Setelah beberapa bulan lalu publik dihebohkan dengan putusan hakim Mahkamah Konstitusi (MK) tentang persyaratan seseorang menjadi calon presiden dan wakil presiden kemudian berlanjut dengan keputusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang menetapkan adanya pelanggaran etik ketua MK terkait putusan tentang persyaratan seseorang menjadi calon presiden dan wakil presiden.
Perbincangan dan perdebatan silih berganti mewarnai berbagai karut marut hukum di negara ini. Ketika hal tersebut berangsur-angsur mulai mereda, Wakil Menteri Hukum dan Ham kemudian juga ditetapkan menjadi tersangka oleh KPK terkait kasus gratifikasi.
Lembaga-lembaga yang diharapkan oleh publik sangat independent serta memiliki integritas yang tinggi sebagai penjaga hukum nyatanya rontok juga oleh berbagai kepentingan dan godaan. Memang benar bahwa tidak ada orang yang benar-benar sempurnya, tidak ada orang yang tidak pernah luput dari kesalahan namun publik sudah terlanjur menempatkan harapan besar kepada para panglima-panglima hukum ini untuk menjadi tulang punggung penegakan hukum baik di bidang konstitusi, pencegahan korupsi maupun tata Kelola pemerintahan.
Kondisi yang publik lihat saat ini boleh dikatakan sebagai bagian dari paradok hukum negara ini. Paradok sendiri merupakan istilah manajemen yang berkembang sejak lebih dari dua dekade lalu.
Paradok digunakan untuk menggambarkan kekuatan yang berlawanan dalam lingkungan organisasi yang kompleks (Handy, 1994). Â Paradok secara lebih konkrit digunakan untuk menggambarkan fakta kehidupan berupa kontradiksi yang berasal dari perubahan-perubahan organisasi akibat tuntutan globalisasi maupun situasi yang kian berubah dengan cepat.
Dengan meminjam istilah paradox ini, masyarakat dapat mencermati bagaimana penegakan hukum tampak mengalami berbagai persoalan terutama apabila dihadapkan pada hal-hal yang terkait dengan persoalan-persoalan individual yang menyangkut pelaku penegakan hukum itu sendiri.
Di satu sisi ada keinginan kuat dari masyarakat menjadikan hukum sebagai landasan bagi semua kehidupan berbangsa dan bernegara, hukum digunakan sebagai alat pemberantasan korupsi, pencegahan korupsi, memberikan rasa keadilan bagi seluruh stakeholder, maupun menjadi penjaga konstitusi. Namun faktanya, para penegak hukum ini justru menjadi orang yang terjerat kasus hukum maupun kasus etik yang seharusnya tidak boleh terjadi pada mereka.
Para penegak hukum seringkali dihadapkan pada kepentingan-kepentingan individual yang mana kepentingan individual ini menyandera independensi dan integritas mereka. Seharusnya penegakan hukum tidak dibarengi dengan kepentingan-kepentingan individual semata tetapi lebih melihat pada kepentingan-kepentingan yang lebih besar yaitu kepentingan berbangsa dan bernegara.
Fakta yang saat ini ada tentu menggelitik logika waras kita sebagai masyarakat biasa untuk keluar dari problematika ini namun tentu perubahan butuh tidak hanya dialektika logis namun kekuatan penguasa.
Fakta-fakta ini tentu pada akhirnya akan  menggerakan pikiran kita untuk menemukan inovasi dan kebaruan-kebaruan yang sejati. Sebagaimana pemikiran hegel tentang dialektikanya, bahwa kehidupan dan pikiran akan terus menerus mengalami perubahan dan kontradiktif yang terjadi merupkan gerak langkah yang positif untuk hal-hal baru.
Masih ada harapan
KPK dan MK sejatinya merupakan hasil dari kontradiksi fakta-fakta penegakan hukum saat orde baru yang kemudian melahirkan reformasi pada segala bidang termasuk aspek hukum. Reformasi bidang hukum inilah yang kemudian melahirkan KPK dan MK.
Oleh karena itu, optimism harus terus dibangun dan diyakini bahwa segala kontradiksi dan paradok ini adalah langkah awal bagi kehidupan baru yang lebih baik dari penegakan hukum Indonesia. Meminjam dialektika kritis Hegelian, sudah sepatutnya kita menaruh harapan tinggi pada penegakan hukum kedepan.
Hegel sebagai salah satu filsuf kritis jerman meyakini kontradiksi-kontradiksi yang terjadi akan mendorong logika kritis kita untuk bersama-sama melahirkan produk baru sebagai sintesis dari tesis dan antithesis ini.
Harapan berikutnya perlu kita bangun kembali dengan optimism dari calon-calon pemimpin baru yang beberapa bulan ini akan lebih sering hadir di mata publik untuk menyampaikan pemikiran-pemikiran kritisnya untuk memecahkan berbagai persolan bangsa.
Seyogyanya para calon-calon ini mampu mengkolaborasikan visi yang dibangun dari paradok eksplorasi maupun eksploitasi. Meminjam ide dari March, 1991 eksplorasi mengarah pada adanya terobosan-terobosan baru yang bersifat inovatif sedangkan eksploitasi berarti memfokuskan pada hal-hal yang sudah baik untuk menghasilkan hasil yang lebih baik lagi.
Apabila dikontekstualisasi pada problematika hukum saat ini. Eksprolasi penting sekiranya mampu melahirkan terobosan hukum positif yang mampu menjawab berbagai tantangan-tantangan saat ini. Sedankan eksploitasi hukum lebih menitik beratkan pada bagaimana Lembaga-lembaga hukum ini dioptimalkan fungsi dan perannya untuk menciptakan kepastikan dan kepercayaan hukum dari masyarakat. semoga saja kolaborasi logika waras dan terobosan hukum