10 Januari 2012 01:13Diperbarui: 25 Juni 2015 21:0630011
."Saya bosan di sini. Miskin sengara miskin. Saya ikhlas pindah jadi warga negara Malaysia. Di sana, kita bisa sejahtera" sungut Rakyat Perbatasan rada-rada jutek."Memang bisa?" tanya Rakyat Metropolitan kalem. Saya terkekeh mendengarnya. Foto SBY pun tersenyum di balik pigura berukir batik hutan jati yang diaping sayap burung Garuda. Di sisi kirinya; poster statistik yang merefleksi kondisi bangsa penuh rumus-rumus dan nomor buntut menggantung dilanskapi cahaya langit Indonesia yang pucat. Rakyat Perbatasan makin senewen."Kenapa kamu cengengesan?" bentaknya kemudian. Saya sontak diam. Namun entah; SBY masih tetap saja tersenyum, seakan tak tahu menahu pesimisme hidup yang tengah menggumuli rakyatnya. Atau mungkin punggung gagah garuda yang ramai-ramai ditunggangi elite politik dan birokrat memelukinya terlalu erat. Dan SBY pun pengap. Jangankan mendengar, bernafas pun rasanya susah."Katanya negara ini adalah milik rakyat dan didirikan dengan tujuan bukan sebagai tempat berkumpulnya para bangsat yang doyan maksiat. Tapi kenapa kita gak merasa dimilikinya. Kita cuma kena dibangsatinnya saja" keluhnya. "Kamu ngerti itu Jaka?" Saya manggut-manggut. Menjilat lolipop rasa tugu Monas sambil mencoret-coret draft cerpen yang tak kunjung selesai, judulnya : Katakan Pada Aril; Luna Tak Mau Jadi TKW. Rakyat perbatasan jelas sangat menderita. Di tengah-tengah gempuran dunia barat dengan rudal-rudal globalisasi yang melukis agresi terselubungnya, mereka mengukir sisa air mata. Kesejahteraan yang gelisah dan pembangunan yang kocar-kacir; membuat mereka bak potret anak haram Indonesia yang muram. Wajar saja bila rakyat perbatasan punya keinginan untuk lepas dari kedaulatan teritorial negara. Toh Indonesia sendiri cuma ngintip dengan sebelah matanya yang belekan. Sebuah isyarat ketidakperkasaan stabilitas negeri. Yang akan membuka negara lain untuk melakukan ekspansi wilayah melalui pendekatannya yang halus secara emosional, solidaritas, kekeluargaan, kultural, ekonomi dan sosial budaya hingga akhirnya dia mencaplok habis. Karl Houshofer (1896) dalam presfektif geografi politikalnya mengatakan : "Bahwa hubungan antara geografi dan politik melahirkan teori lebensraum (living space) atau ruang hidup". Perluasan wilayah akan sangat mudah berlaku di sini. Dan ini bukan sekedar dealektis belaka."Bagaimana bisa mikirin rakyat. Wakil-wakil yang katanya terhormat bercerutu dan berdasi kupu-kupu : Sibuk mikirin tempat berak, mikirin mobil dinas yang baru, mikirin istri muda" ujar Rakyat Perbatasan. Mereka pun makin hilang kepercayaan."Oh yaaa?" jawab Rakyat Metropolitan cuek. Apakah kini ; jati diri, kesucian hati, amanat adiluhung yang seharusnya dipatok dalam-dalam bersama 'jiwa raga kami padamu negeri' untuk tujuan melindungi-mengayomi semerta hilang. Hanya menjadi simbol identitas yang menguap bersama jargon-jargon politik untuk arogansi kekuasaan dan tarung antar kepentingan. Membuat Indonesia bermetamofosa terbalik, dari kupu-kupu menjadi ulat bulu."Falsafah kehidupan berbangsa hanya sebuah retorika atas sistem kapitalistik dan hedonisme yang terkitab suci. Tak ada lagi penguasa yang bisa jadi panutan. Manusia kehilangan arah. Manusia tak lagi mengenal Tuhan" Rakyat Perbatasan makin putus asa. Matanya menatap jauh ke tahun 2012."Manusia sudah lupa jika dirinya adalah Serpihan Alam Ketunggalan Akal. Lupa jika dirinya adalah Bayangan Suci Kedirian Tuhan" lanjutnya. Rakyat perbatasan khususnya di Provinsi Kalimantan Barat; memang tak salah-salah amat. Kondisi hidup yang sangat minim kere gempledan deret derita di sana-sini akan membuatnya lebih memilih negara tetangga dibanding Indonesia yang cuek bebek. Asesoris nasionalisme akan putus bila negara sebagai pemegang amanat bangsa cuma bisa ongkang-ongkang kaki dan usap-usap isi perut saja. Kalimantan barat yang memiliki luas wilayah sebesar 146. 