Kemarin saya sempat berkontemplasi, berpikir sejenak.. betapa sungguh nikmat Allah sangatlah banyak... dan semua adalah hasil dari usaha dan doa! Keajaiban yang berpadu menjadi takdir!
Teman, percayakah pada keajaiban mimpi, doa dan usaha?
Kalau saya memang percaya, tapi baru kemarin setelah merenung kembali semakin mengakar rasa percaya itu..
Teman, memang seiring saya tumbuh dan berkembang saya selalu memiliki mimpi-mimpi kecil bahkanyang besar sekalipun yang saking tidak bisa membedakan antara imaji dan ekspektasi membuat saya malu untuk mengungkapkannya pada orang lain. Saya kira begitu juga dengan teman-teman... Sekian dari sekian banyak mimpi adalah bertemu dengan orang-orang hebat di mata saya. Melaui membaca dan melihat saya berkenalan dengan banyak tokoh yang menginspirasi saya. Memang berawal dari tuturan kata bernama doa yang sesekali, dua kali bahkan setiap hari menyebutkan nama-nama orang tersebut dengan pengharapan kelak dipertemukan.Dan Maha Benar Allah dalam segala firmanNya, Dia menjawab doa hamba-hambaNya..
Saya kenal nama Tere Liye adalah semenjak kelas 1 Mts, yakni ketika saya membeli novel Hafalan Solat Delisa, yang kemudian hingga seterusnya saya tidak absen membaca novel-novelnya meski hasil dari pinjam anak asrama yangkebetulan sudah punya duluan. Dan... berawal dari dunia mayalah saya berselancar kemana-mana. Bahkan hanya sekadar berbincang melalui chat, jika dia adalah ‘tokoh idola’ rasanya sudah seperti segalanya.. bahagia tidak ketulungan! Apalagi dengan keterbatasan yang ada dan perjuangan yang tiada hentinya. Berkorban waktu demi antre warnet, tenaga hingga uang.. sampai di tahun 2011 saya berkesempatan bertemu dengan beliau. Dan lagi-lagi ini bukan tanpa usaha. Karena waktu itu mata saya sedang merah entah lagi beleken entah gimana saya bela-belain pergi ke Malioboro sendirian pertama kali dalam seumur-umur hidup saya demi membeli kacamata agar esoknya saya bisa menghadiri workshop Kak Tere Liye. Bahagia selanjutnya adalah bisa melihat secara nyata sosok di balik layar kaca, yakni kak Bondan Prakoso. Lagi-lagi bukan tanpa perjuangan. Saya bela-belain kabur dari asrama demi melihat konser kak Bondan—waktu itu saya masih asrama di salah satu boarding school di Jogja—waktu itu juga saya menjadi anggota (pasif) rezpector, sebutan fans Bondan n Fade 2 Black (maaf, yang ini jangan ditiru :D). Doa terjawab selanjutnya adalah ketika saya juga berkesempatan bertemu dengan Ahmad Fuadi dan Taufik Ismail meskipun semuanya hanya melalui beberapa event seminar. Setidaknya mendengar mereka membagi ilmu rasanya sudah cukup senang sekali.
Tidak cukup sampai di sini. Suatu ketika saat mau jalan-jalan di Ahad pagi rombongan dengan teman asrama, niatnya mau ke Sunday-Morning UGM. Seperti biasa kami naik busway yang kebetulan haltenya tidak jauh dari kawasan sekolah kami, yakni di daerah Punokawan, Yogyakarta. Saat hendak membayar karcis mata saya menangkap sosok kecil berambut kriwil yang tengah duduk di dalam halte dengan koran di tangan dan headset di telinganya. Saya sejenak berpikir, sambil masuk halte bergantian dengan teman-teman. Seketika saya ingat, bahwa itu adalah orang hebat. Menyadari orang yang tengah duduk tersebut bukan orang sembarangan, lantas saya mencolek teman saya dan menceritakan sekilas siapa orang itu dengan heboh. Teman saya mengangguk-angguk kagum. Tiba-tiba dia berseloroh, “ayo foto, mumpung ada kesempatan. Kamu kan ngefans sama Masnya..”
“Hah?” saya hanya bisa melongo. Semakin merasa bodoh saat teman saya mendorong saya berdiri di dekat tempat duduk masnya.
“Mas boleh minta foto bareng?” teman saya dengan pede dan inosennya mendekati masnya dengan kamera di tangan. Masnya lumayan bingung, saya mencoba menerka-nerka apa yang dipikirkan masnya saat itu. Ini ada apa baru jam 6 pagi ada rombongan cewek minta foto. Di halte pula. Sungguh rasanya saya malu, tapi jujur mau juga. Masnya meletakkan korannya dan pasang wajah datar (maklum masnya keliatan banget wajah bangun tidur karena matanya juga merah). Saya kikuk berdiri di sampingnya.
“Loh, kalian gak ikut foto?” Saya agak tercengang dan merasa tertipu saat teman-teman hanya berdiri di depan saya sambil peringas-peringis.. “sudah kamu saja, Win yang foto.” Rasanya ingin kabur dari situ, tapi gak mungkin juga, teman saya sudah kadung siap dengan kamera. Antara dengan berat hati (karena foro sendiri tanpa teman) namun juga agak senang hati, saya pun berpose di samping masnya yang berwajah bangun tidur. Sampai ada bapak-bapak yang baru masuk halte dengan pasangannya berseloroh “kurang deket, kok gak romantis gitu..” Seketika malu saya sudah di ubun-ubun. Pak, tolong ini bukan foto pasangan.. syukur-syukur masnya mau foto bareng.... dan seluruh halte pun pada tersenyum geli, tidak terkecuali mbak-mbak penjaga karcis. Beruntung tidak lama kemudian, bus tujuan kami sudah sampai, segera setelah mengucapkan terimakasih kami segera masuk ke dalam bus.. dan olalala kami dan masnya sebusway ternyata. Kursi di busway masih sepi, saya memilih duduk agak jauh dari masnya. Entah mengapa terlalu dekat dengan idola justru membuat saya grogi dan tsayat. Mungkin masih ada rasa tak percaya dalam benak saya. Saya justru lebih memilih menyibukkan diri dengan buku “Hidup Berawal dari Mimpi”nya Kak Fahd Jibran. Saking terlarutnya saya membaca, sampai tidak mendengar ternyata masnya sempat pamitan kepada kami kalau mau turun duluan di suatu halte. Saya baru sadar setelah teman saya menyenggol saya, yang jelas saat saya menoleh, tahu-tahu saya lihat masnya sudah berjalan keluar bus. Teman-teman saya langsung memanas-manasi saya.. “Ah kamu sih Win, terlalu sibuk sama novelmu jadi gak salam perpisahan kan sama masnya. Masnya pamit ke kita juga kamu cuekin kan jadinya.” Saya hanya bisa nyengir. “Kamu tahu gak masnya tadi bilang, saya duluan ya.. dan ya ampuun suaranya lembut. Sopan bangeet..”
Oh iya ya? Saya hanya tercenung antara nyesel dan masa bodoh. Toh, saya sudah cukup bersyukur bisa foto bareng. Peristiwa tersebut mungkin bakal menjadi salah satu kenangan kecil yang tak kan terlupa.. masuk ke dalam long term memory saya.