Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Amar Harus Sekolah

23 Juni 2012   07:23 Diperbarui: 13 Juli 2015   11:16 261 4

Amar Harus Sekolah

Oleh:AK Basuki

Amar sudah 7 tahun usianya dan dia harus masuk sekolah tahun ini. Pikiran itu yang terus berputar di kepala Saprudin, membuat otak berdenyut-denyut senantiasa. Seharusnya sudah sejak tahun lalu, tetapi Saprudin dan istrinya terpaksa menundanya. Menabung, mencoba mengumpulkan kembali dana untuk sekolah Amar yang telah terpakai.

Saprudin bukanlah orang ceroboh yang menyampingkan kepentingan pendidikan anak karena sebenarnya dia telah menabung untuk itu jauh sejak Amar berusia 2 tahun. Penghasilannya berjualan siomay keluar-masuk kampung memang tidak seberapa, tapi setelah disisihkannya sebagian kecil dari keperluan sehari-hari – yang masih juga disisihkan oleh istrinya yang, alhamdulillah, kemampuan menghematnya melebihi kemampuan manusia biasa – bisa juga terkumpul uang sebesar 2 juta rupiah. Itu pas, tidak kurang dan tidak lebih, untuk uang masuk sebuah sekolah dasar swasta. Apa daya, tepat seminggu sebelum dibukanya pendaftaran masuk sekolah itu, satu musibah terjadi. Mertua laki-lakinya sakit parah. Sebagai seorang menantu yang berbakti, Saprudin dengan ikhlas merelakan uangnya untuk dipakai urunan bersama kakak-kakak istrinya mengganti biaya perawatan. Nyawa mertuanya lebih penting, sekolah Amar toh bisa diurus lagi belakangan, pikirnya.

Setahun ini dia dan istrinya jadi semakin giat menabung untuk mengejar ketertinggalan Amar. Amar wajib kudu harus sekolah, tidak bisa ditunda lagi. Mereka tidak ingin Amar menjadi terlalu tua untuk mendapakan pelajaran formal pertamanya. Usaha yang benar-benar keras memang menunjukkan hasil yang signifikan. Uang tabungan Saprudin dan istrinya sudah mencapai satu juta dalam waktu satu tahun saja. Itu sudah merupakan sebuah pencapaian yang hebat jika menilik segala kesulitan hidup mereka. Tapi tetap saja kurang begitu menggembirakan.

“Kurang satu juta lagi, Pak,” kata Suherli, istri Saprudin.

“Satu juta lagi,” keluh Saprudin. Betapa sulitnya. Sebenarnya, bukanlah dia sok-sokan untuk memasukkan anaknya ke sekolah swasta, tapi anak-anak seperti Amar yang tidak melalui taman kanak-kanak memang ditolak di sekolah negeri.

Saprudin dan Suherli kelimpungan. Hari pendaftaran siswa baru telah dibuka dalam 3 gelombang. Tapi sampai gelombang terakhir, uang belum juga terkumpul. Cuma 1 juta itu saja, tidak nambah-nambah. Serba tangggung. Ibaratnya setengah badan Amar sudah masuk halaman sekolah, tapi setengahnya masih di luar. Sementara Amar yang tidak tahu kesulitan orangtuanya, akhir-akhir ini terlihat sangat ceria. Dia pernah mencuri dengar pembicaraan bapaknya bahwa tahun ini dia akan mulai bersekolah di sebuah sekolah swasta yang tidak terlalu jauh dari rumahnya. Berkali-kali dia bercerita dengan antusias, “Gedungnya besar, Bu! Ada lapangan basket dan futsalnya. Nanti kalau Amar sekolah di sana, Amar mau main futsal tiap hari!”

“Tadi Amar lewat sekolahan itu lagi, Bu! Murid-muridnya pada baris kaya tentara. Nanti Amar bisa jadi tentara kalau sekolah di sana?”

“Kalau Bapak sama Ibu berangkat ndaftar, Amar ikut, ya!”

Dan banyak lagi yang membuat pendengarnya tersenyum sekaligus nelangsa. Hal itu yang membuat suami istri itu benar-benar memaksakan diri sampai batas terakhir, ibarat ampas kelapa yang diperas berkali-kali sampai tidak keluar lagi santannya. Kekurangan uang itu harus segera mereka penuhi karena hari pendaftaran sudah hampir ditutup.

“Aku mau coba minjem kakak-kakakmu, Bu. Pokoknya satu juta lagi saja. Bagaimanapun caranya,” kata Saprudin pada istrinya, tapi pandangan matanya menerawang jauh. Pastilah dia mencoba menutupi rasa malunya.

“Sebaiknya gitu, Pak,” Suherli mencoba membesarkan hati suaminya karena dia tahu apa yang dipikirkan Saprudin. Dengan meminta pinjaman pada pihak keluarganya, Saprudin pastilah malu jika disangka akan menagih lagi uang yang pernah dia berikan untuk perawatan bapak mertuanya dan mengungkit-ungkit jasa. Kakak-kakak Suherli toh semua juga menyumbang untuk si sakit, urun uang, jadi bukan hanya dia saja. Itu yang jadi pikiran Saprudin. Mau meminjam kemana lagi dia sudah mentok.

