Marx berpendapat dengan tegas bahwa setiap perubahan sosial harus bersifat revolusioner, tanpa adanya perubahan yang lambat. Sejarah, menurut Marx, adalah pergantian antara stabilitas yang dapat berlangsung lama dan periode revolusi yang terjadi dengan cepat, menghasilkan struktur kekuasaan yang baru. Perubahan lambat dianggap mustahil karena kelas atas menentang perubahan demi mempertahankan posisinya, sehingga perubahan hanya terjadi ketika kelas bawah cukup kuat untuk memaksakan perubahan tersebut, yang dikenal sebagai revolusi. Meskipun Marx tidak secara langsung mengaitkan revolusi dengan kekerasan, banyak pemikir Marxis kemudian melihat bahwa revolusi politik sering kali melibatkan kekerasan militer.
Setelah Perang Dunia II, terdapat dua kecenderungan besar dalam arah perubahan politik, yang dipengaruhi oleh persaingan ideologi antara kapitalisme/liberalisme dan sosialisme/komunisme. Uni Soviet dan Amerika Serikat, sebagai negara adikuasa, berlomba-lomba menanamkan pengaruh di negara-negara dunia ketiga. Meskipun pengaruh ini bergeser setelah runtuhnya Uni Soviet, kapitalisme/liberalisme akhirnya muncul sebagai pemenang. Namun, tidak menutup kemungkinan adanya gelombang demokratisasi baru, mengingat munculnya kekecewaan terhadap demokrasi dan kebangkitan kekuatan politik Islam, seperti terbentuknya Republik Islam Iran.
Ada tiga aspek penting dalam proses perubahan sosial: pertama, bagaimana ide mempengaruhi perubahan; kedua, peran tokoh-tokoh besar dalam memicu perubahan sosial; dan ketiga, bagaimana gerakan sosial dan revolusi mempengaruhi struktur dan norma sosial. Antara ideologi, kepemimpinan, dan gerakan sosial memainkan peran penting dalam menentukan arah dan pelaksanaan perubahan tersebut.