Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Wawancara Sindo Weekly Tentang Papua

25 Juli 2013   12:26 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:03 635 2
[caption id="attachment_265666" align="alignnone" width="707" caption="Sindo Weekly (FireShot)"][/caption]

Penemuan tambang raksasa baru di Pegunungan Bintang, Papua, bakal memengaruhi peta politik dan ekonomi di kawasan Pasifik. Sejumlah kekuatan besar ikut bermain. Sementara, upaya damai di lapangan yang sempat menunjukkan titik terang kembali tak jelas ujung pangkalnya.

Irman abdurrahman, Junaidi P. hasibuan, dan Fahmi W. Bahtiar

Tanah Papua belum habis. Padahal, gergasi pertambangan milik Amerika Serikat, Freeport Mc MoRan, sudah lebih dari lima dekade menyedot emas, tembaga, perak, dan mineral lain dari perut bumi di Pegunungan Tengah Papua. Pada 2009 perusahaan tambang pelat merah PT Antam menemukan potensi cadangan energi dan mineral sangat menjanjikan di Kabupaten Pegunungan Bintang, Papua, persisnya di perbatasan Indonesia—Papua Nugini.

Kabarnya, disana ada emas, tembaga, batu bara, dan juga thorium, unsur kimia radioaktif yang lebih aman ketimbang uranium. ”Survei geologis menunjukkan potensinya bagus dan menjanjikan,” kata Direktur Utama PT antam Tato Miraza yang saat itu menjabat Direktur Pengembangan. Tato belum bisa memastikan mineral apa saja dan berapa besar potensi yang di kandung wilayah seluas 200 ribu hektar yang pernah di survei itu. Sejauh ini, survei geologis baru menggambarkan potensi cadangan emas. Tapi, Direktur Jenderal Mineral dan Pertambangan Thamrin Sihite sudah berani mengatakan cadangan di Pegunungan Bintang bisa melampaui milik Freeport. ”Kalau cadangan Freeport 2,5 miliar ton, jumlah yang ada di perbatasan (Papua–Papua Nugini) bisa lebih dari itu,” kata Thamrin.

Penemuan ini segera menjadi incaran korporasi besar pecandu logam kerak bumi. PT antam sadar itu. Mereka pun bergerak cepat. Tato mengatakan pada 2010, PT antam sudah membicarakan eksplorasi kawasan Pegunungan Bintang dengan Bupati dan Gubernur Papua. Pada 2011, antam resmi mengajukan Izin Usaha Pertambangan. Izin keluar berupa 4 IUP untuk tiap tiap 50 ribu hektar. Juli 2011, antam mulai melakukan eksplorasi. Sekitar 62,6 miliar rupiah di gelontorkan untuk menyukseskan apa yang Tato sebut sebagai ”momentum emas” perusahaan tambang milik negara itu. Tapi, eksplorasi tak berlangsung lama. Instruksi presiden terkait moratorium pemberian izin baru di kawasan hutan alam primer menjadi kendala. ”Lahan ternyata masuk area hutan primer,” kata Tato.

Kalau cadangan Freeport 2,5 miliar ton, jumlah yang ada di perbatasan [papua–papua nugini] bisa lebih dari itu,” Kata thamrin sihite, direKtur jenderal mineral dan pertambangan. Thamrin Sihite

Moratorium berlaku hingga 2015. Jika moratorium tidak di perpanjang atau kawasan tersebut dikeluarkan dari area hutan primer, Tato bilang, antam siap tancap gas. Sumber daya manusia berpengalaman dan teknologi sudah di tangan. Kocek antam mungkin tidak cukup. Tapi itu bukan soal. ada beberapa perusahaan tambang asing yang telah mengajukan proposal kerja sama. Mereka datang dari Cina, Korea Selatan, dan Australia. ”Tapi antam tetap di depan sebagai owner. Itu tak bisa di ganggu gugat,” tegasnya yang menyebut eksploitasi kawasan tersebut sudah bisa di mulai tak lebih dari tujuh tahun jika izin eksplorasi kelar.

