Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Menghina atau Merendahkan? Sebuah Konsep tentang Istilah Lama_Part_1

13 September 2024   08:26 Diperbarui: 13 September 2024   08:29 46 1
Setiap kelas yang berkuasa selalu membentuk budayanya sendiri, yang secara otomatis juga menghasilkan karya seni khas mereka. Sejarah mencatat munculnya budaya perbudakan dari Timur, budaya klasik dari era kuno, budaya feodal di Eropa abad pertengahan, dan budaya borjuis yang mendominasi saat ini. Dari sini muncul pemikiran bahwa kaum proletar juga harus menciptakan budaya dan seni mereka sendiri. Namun, pertanyaannya lebih kompleks dari yang terlihat pada awalnya. Masyarakat yang didominasi oleh pemilik budak bertahan selama berabad-abad, begitu pula dengan feodalisme. Budaya borjuis, yang mulai berkembang sejak periode Renaissance, telah bertahan selama lima abad, dengan puncaknya pada abad ke-19. Sejarah menunjukkan bahwa terbentuknya budaya baru yang berpusat pada kelas penguasa membutuhkan waktu yang lama dan mencapai puncaknya sebelum kelas tersebut mengalami kemunduran politik.

Apakah proletar memiliki cukup waktu untuk menciptakan budaya "proletar"? Berbeda dengan perbudakan, feodalisme, dan borjuisme, kaum proletar melihat kediktatoran mereka sebagai masa transisi singkat. Meskipun transisi menuju sosialisme mungkin memakan waktu dekade, bukan berabad-abad, apakah kaum proletar dapat menciptakan budaya baru dalam periode ini masih diragukan. Tahun-tahun revolusi lebih akan dihabiskan dalam perjuangan kelas yang sengit, di mana penghancuran lebih dominan daripada penciptaan.

Di sisi lain, ketika rezim baru terbebas dari guncangan politik dan militer, dan ketika kondisi memungkinkan, kaum proletar akan melebur ke dalam masyarakat sosialis, sehingga kehilangan karakteristik kelas mereka dan berhenti menjadi proletariat. Dengan kata lain, penciptaan budaya baru mungkin tidak terjadi dalam masa kediktatoran, karena rekonstruksi budaya sejati akan dimulai setelah kediktatoran proletariat berakhir dan budaya yang tidak berkarakter kelas akan muncul. Jadi, bisa disimpulkan bahwa tidak akan ada budaya proletar yang spesifik, dan ini bukanlah hal yang perlu disesali. Kaum proletar merebut kekuasaan bukan untuk membangun budaya kelas, tetapi untuk mengakhiri budaya berbasis kelas dan membuka jalan bagi budaya universal manusia. Seringkali kita lupa akan hal ini, dan wacana tentang budaya proletar, sebagai antitesis dari budaya borjuis, kerap disalahartikan dan terjebak dalam analogi sejarah yang tidak kritis.

Pembangunan budaya borjuis dimulai jauh sebelum mereka meraih kekuasaan negara, berbeda dengan kelas pekerja. Bahkan ketika borjuis belum memegang kekuasaan penuh, mereka sudah memberikan kontribusi besar terhadap perkembangan budaya, seperti yang terlihat dalam arsitektur Gothic dan Renaissance. Proses perkembangan budaya borjuis ditentukan oleh karakter kelas mereka sebagai penindas dan pemilik, sementara kelas pekerja, karena perannya yang lebih transformatif dan destruktif dalam revolusi, tidak akan mengalami perkembangan budaya dengan cara yang sama.  Meski teknologi berkembang pesat dan mempercepat beberapa proses, penciptaan seni proletar dalam waktu singkat tetap sulit. Masyarakat yang terbebas dari ketidakpastian ekonomi dan ketakutan sehari-hari baru akan melihat kemajuan budaya besar setelah melewati periode revolusi yang panjang dan sulit. Periode saat ini memang dinamis, tetapi dinamika ini lebih banyak terkonsentrasi pada politik, terutama perang dan revolusi, yang sering kali merugikan kemajuan teknologi dan budaya. Revolusi proletar memang menyelamatkan masyarakat dan budaya, tetapi melakukannya dengan cara yang keras, fokus pada politik, dan mengesampingkan segala hal lainnya. 

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun