Jakarta
Cerpenisasi Lagu Ebiet G. Ade, “Jakarta II”
Oleh: AK Basuki
Mata lelaki itu tak hendak terpejam sama sekali. Bukan karena terganggu suara bising kendaraan dan hiruk pikuk kehidupan malam di pinggiran Jakarta yang tak pernah mati. Bukan pula karena kupingnya serasa sudah hampir berlumut akibat bosan mendengar sebuah lagu dangdut yang dibolak-balik terus menerus dari sebuahwarung kaki lima tidak jauh dari situ. Dia membolak-balikkan tubuhnya dengan resah. Selalu saja ada yang dipikirkan sebelum tertidur. Tidak bisa tidak, ingatannya selaluberpusing pada keluarga yang ditinggalkannya di kampung. Terutama anaknya yang mungil dan bermata jernih... sudah bisa apa dia sekarang? Mengingat anak itu, teringat pula ia akan kebodohannya, keluhnya dalam hati. Seharusnya dia tidak pergi.
Hanya karena kelahiran seorang anak, dipikirnya butuh agenda kehidupan yang lebih untuk dipenuhi, butuh nafkah lebih dari yang biasanya dia bisa dapatkan. Pikiran yang sedikit banyak dipengaruhi oleh cerita-cerita perantau dari kampungnya yang mampu menangguk kejayaan di Ibu Kota. Kini selalu saja ada yang di sesali. Kenapa dulu berangkat tinggalkan kampung halaman yang ramah-tamah untuk sebuah masa depan yang tidak menentu seperti ini?
Dikenang kembali wajah bulat telur istrinya dengan lengan yang legam dan rambut kemerahan terbakar matahari. Kepada aroma tubuhnya yang serupa wangi lumpur sawah di masa tandur yang bercampur dengan bau sangit asap pawon. Seperti didengar lagi gerit daun pintu bambu, lenguh sapi perahan dan anak-anak angsa bermain di halaman.Kenangan seperti itulah yang membuat kerinduannya terasa benar-benar menikam jantung.
Dia datang bersama seorang kawan yang mengaku telah sanggup menaklukkan Jakarta. Hanya lima tahun dibutuhkan si kawan sejak pertama kali menginjakkan kakinya di Ibu Kota untuk mampu mengumpulkan apa yang dipunyainya saat ini.
“Jakarta seperti sepotong gula sebesar gunung yang dikerubuti semut. Setiap ekor semut mampu mengambil lebih dari yang dia mampu tanpa mengurangi besar gunung itu sendiri barang secuilpun,” katanya.
Lelaki itu begitu terkesan. Lagipula, nyata si kawan tidak mengada-ada. Dia pulang kampung menggunakan mobil pribadi dan membawa uang banyak sekali. Di samping itu, jodoh pun telah didapatkan. Dengan harapan dapat menjadi seperti si kawan, dia memutuskan untuk pergi mengikutinya ke Jakarta.
Saat keinginan itu diungkapkan kepada istrinya, hanyalah wajah ragu yang jadi tanggapannya.
“Apakah di sini tidak cukup bagimu?”
Seharusnya ekspresi istrinya itu telah membuatnya paham sejak awal, bahwa apa yang dikejar sebenarnya tidaklah begitu penting di mata istrinya, karena dirinya sendiri tidaklah meminta banyak kecuali apa yang telah dimiliki. Tapi dia berkeras. Dia punya tanggung jawab untuk mencari nafkah bagi keluarga. Selama ini dia memelihara sapi dan bebek milik seseorang. Hasil yang didapatkan mungkin cukup bila sekedar memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tapi jika ada kebutuhan di luar itu? Siapa orangnya yang tak ingin membelikan pakaian atau perhiasan untuk istri tercinta? Bagaimana jika anaknya sakit? Semua itu yang masuk dalam perhitungannya. Juga, setidaknya dia butuh modal untuk membuka usaha.
Tanpa ada yang mampu mencegah, dia benar-benar berangkat...
Tapi apa yang dibayangkan tentang Jakarta ternyata sangatlah jauh berbeda. Sulit sekali untuk menciptakan sebuah kesempatan pun. Sudah beberapa minggu dia menumpang, lalu membantu sebisanya di warung makan yang dikelola kawannya itu sambil berusaha untuk mencari kerja. Sayang, keberuntungan tidak berpihak padanya. Si kawan yang sudah beriktikad baik untuk membantunya mendapatkan pekerjaan ternyata tidak dapat membantu banyak. Dia merasa tidak enak hati, terutama pula karena tekanan istri kawannya. Beberapa hari lalu dia mendengar tanpa sengaja, atau memang istri si kawan sengaja membesarkan suara ketika terdengar mereka sedang membicarakan dirinya.
“Suruh pulang lagi saja! Di sini hanya menuh-menuhin tempat. Warung kelebihan pembantu! Mubazir!”
“Sssh ... dia bukan pembantu kita,” suaminya mencoba menyabarkan, “Lagipula hanya sementara. Setelah mendapat kerja, dia pasti pergi.”
Apa yang diimpikan terpaksa ditanggalkan. Semangatnya yang membara perlahan padam. Jika seorang kawan saja sudah tidak dapat diandalkan, bagaimana dia bisa berkeras untuk menetap? Keesokan harinya dia langsung pamit.Bagaimanapun si kawan membujuknya untuk tinggal, dia beralasan tidak kuat menahan rindu pada istri dan anaknya. Dengan alasan itulah, beberapa lembar uang diselipkan di saku celana dan si kawan melepasnya sampai bus yang menuju kampungnya berangkat. Tapi, belum jauh bus berjalan, lelaki ituturun. Tekadnya memang pudar, tapi rasa malunya kepada keluarga dan orang-orang di kampung lebih besar membidik egonya. Dia tidak akan pulang tanpa hasil.
Dia terus berjalan, kemana saja. Tidak ada tujuan, hanya nekat. Jakarta akan ditaklukkannya, dia berkhayal, suatu ketika nanti. Lalu terbayanglah lagi pada anak dan istrinyaberganti-ganti. Kontras dengan itu, kadang hati menuding otaknya sudah tidak waras lagi karena dia seperti seorang bodoh yang ingin membuat sebuah patung batu menjadi pualam.
*****
Kini ia tidur telentang di pinggiran jalan, berselimut sarung tua bekal dari kerabatnya yang masih tersisa. Uang pemberian kawannya sudah habis, tapi dia tidak tahu harus kemana. Ingin ditulis sepucuk surat buat istrinya. Bahwa di Jakarta ini bukanlah tempat yang ramah dan dia ingin kembali. Tapi benarkah dia punya keberanian untuk kembali? Tentu saja mereka akan menerimanya kembali. Tapi bagaimana dengan orang-orang kampung? Apakah mereka tidak akan mencemooh kekalahannya? Hidup bukan hanya masalah kalah atau menang, tapi bagaimana bisa bertindak dengan tepat. Dia memang sudah hampir kalah walaupun merasa telah bertindak dengan tepat,tapi sebagai lelaki yang pantang menyerah, meski badai melanda, ia akan terus melangkah.
Rasa dingin memaksanya untuk terduduk. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri, pandangannya mencoba mencari tempat terbaik yang terlindung dari angin dan dingin malam. Dia bangkit dan baru teringat pada perutnya yang kosong. Aroma nasi goreng dari warung kaki lima yang mencecah hidungnya justru membuatnya ingin berlari menjauh. Dan benar, dia pergi menjauh, berjalan kembali menyusuri trotoar. Pikiran-pikiran khayali mulai berletupan dari kepalanya. Di malam-malam biasa, saat dia menjadi orang kaya kelak, dia akan melalu jalanan ini lagi dengan mobil mewahnya. Akan dinapaktilasinya jejak-jejak awal kedatangannya di Jakarta. Bagaimana dia menggelandang setelah secara tidak langsung diusir oleh istri kawannya. Mungkin saat ini jika dipikirkan terasa menyakitkan, tetapi diyakininya kelak akan semanis madu. Dia yakin itu.
Langkahnya lalu berhenti di depan sebuah mini market 24 jam. Saat itu lewat tengah malam.
Lama dia berdiri di sana, memandang ke dalam, berpikir macam-macam. Tangannya merogoh. Ada sepotong doa dan kata-kata harapan untuk tabah dan berbesar jiwa dari istrinya, tertulis di sebalik lembar potret lecek anak dan istrinya yang tersimpan di saku. Dibacanya pelan-pelan, tapi dia sendiri tidak yakin jika bibirnya mampu mengeja huruf per huruf doa dan harapan istrinya itu. Setidaknya sampai akal sehatnya masih mampu berpikir sebelum menggelap, sebelum sebuah batu berukuran dua kali kepalan tangan telah berada dalam genggamannya.
Lalu dia menerobos masuk.
Kenangan merah jingga memaksanya bertahan. Dia memang harus bertahan.
Cigugur, 4 Juli 2012
-Dikembangkan dari syair lagu “Jakarta II”, dipopulerkan oleh Ebiet G. Ade
-Kata-kata bercetak miring dan tebal diambil dari lirik asli lagu "Jakarta II"