Belakangan tersiar kabar bahwa pada tahun 2012 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan selaku otoritas tertinggi pendidikan negeri ini berwacana mengkonversi ISI (Institut Seni Indonesia) menjadi ISBI (Institut Seni Budaya Indonesia). Hal tersebut tak lepas dari berubahnya struktur dari Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) menjadi Kemendikbud. Maka institusi pendidikan tinggi seni harus ikut mengubah nama mereka, “Nantinya, ISI di Denpasar, Yogyakarta, Bandung dan Padang akan menjadi ISBI. Pendirian ISBI juga akan dilakukan di Kalimantan dan Makasar pada 2012. Kemudian juga untuk di Aceh dan Papua. Termasuk IKJ juga nanti akan menjadi ISBI,” kata Mendikbud Mohammad Nuh dalam sebuah artikel di situs resmi Kemendikbud.
Adanya wacana pemerintah mengkonversi ISI menjadi ISBI ini menjadi pergunjingan di kalangan akademisi seni. Ada yang pro konversi dengan alasan pengubahan nama ini itikad baik pemerintah yang berupaya melestarikan budaya sendiri, ada juga yang kontra dengan alasan "daripada mengubah nama, lebih baik ubah saja mutunya." Lantas Apa sikap yang harus kita ambil terkait isu konversi ini? pro atau kontra?
Dengan menyematkan ‘budaya’ dalam nama ISI, pemerintah berupaya mentahbiskan perguruan tinggi seni sebagai pencetak kebudayaan. Padahal kesenian sendiri adalah bagian dari kebudayaan tersebut. Lagipula kebudayaan adalah kebiasaan masyarakat yang tumbuh sekian lama turun temurun hingga akhirnya menjadikannya sebuah budaya. Upaya menjadikan Perguruan tinggi Seni pembuat kebudayaan baru tentu sesuatu yang naif, seolah kebudayaan dapat dibuat dengan instan di perguruan tinggi Seni.
Perguruan tinggi seni harusnya tetap berada dalam kawasan kesenian, tidak melebar mempelajari (bahkan membuat) kebudayaan seperti apa yang dikehendaki Kemendikbud. Sebab sifat kebudayaan dan kesenian berbeda, kebudayaan adalah mengenai nilai dan moral, sedangkan kesenian adalah mengenai estetika. Demi mengedepankan kebudayaan, dikhawatirkan sistem baru ISBI kelak akan mematikan nilai estetis kesenian itu. Yang menjadi persoalan adalah terciumnya bau komodifikasi disini, lulusan ISBI diharapkan berketerampilan seni agar dapat mendukung pemerintah mempromosikan kebudayaan Indonesia, praktis ini akan mematikan nilai estetika kesenian.
Yang perlu dicermati kemudian adanya gelagat Fungsionalisasi seni dalam proses konversi ini. Kemendikbud berupaya menjadikan kesenian sebuah eksakta, disiplin ilmu pasti yang dapat diajarkan dengan menyamaratakan metode. Tentu fungsionalisasi seni hanya mementingkan fungsi, tidak mementingkan isi. Padahal sesungguhnya kesenian adalah suatu yang adiluhung, dengan sistem baru ala fungsionalisasi seni ISBI, hasilnya adalah kelak lulusan perguruan tinggi seni yang dididik dengan sistem fungsional kesenian ini barangkali memang ber-skill tinggi dan lulus cum-laude, namun minus esensi dan isi, tidak mengedepankan nilai adiluhung kesenian.
Apa alasan fungsionalisasi seni dengan proses konversi nama ini? Jangan sampai kebijakan konversi ini menjadi sesuatu yang tidak bijak dan menyebabkan kualitas pendidikan tinggi seni malah semakin menurun. Terkait wacana konversi, Kemendikbud menyatakan akan mengadakan dialog budaya di seluruh penjuru Indonesia, termasuk Yogyakarta. Kita tentu menantikan dialog tersebut agar kita dapat bertanya pada pihak Kemendikbud alasan sebenarnya wacana konversi. sampai saat dialog ini tiba, dengan adanya gelagat fungsionalisasi seni yang sudah tercium, maka secara tegas kita harus menolak konversi ISI menjadi ISBI yang mengedepankan proses fungsionalisasi seni. Biarkan ISI tetap menjadi ISI.
*Penulis adalah mahasiswa jurusan Etnomusikologi Institut Seni Indonesia, Yogyakarta.
Bergabunglah Menolak Konversi ISI menjadi ISBI dengan cara gabung di Grup Facebook "Menolak Konversi ISI menjadi ISBI" berikut ini: http://www.facebook.com/groups/305576866152044/
ARIS SETYAWAN
Yogyakarta, 08 Januari 2012.
( Created and sent from my notebook. Go to http://www.kompasiana.com/arissetyawan for more word and shit. )