“Jangan lupa ikat selendang kuningnya di pinggang dan lepas alas kakinya, kalau mau kamu boleh ikut saya kedalam, ada tamu dari Bali yang mau sembahyang ” ujar bapak Pedande saat saya meminta izin untuk mengambil gambar Pura yang terletak di kaki gunung Salak tersebut.
Sebenarnya sudah lama saya berminat untuk mengunjungi lokasi yang menurut teman-teman saya ‘rasanya seperti di Bali’ tersebut. Akibat jenuh mengerjakan skripsi yang tidak beres-beres, akhirnya saya memutuskan untuk 'kabur' dari kewajiban sebagai mahasiswa selama sehari. Didorong rasa penasaran untuk mengunjungi lokasi yang katanya mirip Pura Besakih ini saya memutuskan untuk memuaskan rasa penasaran saya. Bermodal petunjuk arah dari teman-teman dan browsing internet kiri-kanan, akhirnya saya menemukan rute yang cukup mudah untuk menuju kesana.
Saya memilih menggunakan sepeda motor dengan pertimbangan hemat ongkos dan tidak khawatir kalau nyasar, disamping kondisi jalan yang rusak parah dapatdilalui dengan mudah dibandingkan dengan menggunakan mobil. Benar saja, seratus meter dari plang petunjuk arah masuk Pura, jalanan yang saya lalui semakin buruk. Jalanan yang terdiri dari susunan batu kali dan kerikil tersebut acapkali membuat ban belakang motor tergelincir dan nyaris oleng. Dalam hati saya bersyukur berkunjung kemari bukan pada saat musim hujan. Saya yakin saat musim hujan jalanan ini hanya bisa dilalui oleh motor trail atau kendaraan off road saja.
Sesampainya disana, saya langsung mengunjungi kantor pengurus Pura untuk meminta izin masuk dan mengambil foto. Disana saya disambut oleh Pedande atau pemuka agama hindu yang biasa dipanggil Pak Made. Saya datang tepat setelah beliau melaksanakan sembahyang di Pura klaningan atau Pura kecil di samping kantor.
Dari cerita Pak made saya mengetahui bahwa Pura ini dibangun pada tahun 1995 dan diresmikan pada tahun 2005. Dari Pak Made juga saya mengetahui legenda lokasi tersebut yang merupakan tempat petilasan terakhir kalinya Prabu Siliwangi, sang penguasa kerjaan Sunda Pajajaran, sebelum secara gaib menghilang di salah satu petilasan yang terdapat disana. Berdasarkan legenda tersebut, maka dibangunlah Pura khusus untuk menghormati Prabu Siliwangi di dalam Pura Induk yang dilengkapi dengan patung macan kumbang.
Penasaran dengan cerita tersebut, saya saya meminta izin untuk melihat kedalam Pura induk. Berhubung saya adalah seorang muslim, maka saya diminta untuk tidak menggangu kegiatan sembahyang dan wajib untuk mengenakan selendang kuning di pinggang sebelum memasuki Pura.
Pura induk terbagi menjadi dua bagian, yakni bagian luar yang berfungsi sebagai gerbang, dan bagian dalam yang berfungsi sebagai tempat sembahyang dan meditasi. Untuk mencapai bagian dalam, saya harus melewati gerbang dan melintasi taman yang terdapat didalam Pura Induk.
Harus saya akui, perkataan teman saya memang benar. Di dalam pura induk terdapat taman yang sangat terawat dengan beberapa gazebo dan pohon kamboja yang rindang. Pada ujung taman yang berlatarkan kaki Gunung salak, terdapat tiga pura dimana pura sebelah kiri terdapat patung macan kumbang sebagai lambang penghormatan terhadap Prabu Siliwangi.
Pengunjung yang datang kesini pada umumnya berasal dari Bali dengan tujuan untuk bersembahyang di Pura yang menurut mereka ‘Kembaran dari Pura di Gunung Agung’ dengan elemen udara.