghambat kepentingan barat.
Liga Arab dalam peranannya sebagai organisasi yang berpengaruh dalam konstelasi hubungan negara-negara islam, juga menentukan sikap dalam menangani pergolakan di Libya. Liga Arab juga menentang kejahatan kemanusiaan yang terjadi di Libya. Dalam sikapnya, LigaArab pada awalnya menentang intervensi asing dalam penyelesaian konflik di Libya. Akan tetapi karena tidak adanya solusi konkrit yang dapat diberikan, Liga Arab kemudian berubah pandangan dan mendukung intervensi asing dalam penegakan hak asasi manusia di Libya. Dukungan tersebut terlihat dari bantuan Arab, Uni Emirat Arab dan Qatar yang mengirimkan jet tempurnya untuk bergabung dengan koalisi internasional dalam upaya menghadapi pasukan Khadafi.[vii] Selain itu, Liga Arab juga gencar dalam mendesak PBB untuk memberlakukan zona larangan terbang dalam upaya melindungi warga sipil. Kepentingan Liga Arab dalam krisis di Libya adalah meredam krisis konflik di Libya melalui penyelesaian yang non politis dan mengurangi upaya penanaman pengaruh barat dalam intervensinya.
Selain Liga Arab, Uni Afrika sebagai organisasi kawasan juga mengambil bagian dalam mengupayakan penyelesaian krisis Libya. Salah satu langkah nyata yang dilakukan Uni Afrika adalah menegosiasikan dan membahas upaya penyelesaian krisis Libya di internal Uni Afirka dengan mengundang para pejabat dari Uni Eropa, Dewan Keamanan PBB, dan negara-negara Arab tetangga.[viii] Kepentingan dari keterlibatan Uni Afrika adalah untuk mencegah menyebarnya virus demokratisasi di Libya ke negara-negara lain di kawasan Afrika. Selain itu, Uni Afrika juga memiliki kepentingan untuk memulihkan stabilitas pasokan minyak dan gas dunia. Libya sebagai negara penghasil minyak terbesar ke-9 di dunia dan negara yang paling kaya minyak di Afrika[ix] yang mengalami krisis politik, tentunya akan berimplikasi pada stabilitas energi dunia. Apalagi, negara-negara Afrika tentunya secara signifikan merasakan implikasi tersebut.