Kau menitipkan sesuatu pada senja, Cahaya mencakar langit hingga merah
Betapa rindumu sangat parah
Terhadap pertemuan kau tak manja
Tapi kenapa kau perbanyak pasrah?
Terjebak cinta yang ramah?
Karena mesra kau di anggap lemah
Generasimu dianggap remeh
Puan
Dijemarimu yang lentik bagai anak-anak sungai,
siapapun siap membangun jembatan,
Jembatan cinta, cita, rindu, sabar, sadar, bergaya, berdaya. Jembatan apa saja
Puan
Sesekali pinjamlah rinduku, untuk bakar semua daun-daun di halaman wajahmu,
Sesekali kau harus tau hangat api yang kuciptakan untukmu
Tapi kenapa puan?
Diam saat bibir berlinang darah
Pipi jadi kolam air mata
Mata merah memendam marah
Memilih Tunduk saat tangisan tumpah
Puan
Saat puing-puing harapan mulai gugur
Kau hadir jadi kelopak penjaga asa
Saat niat dihalangi putus asa
Kau jadi bahu tempat membagi semua lelah
Kau lahir dari bebas merdeka, Puan.
Kau dibelenggu benalu, Puan.
Ditindas kuasa kekuasan
Tunduk dan mengangkang
Karena kau perempuan
Kau harus membangkang, Puan.
Puan
Berhenti memahkotai luka
Mengalungi cinta yang penuh dusta
Beranting patuh pada kenyamanan
Berlipstik tunduk karena simpatik
Puan
Mari menyapa senja merah di langit angkara
Kita jalan bergandeng, menyusuri keheningan
Berjingkrak di jalan perlawanan
Menantang patriarki
Meninju perbudakan
Merangsang emansipasi
Meludahi pesimis menuju feminis
Menjadi sepasang juang
Yang akan terus berjuang
Untuk semua puan-puan Indonesia
Jangan amnesia
Marsinah menuntut anak pertiwi menolak lupa pada detik-detik arloji yang dinikmati penguasa
Mari disini, saat keadilan masih buta
Kita tak boleh ikutan tuli
Mari bergandeng bebas mengangkasa
Menjadi sepasang yang tetap Merdeka
Aris Landukati
Sumba, 2020