Di Indonesia, harapan besar untuk mempercepat proses demokrasi setelah jatuhnya rezim Soeharto tampaknya pupus oleh gelombang kekerasan yang belum pernah terbayangkan sebelumnya. Konflik multidimensional yang berlatar belakang suku dan agama, seperti di Ambon, Poso, Kalimantan Barat, serta Jakarta, membuat masyarakat terkejut saat menyadari bahwa isu SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan), yang dilarang pada masa Orde Baru, kini digunakan untuk merusak tatanan sosial bangsa.
Banyak analisis muncul mengenai penyebab konflik, dan berbagai teori, termasuk teori konspirasi, diperdebatkan. Namun, pertanyaan kunci tetap sama: mengapa identitas suku, agama, ras, dan golongan bisa digunakan sebagai alat dalam konflik ini? Masalah identitas kemudian menjadi sangat penting, karena di sinilah politik kekerasan beroperasi.
Prasangka dan stigma terhadap kelompok tertentu mulai muncul ke permukaan. Hal ini terlihat dengan jelas dalam peristiwa Mei 1998, ketika sejumlah perempuan etnis Tionghoa menjadi korban pemerkosaan dalam situasi kerusuhan. Identitas pun berpilin dengan analisis yang menyoroti bagaimana pemerkosaan digunakan sebagai alat kebencian dan dominasi. Pembicaraan mengenai penyelesaian konflik, termasuk resolusi konflik dan inisiatif perdamaian, terus berkembang. Namun, dalam banyak analisis ini, peran perempuan seringkali terlupakan, padahal banyak yang berpendapat bahwa perempuan memiliki potensi besar dalam membangun perdamaian. Ini menunjukkan bahwa, seperti halnya politik kekerasan, politik perdamaian juga dipengaruhi oleh gender.
Sayangnya, penelitian tentang peran perempuan dalam konflik dan hubungan antargolongan masih sangat terbatas di Indonesia. Lingkaran Pendidikan Alternatif untuk Perempuan (KaPal Perempuan), sebuah LSM yang peduli pada isu perempuan dan pluralisme, mencoba mengeksplorasi tema ini melalui penelitian di tiga wilayah: Jakarta, Lampung, dan Kalimantan Barat. Penelitian ini menggunakan pendekatan yang berbeda, yaitu perspektif feminis.
Namun, penelitian seperti ini tidak mudah. Bukan hanya karena kompleksitas masalahnya, tetapi juga karena sulitnya memahami konflik, rekonsiliasi, perdamaian, dan identitas dari sudut pandang feminisme.