Di balik semua kontroversi tentang kepahlawanan
Kartini, kenyataan bahwa Kartini menjadi salah satu tokoh perempuan pembawa perubahan tidaklah dapat dipungkiri. Meskipun banyak yang memandang sinis terhadap sosok Kartini terutama jika dibandingkan dengan pahlawan perempuan lainnya, namun toh kepahlawanan tidak dapat hanya dinilai dari bagaimana seseorang berperang melawan penjajah dengan mengangkat senjata, tapi juga bisa melalui cara yang lebih intelek, dalam hal ini melalui tulisan. Kalau akhirnya Kartini menyerah pada keadaan, yakni dengan bersedia dinikahi dan membiarkan cita-citanya melayang, setidaknya Kartini
pernah menyuarakan kegundahannya pada sistem kebudayaan feodal Jawa yang berlaku, pada sempitnya peluang perempuan Jawa untuk maju, dan bahkan pada agama Islam yang dijadikan pembenaran oleh laki-laki untuk berpoligami. Dan ketika kita bicara persamaan gender, ternyata
Kartini telah memulai isu itu sejak awal abad 20. Pemikiran Kartini telah membawa perempuan Indonesia saat itu ke tahap selanjutnya, ke tahap yang justru ditakuti oleh para laki-laki :
menjadi cerdas dan mandiri. Pemikiran untuk maju dan tidak berada di bawah bayang-bayang laki-laki (atau suami), ternyata membawa ancaman pada kaum Adam. Seperti bagaimana
Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) muncul di tahun 1950-an, dan menjadi sebuah gerakan yang menjangkau seluruh pelosok Indonesia. Gerakan yang menganut paham sosialisme dan feminisme ini begitu gencarnya menyuarakan penyetaraan gender antara laki-laki dan perempuan, hingga akhirnya difitnah sebagai sebuah gerakan makar dan komunis oleh Soeharto di tahun 1965. Soeharto sangat paham, bahwa peran perempuan dalam menanamkan ideologi tertentu sangatlah kuat, karena mereka merupakan gerakan
akar rumput (grass root). Artinya, perempuan bisa mulai menanamkan nilai-nilai moral dan sosial
dalam keluarga mereka, dan membawa pengaruh besar ketika anak-anak mereka tumbuh menjadi pemuda yang berpegang pada nilai-nilai tersebut. Soeharto yang sangat menentang paham sosialisme lantas menciptakan sebuah “ilusi” demi mengubur paham tersebut, dimulai dari merancang Gerakan 30 September dan menunjuk hidung PKI sebagai dalang dari pembunuhan para jendral tersebut. Soeharto pula yang
mengaitkan Gerwani dengan PKI, dan mengarahkan tuduhan pada mereka. Soeharto tahu bahwa Gerwani harus diberantas, sehingga ia dengan mudah dapat menanamkan ideologi baru, ideologi kolot yang bersembunyi di balik Pancasila. Maka media pun ditunggangi untuk memberitakan fitnah tersebut. Dikatakan, anggota Gerwani melakukan tarian telanjang yang disebut
Tarian Harum Bunga, sebelum menyilet-nyilet kemaluan para jendral musuh mereka, dan mencongkel mata mereka. Dan rakyat dengan mudah terhasut, karena keterbatasan akses informasi yang dimiliki saat itu. Akibatnya sungguh tak dapat dibayangkan. Anggota Gerwani dihujat, diperkosa, dan dicap sebagai kumpulan perempuan jalang. Para perempuan anggota Gerwani (dan orang-orang yang diduga anggota Gerwani) ditangkap, dikumpulkan di sebuah lokasi oleh TNI, dan menjadi budak seks selama bertahun-tahun. Seorang eks anggota Gerwani bernama Bu Darmi dari Bali bahkan berkata bahwa “
tubuh saya bukan milik saya lagi, namun milik ‘penguasa‘”. Puas dengan gerakan anti Gerwani yang dicetuskannya, Soeharto lantas mulai menanamkan ideologi baru, dengan berlindung di balik Pancasila. Maka muncullah
Dharma Wanita, Dharma Pertiwi, dan PKK.
Dharma Wanita sebagai wadah para istri PNS,
Dharma Pertiwi sebagai wadah para istri TNI, dan
PKK sebagai wadah para istri se-Indonesia. Soeharto pula yang menelurkan
Panca Dharma Wanita : 1. Perempuan sebagai pasangan yang setia kepada suami 2. Perempuan sebagai prokreator bagi bangsa 3. Perempuan sebagai pendidik dan pembimbing anak-anak 4. Perempuan sebagai pengurus rumah tangga 5. Perempuan sebagai anggota masyarakat yang berguna Terlihat di sana bahwa Panca Dharma Wanita sendiri menempatkan perempuan sebagai
“pelengkap suami”, bukan sebagai
individu yang berdiri sendiri. Poin 1 sampai 4 menggambarkan peran perempuan bukanlah di ruang publik, bukan di pengambilan keputusan, namun hanya sebatas tembok rumah. Bagaimana dengan lihainya Dharma Wanita, Dharma Pertiwi dan PKK hanya memberikan pengetahuan rumah tangga dan keterampilan merajut, menjahit, dan lain-lain, dengan tujuan membatasi pemikiran dan pergerakan perempuan. Inilah yang disebut
domestikasi perempuan. Inilah bentuk upaya
pembatasan perempuan, supaya disibukkan dengan urusan rumah tangga, dan tidak perlu memikirkan negara, yang merupakan urusan suami. Inilah bentuk penindasan dan penghinaan besar yang tidak kita sadari, karena kenyataannya kita hidup berdampingan dengan ideologi semacam itu, hingga hari ini.
Penghinaan karena perempuan dianggap
tidak dapat berprestasi, dibuktikan dengan struktur Dharma Wanita yang mengacu pada jabatan dan kedudukan suami di kantornya. Apakah seorang istri staf bisa menjadi ketua Dharma Wanita?
Jangan harap. Seberapa bodohnyapun istri Mentri, sudah pasti ia lah yang mengisi pos ketua Dharma Wanita. Ironis bukan? Dan ya, kenapa namanya Dharma
Wanita? Bukan Dharma
Perempuan? Inilah salah satu bentuk penggunaan semantik sebagai upaya pelecehan pada perempuan. (berlanjut ke part 2)
KEMBALI KE ARTIKEL