walau hawa aspal membakar isi kepala
dan perut tercekik lapar dahaga
tetap teguh berdiri bersuara
di hadapan dinding yang berpura-pura lupa
di sana kita teriaki
kuping dinding memerah tak peduli
dan kita terus bergantian berorasi
demi sekadar menanti
mulut dinding melontarkan harapan basi
tapi itu dulu sekali
sebelum dinding menelan jati diri...
kini aku sendiri meninju dinding
walau kau asyik meninjau dinding
kini aku sendiri mengepal di depan dinding
meski kau tak henti mengepul di balik dinding
kini aku sendiri menanduk muka dinding
walau kau terus menunduk di kaki dinding
Arman Syarif | Gowa, 26 Juli 2020