[caption id="attachment_124013" align="alignleft" width="215" caption="Jurang Grawah (gambar kependet saking
http://www.hadisukirno.com/produk)"][/caption] Terik siang yang panas membakar dedaunan menjadi kuning keemasan. Pohon-pohon terlihat semakin mengeriput karena persediaan air mereka semakin menipis. Sempat terpikir oleh pohon-pohon itu untuk menjadi kaktus saja. Biar berduri dan tidak disukai orang, tapi mampu bertahan di panasnya sengatan mentari. Siang itu, di gunung Argayaksa, tepatnya di hutan Wanadiyu, sayup-sayup terdengar gelak tawa pesta 2 raksasa yang sedang menikmati daging para brahmana di bekas sebuah pertapaan. "Wuahahaha, Kangmas! Ceritamu itu sungguh lucu sekali. Benar-benar membuatku perutku mulas, Kangmas. Tapi apa benar semua yang kau katakan itu? Dan bukan hanya kebohongan saja?" seru Jurang Grawah penasaran. "Weladalah, Adiku Yayi Jurang Grawah, apa-apa yang Kangmasmu ini katakan itu benar adanya. Dan tidak ada satupun tipuan yang aku gunakan. Jadi percayalah." jawab Denawa Cakil dengan tenang. Buta yang termasuk tokoh raksasa
bala dan berkarakter galak ini memang sangat sulit percaya. Dengan posisi muka nya yang
langak dengan mata dua berbentuk
plelengan, berhidung wungkal gerang, Jurang Grawah berjalan mendekati Denawa Cakil yang sedang asyik mengunyah daging seorang brahmana yang malang. Dengan mulut
ngablak-nya dan gigi taring yang runcing sambil mengusap darah merah yang mengotori mulutnya, dia duduk di depan Denawa Cakil. Seakan dengan jarak yang lebih dekat maka dia mampu merasakan apakah perkataan Cakil tersebut benar adanya. Bukan hanya alasan 2 buta ini menjadi pekerja
freelance dari Bathara Yamadipati. Bagi setiap mahluk yang tinggal di hutan Wanadiyu, perawakannya yang kasar dan
tanpo tedheng aling-aling, benar-benar menjadi momok di seantero gunung Argayaksa. "Jadi menurut Kangmas, posisi kita sebagai Buta, Raksasa, Ashura, mahluk tak berakal yang hanya menomor-satukan nafsu ini, akan tersaingi? Jangan salah Kangmas, apakah itu tidak terlalu berlebihan?" tanya Jurang Grawah sambil menggerak-gerakan rambut geninya yang panjang terurai. "Iyo Yayi Jurang Grawah. Ingatkah kamu, dengan para satria yang dengan kesombongan mereka tanpa melihat situasi dan kondisi diri menyerbu ke wilayah kita, hanya untuk mendapatkan kepala kita? Mereka yang dengan sukarela-nya menyerahkan kemudaan mereka, keperkasaan mereka, kebeliaan mereka, masa depan mereka hanya untuk apa kau tahu? Sebuah pengakuan! HUAHAHAHHAHA!" Jurang Grawah yang berwatak
brangasan dan jarang menggunakan otaknya benar-benar bingung. Dia tidak terbiasa dengan pembicaraan-pembicaraan tingkat tinggi seperti yang dipagelarkan oleh Kangmasnya ini. Sambil menjejagkan kakinya ke dalam tanah sampai tajinya pun ikut terkubur, dia berteriak, "HAAAHHHH, Kangmas! Apa maksudmu dengan manusia, satria, sukarela, keremajaan, pengakuan? Apa hubungan itu semua? Kangmas tahu betapa aku, Si Rambut Geni Jurang Grawah
sik abang rupane, tidak pernah mengetahui ha-hal lain sekain makan, minum lalu tidur, tapi Kangmas berbicara seolah akalku ini setingkat para brahmana yang menjadi makanan kita? Sambil menghela nafas berat dan tersenyum Denawa Cakil segera menenangkan Si Jurang Grawah. "
Wes-wes, uwes Jurang Grawah, janganlah
murko ,
sik sareh yoo, sik sareh. Akan aku jelaskan, maka dari itu dengarkan yo Yayi Jurang Grawah.
Rungokno nganggo kupingmu."
KEMBALI KE ARTIKEL