Tapi keesokan harinya, wajah dua suami istri itu tetap lesu. Kakak-kakak Suherli yang memang sama susahnya, tidak bisa membantu banyak. Mereka, yang jumlahnya ada empat, masing-masing hanya mampu memberi 100 ribu rupiah. Itu pun dengan embel-embel utang, karena Saprudin toh tidak mau diberi uang cuma-cuma. Masih kurang 600 ribu rupiah untuk jadi 2 juta. Tidak ada keajaiban yang terjadi sementara mereka sudah tidak tahu lagi harus ke mana.

Tapi malam itu, sehari sebelum pendaftaran sekolah ditutup, Suherli mendekati suaminya dan berkata, “Masih ada kesempatan terakhir.”

Saprudin terbelalak menatap istrinya yang tengah meloloskan anting-anting dan cincinnya. Itu adalah mas kawin dari Saprudin saat pernikahan mereka. Berat masing-masingnya hanya satu setengah gram, tapi Saprudin pernah berjanji untuk tidak memaksa istrinya sampai kapanpun untuk menjual mas kawin itu, betapa pun susahnya hidup mereka nanti.

Lha?”

“Pakai saja, Pak.”

“Itu kan punya Ibu.”

Lha, terus kenapa kalo punya Ibu? Apa jadi nggak boleh dijual? Mendingan di jual daripada suatu waktu nanti hilang, kan? Rugi,” kata Suherli mencoba bercanda, walau hatinya memang terasa berat melepaskan benda penuh makna dan kenangan itu. Tapi ini semua demi Amar. Dan untuk Amar, apapun akan dia lakukan. Daun telinga yang kosong, jemari yang polos dari segala perhiasan dunia, tidaklah sebanding dengan kebahagiaan dan hak anaknya untuk mendapatkan pendidikan yang layak.

Saprudin ragu-ragu menerima perhiasan yang nilainya tidaklah seberapa besar itu.

“Ibu nggak apa-apa?” tanyanya mencoba meyakinkan. Suherli menggeleng dan tertawa.

“Sudah sejak awal Ibu berpikir untuk menjual ini, tapi teringat janji Bapak, Ibu ragu-ragu, takut Bapak nggak setuju. Sekarang, nggak ada yang bisa dijadikan alasan untuk ragu-ragu, kan?”

Saprudin hatinya seperti kena setrum, jiwa yang tadinya suram langsung bernyala cahaya baru. Baiklah, demi Amar.

“Demi Amar. Dia harus sekolah biar nggak bodoh kaya bapaknya!” terdengar lagi Suherli.

Saprudin tersenyum. Besok perhiasan itu akan dia jual segera karena waktu pendaftaran tinggal sehari lagi. Dia harus cepat.

*****

“Biaya pendaftaran:150.000 rupiah; uang pembangunan: 1.500.000 rupiah;seragam tiga potong: 350.000 rupiah, SPP bulan pertama 200.000 rupiah. Totalnya, 2.200.000 rupiah,” papar seorang pegawai Tata Usaha saat Saprudin datang ke sekolah untuk menanyakan prosedur pendaftaran.

“Apaaa?!!” Saprudin terkejut setengah mati. Uang yang ada di kantongnya hanya sebesar 2 juta lebih 25 ribu rupiah. 1 juta dari tabungannya, 400 ribu pinjaman ipar-iparnya. Perhiasan istrinya yang hanya 3 gram, walaupun dijual dengan surat-suratnya, hanya dihargai 550 ribu. 75 ribu dia kuras sendiri dari kantongnya hari itu,. uang belanja istrinya untuk beberapa hari. Berarti masih kurang 175 ribu.

“Tahun kemarin saya total semua biaya untuk masuk hanya 2 juta!”

“Itu tahun kemarin, Pak. Tahun sekarang jelas berubah sedikit. Ada kenaikan di biaya seragam dan uang pembangunan. Sedikit kok naiknya.”

Sedikit dengkulmu mleset! Maki Saprudin dalam hati. Tapi toh, kata-kata yang keluar dari bibirnya bernada memelas, “Bisa dikurangi lagi, Pak? Saya orang nggak punya, hanya bawa 2 juta lebih sedikit.”

“Standarnya segitu.”

“Bukannya biasanya sekolah swasta memperhitungkan pekerjaan orangtua murid dan menyesuaikan biaya itu dari sana sebisa dia mampu?”

“Sekolah kami tidak. Semuanya setara. Sama rata.”

Saprudin diam. Dadanya seperti gatal oleh sesuatu, tapi dia tidak bisa menggaruknya.

“Bagaimana kalau seragamnya sepotong saja? Mungkin bisa sedikit mengurangi. Anak saya itu nggak suka kotor-kotor, Pak. Saya yakin seragamnya bakal tetap bersih, nggak usah diganti tiap dua hari. Minggunya dicuci,” bujuk Saprudin lugu. Orang itu menggeleng dan lalu sibuk menulis. Entah menulis apa, mungkin maksudnya tidak akan menanggapi Saprudin lebih lama lagi.

“Saya hanya punya 2 juta 25 ribu, Pak. Sumpah, nanti sisanya saya bayar bulan depan!” desak Saprudin. Orang itu diam saja, tetap menulis. Saprudin putus asa. Dengan lesu dia berbalik dan melangkah gontai. Pulang.

Sesampai di rumah, Suherli menyambutnya dengan senyuman termanis yang dia punya. Amar tidak kelihatan, mungkin sedang bermain di rumah kawannya dan mengumbar cerita tentang calon sekolahnya yang baru.

“Tahun depan Amar sekolah, Bu. Pasti,” gumam Saprudin yang langsung meringkuk di atas ranjang, mendekap bantal. Bahunya bergetar.

Suherli hampir pula menangis.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun