Menurut Abu Hanifah, wakaf hukumnya boleh (ja'iz) dan tidak wajib (lazim). Wakaf menjadi lazim apabila salah satu dari tiga kondisi terpenuhi:
1. Diputuskan oleh hakim yang berwenang menangani urusan umat.
2. Orang yang mewakafkan mengaitkan wakaf tersebut dengan kematiannya.
3. Wakaf dibuat untuk masjid dan barang tersebut dipisahkan dari kepemilikannya.
Mayoritas ulama menyatakan bahwa wakaf memiliki empat rukun: orang yang mewakafkan, barang yang diwakafkan, pihak penerima wakaf, dan shighat (pernyataan tegas). Menurut kalangan Hanafiyyah, rukun wakaf adalah shighat, yakni pernyataan yang menunjukkan niat wakaf, seperti "Saya wakafkan tanah ini untuk orang miskin selamanya." Wakaf terjadi hanya dengan ucapan, tanpa memerlukan penerimaan (qabul) dari pihak penerima wakaf. Namun, menurut Malikiyyah, Syafi'iyyah, dan sebagian Hanabilah, penerimaan (qabul) diperlukan jika wakaf ditujukan untuk orang tertentu. Jika tidak, walinya yang harus menerima, mirip dengan aturan dalam hibah dan wasiat.