Kini, sudah enam tahun berlalu. Namun tetap bergolak di tungku jiwaku.
Jikalau kau sudah terlupa, dalam bait puisi ini kutuliskan sebagai pengingat untukmu. Malam itu kita telah bersepakat; karena hidup hanya sekali, masing-masing kita pun hanya menikah sekali. Kita akan menua bersama, juga ompong bersama.
Mendidik anak cucu kita dengan ilmu-ilmu agama. Menanamkan keluhuran adat seperti yang dicontohkan kakek nenek yang tak tega melihat tetangga kesusahan. Tertawa bersama dengan anak cucu.
Menjadi teladan bagi mereka dalam hal kesetiaan merawat ikatan suami istri. Yang paling membuatku bahagia, karena kau pun merestui impian utamaku; membangun perpustakaan pribadi, tempat di mana anak cucu kita akan menimba ilmu.
Dan jika rezeki melimpah, kita akan bangun sekolah untuk anak-anak saudara kita yang tidak mampu, sebagai jembatan mereka untuk menata hidup dan merengkuh masa depan yang sejahtera.
(Catatan langit, 1/4/2019)