***

Penemuan potensi cadangan gigantik di Pegunungan Bintang sangat mungkin memengaruhi pertarungan politik dan ekonomi di Pasifik, terutama terkait nasib politik Papua. Munculnya grup kerjasama ekonomi bangsa Melanesia, Melanesian Spearhead Group (MSG), menunjukkan semakin besarnya pengaruh Cina di kawasan. Beijing habis habisan mendukung Grup yang menghimpun Fiji, Papua Nugini, Kepulauan Solomon, Vanuatu, dan Kaledonia Baru itu. Bahkan, bangunan kantor sekretariat MSG di Port Vila, Vanuatu, di bangun atas sokongan penuh negeri Tirai Bambu.

Geliat otot diplomasi Beijing melalui MSG tentu akan mengusik Amerika Serikat dan Australia, yang masing masing merasa menjadi ”penguasa” defacto Papua bagian barat dan timur. Investasi dagang Washington dan Canberra bisa rontok gara gara ekspansi Beijing. Di sinilah sebenarnya pertarungan politik yang melibatkan status Papua di mulai.

West Papua National Coalition for Liberation (WPNCL), organisasi payung bagi kelompok pro kemerdekaan Papua, tampaknya melihat peluang untuk meningkat daya tawar lewat forum MSG. Mereka mengajukan diri menjadi anggota MSG sebagai wakil rakyat Papua. Dalam forum MSG, mereka banyak berbicara tentang isu hak asasi manusia dan perjuangan menentukan nasib sendiri di Papua. ”Sambutan forum cukup emosional,” kata Arkilaus Arnesius Baho—penghubung Tentara Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka dengan Pemerintah Indonesia—yang menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi ke-19 MSG di Noumea, Kaledonia Baru, pertengahan Juni lalu.

Menariknya, WPNCL bukan satu satunya wakil non negara dalam MSG. Dalam KTT tersebut, mereka mengadopsi keanggotaan Kanak Socialist Liberation (KSL), organisasi yang menuntut kemerdekaan Kaledonia Baru dari Perancis. Hingga kini, negeri kepulauan di barat daya Samudera Pasifik tersebut masih berstatus teritori seberang lautan Perancis. Bahkan, MSG memutuskan KSL berhak mengadakan kerja sama dagang dengan negara lain, mengangkangi wewenang pemerintahan Kaledonia Baru yang menginduk ke Paris. Bagi Arkilaus, pengukuhan KSL oleh MSG bisa menjadi preseden bagi pengakuan WPNCL sebagai wakil rakyat Papua. ”Hanya negara kawasan Pasifik itu cukup riskan bila menentukan status penentuan nasib sendiri (di Papua).”

Jakarta tidak tinggal diam. Diplomasi Pasifik pun aktif dilakukan. Indonesia mengirim tim delegasi khusus ke forum MSG. Semua anggota tim adalah orang Papua. Menteri Lingkungan hidup Baltazar Kambuaya mengetuai tim ini dengan anggota Abraham Atuturi, Lukas Enembe, Fredy Numberi, Velix Wanggai, Frans Alberth Yoku, dan Nick Messet. Tim coba meyakinkan MSG untuk tidak mengakui WPNCL. Secara resmi, tim juga mengundang anggota MSG untuk mengunjungi Papua November mendatang. Tak hanya itu, Duta Besar Australia dan Selandia Baru juga mengemban tugas melobi Negara negara anggota MSG. ”Upaya (lobi) ke negara-negara MSG selalu ada. Kami tidak lepas tangan,” kata Menteri Koordinator bidang Politik, hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto beberapa waktu lalu. Arkilaus mengakui WPNCL berhadapan dengan Pemerintah Indonesia dalam forum resmi MSG. Tapi dia melihat Jakarta lebih sebagai kaki tangan Washington untuk menggunting tangan Beijing di dalam forum MSG.

Ambisi Amerika mempertahankan Papua sebagai ladang uang dari aksi serobot Cina bertemu dengan kepentingan Indonesia menjaga keutuhan wilayah. ”Pemerintah neoliberal Indonesia ditekan Amerika untuk mengawasi Papua.”

Ada yang Tidak Senang

Pertarungan politik di kawasan bisa jadi sama rumitnya dengan upaya Jakarta merenda damai di Bumi Cendrawasih. Bekas Komisioner Komnas HAM, Ridha Saleh bercerita bagaimana dia bersama Farid Husain—Utusan Khusus Presiden untuk Papua—menerobos lebat hutan Papua untuk menemui Panglima TPN OPM Richard H. Joweni pada pertengahan Juli 2011. Menaiki speedboat membelah laut, Ridha dan Farid harus menjalani pemeriksaan tentara OPM di pos pertama. Lepas dari pos pertama, mereka kembali di periksa di pos kedua sebelum kemudian melintasi sungai dan memasuki pedalaman. Sekitar 30 menit perjalanan, keduanya tiba di sebuah lokasi yang telah dipersiapkan untuk pertemuan. ”Saya tidak tahu persis lokasinya. Yang pasti itu bukan markas mereka tapi tempat yang di sediakan untuk menerima kami,” kata Ridha.

Richard menyambut langsung dua utusan dari Jakarta tersebut. Setelah negosiasi panjang, kedua pihak menyepakati empat poin: penarikan pasukan TNI-Polri dari Papua; pembebasan tahanan politik di Papua; pembebasan tanpa syarat para buron OPM; dan perundingan dilakukan dengan jaminan si tuasi damai.

Ketika itu, Richard menulis surat untuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Nadanya positif. OPM menyambut iktikad baik Jakarta untuk memulai pembicaraan damai. Sayangnya, menurut Ridha, pemerintah tak merespons hasil pertemuan. Padahal, Farid sebagai Utusan Khusus Presiden, sudah bolak balik mengirim laporan kepada Presiden. Buntutnya, pihak OPM kecewa. ”Saya banyak menerima pesan. Orang-orang di sana kecewa sebab tidak ada eksekusi. Tapi, mau bagaimana lagi?” Arkilaus yang menjembatani pertemuan tersebut mengakui ada pihak tertentu yang menghambat proses perdamaian di Papua. ”Ada yang tidak senang dengan penyelesaian masalah Papua. Mereka ada di tubuh Pemerintah Indonesia dan oknum di Papua sendiri.”

Kondisi di lapangan semakin ruwet dengan aksi kelompok bersenjata pimpinan Goliat Tabuni akhir-akhir ini. Goliat, yang mengklaim sebagai panglima TPN OPM, mendeklarasikan perang terhadap TNI. Aksi kelompok ini di Puncak Jaya telah menewaskan Sembilan prajurit TNI, sebagian di antara mereka adalah perwira pasukan elite. Arkilaus mengatakan pasukan Goliat sebagai kelompok ilegal. Sebab, Goliat tak pernah mendapatkan mandat dari pimpinan tertinggi OPM. Goliat awalnya komandan operasi di Komando Daerah Pertahanan III Timika di bawah pimpinan Kelly Kwalik. Sebuah perselisihan sepele berlatar ego pribadi membuat Goliat bergerak ke Puncak Jaya dan mengklaim diri sebagai panglima TPN OPM. ”Gerakan (Goliat) di Puncak Jaya mengeksekusi agenda pihak pihak yang tidak jelas.”

Kini, menurut Arkilaus, ada delapan Komando Daerah Pertahanan (Kodap) TPN OPM. Setiap Kodap memiliki personel aktif kurang dari 1.000 orang. Namun, parahnya, sempalan OPM tumbuh subur dan lebih banyak dari mereka. Mereka OPM palsu yang sengaja di bentuk pihak pihak tertentu. ”Mereka OPM sempalan partai politik, OPM sempalan perusahaan asing, dan OPM sempalan negara luar.”

Sumber:

HLM 18-21 SINDO WEEKLY 20-II

Selamat! Papua di Terima Sebagai Anggota MSG

Status Papua dalam RI Paska MSG

KTT MSG Bagi Papua Barat

Zona Dagang Pasifik Peluang Bagi Papua Merdeka?

Misteri Dialog Papua

Liputan Khusus: Perdamaian Merupakan Syarat Utama Perundingan RI-TPN/OPM

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun