Rumah di Dekat Lapangan Sepak Bola oleh AK Basuki
“bukan rumahnya, bukan lapangannya... tapi sepak bolanya!”
Umbul-umbul beraneka warna sudah ditegakkan di sekeliling lapangan sepak bola dekat rumah Marjo sejak pagi. Sebuah tratag seperti yang ada di acara-acara perkawinan, bersamaan pula didirikan. Tiang-tiang gawang diperbaiki sementara garis-garis lapangan ditebalkan dengan taburan kapur enjet. Meriah sekali. Para pemuda pun kelihatan bersemangat mengerjakan semuanya.
“Mau ada apa, Tam?” tanyanya pada Ratam, pemuda yang sedang mengecat tiang gawang.
“Turnamen bola, Lik.”
“Manusia?”
“Ya manusia to... masa ayam babon?”
“Lapangan jelek begini dipakai turnamen?”
“Sekali-kali, Lik. Biar warga ada tontonan. Kasihan kalau sore-sore seringnya cuma pada nongkrong di depan rumah ngitung kendaraan lewat. Yang bapak-bapak klepas-klepus merokok, yang ibu-ibu ngobrol nggak karauan juntrungannya. Ujung-ujungnya malah ngomongin Pak RT lagi. Melasi, kan?”
Marjo geleng-geleng kepala. Tontonan sih tontonan, tapi lihat dulu sarana dan prasarana. Layak atau tidak. Lapangan sepak bola di dekat rumahnya itu, terutama di musim kemarau begini, rumputnya pada meranggas. Hanya bersisa tanah berdebu di hampir seluruh permukaannya yang tak rata dan keras seperti kepalanya Pak RT. Bayangkan 22 orang berebut bola di sana, semacam jadi kumpulan orang-orang goblok berani mati. Lha, kalau jatuh, memangnya tidak berbahaya?
“Kok aku nggak dikasih tahu Pak RT mau ada acara begini? Kalau dikasih tahu dulu, kan aku bisa buat pernyataan keberatan.”
“Biar surprise mungkin, Lik.”
“Surprise, surprise matamu njepat!”
Ratam cekikikan.
Marjo sendiri tidak pernah suka sepak bola, tapi takdir memang sudah menentukan bahwa rumahnya harus berada tidak jauh dari lapangan. Dia sendiri tidak terlalu mempermasalahkan, toh dia juga kadang-kadang bisa memanfaatkan lapangan sepak bola itu untuk kepentingannya sendiri. Menjemur padi, misalnya, atau buat parkir mobil-mobil sanak saudara yang berkunjung dari luar daerah. Gratis, luas dan lega serta aman.
Yang jadi masalah buatnya, lapangan sepak bola itu jadi terlalu ramai dan sering pula memberi efek buruk bagi rumahnya. Di musim hujan, misalnya, jika rumput sedang segar-segarnya, lapangan itu akan penuh dengan kambing yang merumput. Lalu Pak RT akan terlihat rajin memarahi orang-orang yang menggembalakan kambing-kambingnya di sana. Alasannya, biar rumput terawat rapi alami, padahal supaya dia sendiri bebas memonopoli lapangan untuk kambing-kambing miliknya. Memang kurang ajar orang satu itu. Parahnya, pemimpin lingkungan yang tidak amanah ini langsung main cabut patok pengikat kambing-kambing. Nah, kambing-kambing yang panik kadang gelap mata menyasar halaman rumah Marjo. Namanya kambing, sambil kabur ketakutan juga bisa nyambi makan. Habis tuntaslah macam-macam tanaman dalam pot-pot kebanggaan Marjo.
Sore hari, lapangan itu akan penuh. Ada yang bermain bola, ada yang belajar nyetir mobil, ada kerbau menyeberang selepas dari sawah, bahkan ada yang menyuapi anak balitanya di sana. Sumpah, tumplek presis pasar malam. Buntutnya, rumah Marjo juga yang kena imbas tidak enak. Debu, suara-suara berisik, anak-anak yang berkali-kali minta izin mengambil bola yang menggelinding masuk pekarangan, tukang jual makananserta minuman keliling jadi sering parkir di depan rumah yang membuat anaknya selalu merengek minta dibelikan, dan lain sebagainya.
Di malam hari, lapangan itu memang gelap. Tapi itulah yang disukai pemuda-pemudi. Sudah sering Marjo memergoki mereka yang berbuat maksiat di sana. Ada yang minum-minuman keras, ngganja, duel satu lawan satu sampai meking lof di tengah lapangan. Nah, yang disebut terakhir ini yang paling asyik buat diceritakan.
Suatu malam, karena curiga dengan sepeda motor yang diparkir lama sekali di depan rumah, Marjo mencari-cari si pemilik. Pencarian membawanya hingga ke tengah lapangan. Di sana, justru didapatinya dua mahluk berlawanan jenis sedang saling tekan, tumpang-tindih mirip permainan tetris. Bugil, lagi.
“Hayo, lagi pada ngapain?” sentak Marjo yang kebetulan memang tidak membawa senter. Tapi matanya bisa menduga mereka sedang berbuat apa.
“Hiaaaaa.....!“ dua mahluk bebeda gender itu berteriak kaget sambil masing-masing kebingungan campur panik mencari pakaian mereka yang tercerai berai di sana sini. Marjo yang jengkelnya bukan kepalang sengaja menginjak celana jins yang dituju si cowok. Merangkak-rangkak dia di bawah Marjo sambil menarik-narik celananya, tapi sia-sia.
“Tulung lepasin, Pak... dingiiin..” ratapnya.
“Tadi kok nggak dingin?”
“Dinginnya baru sekarang.”
“Anak mana kamu?”
“Anak sana, Pak.”
“Sana mana?”
“Seberang jalan besar.”
“Nggak jelas!”
“Rumah saya itu, Pak, dari sini lurus terus sampai jalan besar... nah, habis itu nyebrang, masuk jalan kurang lebih 300 meter, belok kiri, lurus terus sampai ketemu plang PMI, belok kanan, lurus lagi sampai mentok, belok kanan...”
“Hazzah! Memangnya saya supir trefel apa? Sebut saja nama kampungnya!”
“Cirukem, Pak.”
“Nah, gitu kan enak,” kata Marjo melepaskan injakannya. Anak muda itu tergesa-gesa memakai celana dan berpakaian. Si cewek sudah sedari tadi selesai dan kini hanya berdiri sambil menunduk.
“Kamu, rumahnya di mana?” tanya Marjo pada si cewek.
“ Rumah saya itu kalau dari sini ke utara, terus lurus sampai jembatan... habis jembatan belok kiri, ketemu jalan besar, nyebrang, ada gang Mesjid masuk ke situ terus lurus, mentok belok kanan, perempatan petama belok kanan lagi...”
“Loh, loh, loh... sebentar, sebentar... itu kan sama, ke kampung Cirukem juga,” potong Marjo tidak sabar.
“Betul, Pak. Saya cuma mau kasih alternatif, siapa tahu Bapak kepingin lewat jalan lain.”
“Asem kecut! Ngledek, ya?” tanya Marjo sengit.
“Ng... nggak, Pak!”
“Jadi kamu satu kampung sama cowok brengsek ini?”
“Kurang lebih begitu, Pak. Malahan satu rumah. Tapi dia bukan cowok brengsek, dia suami saya.”
“Hazzah!”
*****
Sudah biasa dengan apa-apa yang terjadi diakibatkan rumahnya berdekatan dengan lapangan sepak bola, kini muncul kekhawatiran baru. Sebuah turnamen sepak bola belum pernah diadakan di lapangan itu. Dari yang Marjo tahu, selama ini tiap ada turnamen sepak bola tarkam, di manapun ujungnya pasti rusuh. Entah bakalan ada perseteruan antar pemain, suporter atau malah perkelahian karena dendam pribadi di antara penonton yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan pertandingan. Ada juga yang memanfaatkan keramaian itu untuk menyatroni rumah-rumah yang kosong ditinggal menonton oleh pemiliknya. Sudah umum itu. Karenanya, Marjo sudah benar-benar waspada. Sejak turnamen dibuka hingga sampai babak final dua minggu kemudian, dia selalu berjaga-jaga.
Suhu setiap pertandingan berbeda-beda dan semakin meningkat sejak babak penyisihan. Puncaknya, di partai final, bertemulah kesebelasan kampung Marjo sebagai tuan rumah dengan kampung Gandasari. Namanya final tarkam, bisa dipastikan pertandingan berjalan panas, keras dan kasar. Suporter kedua kesebelasan menambah-nambah derajat panas dengan saling mengejek. Panas di lapangan, panas pula di luar lapangan.
Tepat ketika pertandingan memasuki menit ke 73, terjadi keributan antar pemain. Suporter yang tidak bisa menahan diri segera menyerbu masuk ke lapangan. Masing-masing langsung main tendang dan pukul. Huru-hara terjadi. Tratag yang dipakai untuk tamu undangan dan komentator pertandingan, rubuh. Pak RT terlihat pucat dan ngos-ngosan dikejar-kejar 3 pemuda tanggung. Wasit yang memimpin pertandingan sudah lebih dulu lolos dengan memanjat pohon sementara salah satu hakim garis terlihat tiduran rileks di pinggir lapangan, sepertinya semaput.
Debu mengepul. Lapangan sepak bola telah benar-benar jadi ajang peperangan brutal. Batu dan kayu beterbangan. Pemuda-pemuda kampung Marjo sebagai tuan rumah akhirnya justru terdesak karena sepertinya kampung lawan memang sudah siap untuk berperang. Beberapa jagoan kampung Marjo terpaksa mundur dari arena dengan serabutan, tapi sisanya justru berlari ke arah rumah Marjo. Inilah yang tidak bisa diantisipasinya.
“Jangan ke sini! Jangan ke sini! Ke rumah Pak RT saja!” teriak Marjo mencegah orang-orang memasuki pekarangan rumahnya. Tapi dia tidak digubris. Ada yang terus berlari ke belakang, tidak sedikit yang mengadakan perlawanan dari sana. Pot-pot kembang milik Marjo segera dilempar-lemparkan ke arah lawan. Lawan membalas dengan lemparan-lemparan batu....
“Oh, orraaaaaa.....!!” teriak Marjo pilu.
*****
Selepas Maghrib, orang-orang bar-bar itu menghentikan peperangan dengan sendirinya. Tinggal Marjo, Darni istrinya dan anak-anak berdiri memandangi rumah yang rusak berat. Genteng-genteng pada bubrah, kaca-kaca pecah, pintu dan jendela terbelah, isi pot-pot tanaman tumpah ruah.
Pandangan mereka kosong. Benak suami istri itu dipermainkan perasaan sedih, marah, bingung dan putus asa. Ternyata hanya butuh emosi sesaat dan fanatisme yang bertentangan untuk menghancurkan rumah yang telah mereka bangun dengan curahan segenap keringat dan air mata.
“Bal-balan itu nggak di tivi nggak di kampung pasti bawa setan ya, Pak,” kata Darni.
“Bukan hanya setan, Bu. Anak-anak setan juga dibawa,” jawab Marjo seperti melamun.
“Yang ganti biaya perbaikan nanti siapa?”
“Nggak tahu.”
“Minta ganti rugi Pak Ngasripin, Pak.”
“Ngasripin mana?”
“Ketua pesi itu loh.”
“PSSI.”
“Iya, itu.”
“Apa urusannya sama PSSI?”
“Kan musibah ini gara-gara bal-balan. Kalau gara-gara bulu tangkis, kita minta ganti ruginya ke Pak Joko.”
“Joko mana?”
“Ketua pepsi itu loh.”
“Hazzah! PBSI!”
“Iya, itu.”
Hening.
“Joko siapa ya namanya?”
“Siapa?”
“Ketua PBSI.”
“Oo... Joko Anwar.”
“Dia? Bukan yang suka bikin film?”
Hening lagi.
“Pak...”
“Hmm...”
”PBFSI singkatan dari apa?
“Kamu diam dulu sih, Bu. Orang lagi bingung malah ditanya-tanya terus,” kata Marjo.
Darni manggut-manggut.
“F-nya itu foli ya, Pak?”
Cigugur, 25 Agustus 2012