807 km persegi mempunyai daerah yang berbatasan langsung dengan negara tetangga; Malaysia. Kabupaten Sambas, Kabupaten Kapuas Hulu, Kabupaten Sanggau dan Sintang adalah daerah yang paling dekat dengan Malaysia dengan presentasi yang memprihatinkan. Garis-garis miskin yang tertoreh bertebaran baunya busuk. Kesenjangan ekstrem, keterbelakangan, kemiskinan massal menyelimuti mereka bak burung nazar yang hinggap di atas mayat-mayat peradaban yang membuluk. Bukan tak mungkin; dengan segala akal bulusnya, Malaysia akan melakukan pendekatan yang lebih mesra lagi. Ditenggarai; telah ada pergeseran patok batas wilayah di sana. Bukit-bukit hijau yang dipenuhi pohon-pohon berkayu besar sudah masuk wilayah Malaysia. Dan pencamplokan Camar Bulan dan Tanjung Datu adalah salah satu citra nyatanya."Kelihatannya rakyat perbatasan lebih sejahtera oleh Malaysia ketimbang Indonesia" ungkap burung condor yang tak sengaja melintasi belantara di sana. Burung Garuda cuma bisa geleng-geleng ekornya sambil menatap foto SBY yang juga masih dengan senyum simpulnya. Jika dilihat dari sana; apakah benar adanya jika mereka Rakyat Perbatasan mengatakan : "Kami sangat membenci pemerintah pusat akibat pencamplokan kedua daerah tersebut". Yang ada, malah mereka rebutan mengikutinya. Itulah. Daerah perbatasan merupakan aspek yang terpenting bagi tiap negara. Perbatasan antar negara adalah masalah multidimensional dengan struktur yang rumit. Meski demikian, pemerintah pusat seyogianya mesti bertindak cepat menutup pusaran masalah di daerah perbatasan. Kedaulatan negara di perbatasan, adalah bagian paling integral yang harus ditegakan untuk menghindari tindakan terburuk dari negara lain. Pemerataan pembangunan, peningkatan kesejahteraan, pengikisan kesenjangan harus segera dilayarkan secara bersamaan untuk terciptanya kestabilan stabilitas negara dan terwujudnya rasa nasionalisme serta kepercayaan yang kokoh tersimpan di ruang kalbu terdalam Rakyat Perbatasan."Kemiskinan, ketidakberdayaan, pengharapan dan impian bergerak dalam belantara oyodmingmang" tulis Tandi Skober, Penasihat Indonesia Police Watch."Mengapa kita membangun kota metropolitan/dan alpa terhadap peradaban di desa/Kenapa pembangunan menjurus kepada penumpukan/dan tidak kepada pengedaran/Kota metropolitan di sini tidak tumbuh dari industri/Tapi tumbuh dari kebutuhan negara industri asing akan pasaran dan sumber pengadaan bahan alam/Kota metropolitan di sini, adalah sarana penumpukan bagi Eropa, Jepang, Cina, Amerika, Australia, dan negara industri lainnya" ucap Rakyat Perbatasan membaitkanSajak Sebotol Birdari Rendra. Indonesia adalah mempesona; dulu. Dengan wajah indah dibalut burdah Jibril yang mewangi kembang cempaka sakembaran; senyumnya melintang di jauhar tertinggi dan tersungging bak zamrud surgawi. Dan burung-burung daruljalal terbang melengkung mengkhatulistiwa di singgasana cakrawala petala asmarandana. Namun ternyata Indonesia terlalu murahan. Mudah terbujuk rayu dengan kata-kata gombal. Indonesia gampang jatuh cinta dan telungkup lingkar asmara cuma karena diiming-imingi sembako gratis dan setumpuk utang milyaran dolar.Gondewa cengkar pun makin terpanah di pusar cemani bumi. Godam rahwana makin bercumbu di bawah sekam bara di antara jerit angkara. Mereka bersama bergumul di bawah tudung bomantara begawan dorna dan cangkang binjani dewata bergama. Hingga gemersik hanya bergelambir di bawah daluang tua, di balik angsoka dan gaharu yang retak, jatuh terbakar di buhul-buhul galuh candradimuka. Dan akhirnya, Indonesia terkapar di kidung senja yang merayap di gugus berkabut jangkir neraka. Dalam cengkraman kemban ijazil di kalang kerangka hijab nirwana."Indonesia. Maka di sinilah aku berdiri sekarang, menatap cakrawala dan menitipkan sebuah doa penuh harapan, untuk hari esok, untuk hari depan" pungkas Rakyat Perbatasan dalam pesakitannya yang miskin.
Jixie mencari berita yang dekat dengan preferensi dan pilihan Anda. Kumpulan berita tersebut disajikan sebagai berita pilihan yang lebih sesuai dengan minat Anda.