Mohon tunggu...
KOMENTAR
Kebijakan Pilihan

Otonomi Daerah Ciptakan Aparatur Kampungan

23 September 2014   06:40 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:52 86 0
[caption id="" align="aligncenter" width="620" caption="Ilustrasi"][/caption] Semangat disentralisasi di Indonesia patut dihargai. Sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, banyak perubahan dalam bentuk pendelegasian wewenang. Kewenangan yang sebelumnya dilaksanakan pemerintah pusat, kini menjadi urusan daerah. Tentu semangat otonomi ini memiliki dampak secara struktural dan mindset birokrasi di daerah. Sudahkah aparatur pemerintah kita berbenah?

Birokrasi adalah mesin pembangunan. Tanpa mesin yang handal dan berkualitas, maka proses pembangunan tidak akan berjalan sebagaimana diharapkan. Layaknya sebuah mesin, birokrasi sepatutnya mengikuti perkembangan zaman, sehingga mampu beradaptasi dengan perubahan dan dinamika global.

Perubahan memang sebuah keniscayaan dalam setiap kehidupan berbangsa dan bernegara. Negara tetap menyesuaikan perubahan itu dengan merubah atau mengamandemen beberapa regulasi dan perundang-undangan sesuai dengan  konteks kekinian. Namun harapan kita perubahan regulasi tersebut hendaknya mampu diimbangi dengan kesiapan aparatur yang menjalan birokrasi.

Sementara itu, secara kualitas jumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS) kita terus bertambah, namun kualitasnya belum memuaskan. Bahkan akhir-akhir ini muncul peraturan daerah yang aneh-aneh. Ada salah satu kabupaten di Aceh mewajibkan calon peserta PNS harus putra daerah (ber KTP setempat). Lain lagi di salah satu kabupaten di Pulau Jawa yang mewajibkan PNS-nya menggunakan bahasa daerah pada hari-hari tertentu.

Lalu muncul pertanyaan di benak saya, apakah PNS itu tidak boleh berasal dari daerah lain di Indonesia? Apakah PNS di suatu daerah tidak boleh berbeda budaya dengan masyarakat setempat? Saya yakin, banyak masyarakat kita yang mulai bertanya-tanya soal keberadaan dari aturan-aturan lokal yang mengatur tentang PNS tersebut.

Padahal kalau bicara birokrasi, harusnya berfikirnya “Indonesia”. Meskipun dalam Undang-undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, juga termaktub BAB tentang kepegawaian dan tentunya mengacu pada peraturan perundang-undangan yang lain. Dampak dari kebijakan kampungan ini adalah budaya birokrasi yang saling tidak mengenal budaya dari daerah lain di Indonesia. Seolah pembangunan menjadi urusan sendiri-sendiri setiap kabupaten/kota dan provinsi.

Melalui momentum perubahan kepemimpinan nasional, hendaknya persoalan kepegawaian ini perlu menjadi prioritas. Ditambah lagi dengan peluang regulasi yang ada dengan diberlakukannya Undang-undang Aparatur Sipil Nasional (ASN). Kita tidak bisa berharap banyak bahwa undang-undang ini akan terimplementasi secara masif dalam waktu dekat. Masih diperlukan sosialisasi yang baik terhadap substansi dari Undang-undang ASN ini.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun