Pembantaian berdarah di Bima sehari setelah malam natal ( 24 Desember 2011 ) telah makan 2 nyawa warga sipil. Berbagai sumber menyatakan bahwa insiden bentrok berawal dari warga setempat memblokade pelabuhan kemudian terjadi bentrok. Peristiwa Bima bukanlah bentrok namun sudah menjadi suatu pembantaian yang keji. Foto yang diliris aktivis Partai Rakyat Demokratik Bima diatas satu fakta adannya pembantaian rakyat di pelabuhan Bima. Dari hasil pemeriksaan internal kepolisian sudah menetapkan tiga tersangka pelaku penembakan. Mudah-mudahan ketiga polisi yang nampak dalam gambar tersebut otak dibalik penembakan. Terlepas dari unsur sengaja atau memang merupakan perintah atasan yang harus dieksekusi, mari kita berkaca pada penegak hukum di republik ini menangani rakyat yang berdemonstrasi. Bahwa aspirasi di republik Indonesia sangat haram karena hendak diredam dengan moncong senjata. Dinamika represifitas aparat yang kian meningkat akhir tahun 2011 silam harus dibatasi agar praktik penegakan hukum kedepan lebih mengedepankan pemolisian masyarakat. Keberadaan aparat yang cenderung menggunakan senjata dalam penyelesaian masalah sangat bertentangan dengan semangat pemolisian polisi masyarakat sering dikenal Comunity Organising Policy (COmdev COP ). Mantan humas mabes Polri yang dulu dikepalai oleh Dr. Farouk harus dihadirkan untuk membuka pendidikan polisi sipil. Penulis sendiri merupakan satu dari sejumlah tim yang terlibat langsung dalam program tersebut seketika PUSHAM UII waktu itu direkturnya masih pak Busyro Mugodas yang kini pimpinan KPK. Hasil positif dari program ini dapat dilihat di Yogyakarta, dimana polisi di Yogyakarta jarang nembak. Begitu juga anda bisa melihat kinerja polisi yang menjaga Perusahaan British Petroleum di Bintuni Papua. Jarang ada kasus penembakan di areal perusahaan gas tersebut. Saya tulis BP dan polisi disana karena selama satu bulan penuh kami dari COP PUSHAM diterjunkan kesana dan mendidik polisi secara benar. Usul kepada institusi polisi harus kembali menghidupkan pendidikan polisi berwatak sipil yang sudah pernah dijalani mabes polri dengan Pusat Studi Hukum dan HAM ( PUSHAM UII ) Yogyakarta. Kegiatan pemolisian polisi lebih mengedepankan dialog dalam penyelesaian masalah daripada penggunaan senjata. Ini yang perlu diperhatikan polisi kedepannya. Terutama keberadaan aparat negara disejumlah perusahaan harus dibidik otak mereka agar tidak rakus pakai senjata hadapi rakyat. Bila saja komitmen polisi menerapkan pendidikan COP di seluruh Indonesia bisa diterima oleh pihak-pihak yang berwajib dan berjalan mulus, terutama perusahaan dan aparat pemegang kendali akan lebih baik dan kita akan menghindari kekerasan-kekerasan yang terjadi akhir tahun lalu seperti kasus Freeport, Mesuji, Bima dan tempat lainnya yang belum diketahui publik.
KEMBALI KE ARTIKEL