Karyamin, sang tokoh utama, digambarkan sebagai seorang pria sederhana yang hidupnya penuh dengan kesulitan ekonomi. Kehidupan Karyamin sehari-hari adalah perjuangan tanpa akhir untuk memenuhi kebutuhan dasar. Dalam konteks ini, Tohari menggambarkan Karyamin sebagai sosok yang pantang menyerah, meskipun berada di bawah tekanan ekonomi yang hebat, masih berusaha menjaga martabat dan integritasnya.
Ironi pertama yang mencolok adalah ketika Karyamin, yang kelaparan dan lemah, masih bisa tersenyum dan bahkan tertawa. Senyum dan tawa ini bukanlah tanda kebahagiaan, melainkan bentuk dari kepasrahan dan penerimaan terhadap nasib. Senyum Karyamin kepada Saidah ketika menolak makanan, serta senyum dan tawa yang dia tunjukkan kepada Pak Pamong, adalah bentuk ironi yang menunjukkan kesadaran akan situasi tragis yang dihadapinya. Senyum dan tawa ini menggambarkan kontradiksi antara kondisi fisik yang menyedihkan dan upaya mempertahankan kewarasan mental.