Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Partikel Penantian

15 Juli 2012   07:33 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:56 63 0
Lama sudah…

Berdialog lewat letupan-letupan ide, lewat lambaian retorika…

Berlari dengan acungan tangan kiri dan lengan kemeja tersingsing…

Tertawa dalam riang canda…

Beradu urat dahi dengan teori dan kontemplasi…

Semua terasa begitu melekat, layaknya debu jalan yang menempel pada kemeja kulit usang…

Lama sudah…

Komunikasi hening terjaga…

Hanya tatapan yang berkata…

Atau bahkan hanya sekedar ketuk-ketuk jari…

Repetisi…

Semua serba sederhana.

Indah yang sederhana, sederhana yang indah..

Dan kau tahu? Waktu berlalu.

Memang benar roda itu berputar.

Kini…

Tak ada lagi dialog, lari, tawa dan peraduan…

Tak ada lagi sederhana dan indah yang menetap.

Kompleksitas, begitu dia kusebut.

Materi jauh dari dekap, tangan tak sampai.

Kini…

Mungkin ada dialog, lari, tawa dan peraduan…

Tapi bukan aku, bukan kau.

Bukan kita.

Entah kau masih rindu memori itu, atau hanya aku yang menggilainya seperti tumbuhan menanti hujan.

Saat sapa datang, ada sambutan riang mentari.

Tapi apa?

Langit masih mendung, walau mentari ada disana.

Filtrasinya tidak sama.

Sebaiknya apa? Apa sebaiknya?

Lupakan…

Semua juga tahu bahwa dongeng selalu menyuguhkan sebuah akhir bahagia.

Semua juga tahu bahwa dongeng tak ada dalam tubuh realita.

Kejam, tudingan yang benar adanya.

Maaf sapa, kau tak sama.

Kau bukan dialog, lari, tawa, dan peraduan…

Bukan partikel penantian…

Hanya molekul asing yang menarik…

Sudah enyah, sebelum kau merusak puzzle ini.

Sudah enyah sebelum ceriamu terenggut mega mendung penantian…

Ibarat ruangan terkunci, kau tak punya kunci pintu ruang itu.

Kemana ia?

Ia ada dalam dialog, lari, tawa dan peraduan…BUKAN pada sapa mu.

Berlari lah, ceriamu masih ada, berlari lah, sebelum muram merasuk.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun