Pembagian uang ke daerah sudah diatur dalam UU perimbangan keuangan. Seluruh kantor negara di Indonesia wajib kelola dana sesui petunjuk itu. Ketika membatasi hak konstitusional daerah, presiden bisa dipidanakan. Bicara soal sentralisme sudah kuno. Otsus adalah jembatas meniadakan aturan terpusat. Giliran pejabat daerah yang loyal kepada rakyatnya di daerah, membela hak-hak dasar setempat, dicap tak nasionalis, primordialisme.
Mereka yang sampai sekarang masih bicara soal sentralitas pusat dan daerah, masih kaku dalam memahami perkembangan aturan hukum di Indonesia. Bahwa otsus didalam bingkai NKRI terbatas pada kewenangan tertentu. Perhubungan, Keamanan/hukum, fiskal dan moneter, luar negeri. Merupakan wewenang pusat. Daerah bekerja diluar kewenangan itu.
Sampai pada diskursus politik anggaran, sejatinya UU perimbangan keuangan sudah mengaturnya. Papua misalnya, sistem kucuran dana dari pusat dikasi per triwulan. Bahkan ada klausul bahwa dana dikasi setelah ada laporan penggunaan dana periode sebelumnya. Akibatnya, ketika masuk program kerja triwulan berikutnya, abdi negara di Papua jalan ditempat karena dana belum ada. Jadi, mau pangkas uang daerah atau tidak, sama saja.
Seorang capres saja sudah keliru soal pembagian dana antara pusat dan daerah, apalagi rakyat jelata. Capres baru bangun tidur jadi tratau masalah hubungan pusat-daerah, sehingga jalan gertak menggertak dipakai untuk atasi kordinasi kerja.
Politik Loyalitas
Selama ini rakyat didaerah minta Jakarta ikuti maunya daerah. Sebab bertahun-tahun pola pembangunan cenderung copas dari jakarta. Efek buruk dari loyalitas akibat sentralitas sudah dikubur melalui UU otonomi daerah, yang dikususkan lagi via otsus Papua dan Aceh. Sementara DKI Jakarta dan DIY daerah khusus yang diatur karena kepentingan tertentu. DKI karena disini pusat ibu kota negara. DIY khusus karena ada pengaruh kesultanan yang berkuasa. Terlepas dari UU keistimewaan dua daerah ini.
Politik loyalitas berikutnya, bahwa hak daerah dikurangi bila daerah tidak satu komando dengan pusat. Kalau Gubernur Papua minta kantor freeport pindah ke Papua, otomatis dianggap melawan Jakarta. Atau freeport tetap makan untung trapapa sebab pemerintah pusat fokus kancing dana APBN ke daerah. Pemerintah tra akan sibuk menekan freeport dengan kewenangan UUD yang mengatur hak ekonomi negara dari imperialisme hari ini.
Suharto dulu menekan daerah diluar Jawa dan mengutamakan pembangunan di jawa saja. Konsep itu gagal total. Timor Lorosae sudah jadi negara sendiri bukan provinsi di Indonesia. Bupati-bupati di Papua diapit masyarakat setempat untuk membawa misi daerahnya dalam membangun, bukan lagi misi pemerintah pusat di Jakarta.
Konsep Papua Pindah Indonesia (PAPINDO), kesan suatu pemaksaan. Sekarang dipaksa lagi melalui politik anggaran. Jangankan politik anggaran, urusan kecil-kecil saja harus ke jakarta. Ratusan warga naik pesawat/kapal laut datang ke jakarta bila ada pertemuan di DPR atau sidang di MK. Mobilisasi semacam ini pakai uang sendiri, trada biaya negara.
Memandang Indonesia bukan melihat rute Jakarta-Jogja yang memang satu daratan. Negara kepulauan punya isi masing-masing. Jarak tempuh yang jauh. Bicara loyalitas dalam politik anggaran, tak ada pengaruh dengan disintegrasi Papua. Kecuali daerah lainnya. Namun, kadang perjuangan orang Papua menuntut merdeka langsung dicap oh itu mereka minta uang APBN tambah ke Papua. Salah besar pandangan itu. Karena anggapan seperti itu, maka tak salah orang beranggapan bahwa menuntut merdeka karena dana otsus belum turun, keliru sekali. Hak kemerdekaan rakyat Papua jangan disandera kedalam politik anggaran RI-Papua, karena konteksnya jauh beda.