Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Susu #3

8 April 2011   13:11 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:00 153 2
Dhani memarkirkan becaknya di samping rumah. Dua penumpangnya, Aris dan Naim,anak-anaknya sendiri yang baru dijemputnya dari TK dan Madrasah Ibtidaiyah langsung meloncat dan berlari memasuki rumah. Belum sempat Dhani membuka sepatu bututnya untuk mencuci kakinya pada seember air yang selalu disiapkannya di teras rumah, kedua anaknya itu sudah berlarian keluar lagi.

"Hei!" teriaknya,"jangan langsung pergi main! Makan dulu!"

"Ibu nggak masak, Pak!" sahut Naim sambil berlari mengejar Aris di depannya dan mengelap ingusnya. Sekejap kemudian anak-anak lelakinya yang lincah itu telah lenyap dari pandangannya.

Ah, Dhani lupa. Tentu saja istrinya tidak masak, karena hari ini sama sekali dia belum mendapat uang sementara pendapatannya kemarin sudah diserahkannya tanpa bersisa kepada juragan Mamar, pemilik 100 armada becak di Cirebon untuk setoran hariannya.

Dhani menghela napas panjang. Disalahkannya nasibnya yang malang, ditendang dari pekerjaannya di sebuah agen travel dan perjalanan beberapa bulan sebelum istrinya melahirkan anak mereka yang kelima. Andai saja...ah, sudahlah. Dia tidak mau lagi berpanjang-panjang dalam pengandaian dan penyesalan. Hatinya justru jadi semakin nelangsa.

"Sudah pulang, Kang?" didengarnya suara Nisa, istrinya yang muncul dari dalam rumah sambil menggendong Sahroni, bayi mereka yang baru berusia 2 bulan.

"Ya," jawab Dhani singkat lalu mengambil Sahroni dari gendongan istrinya.

"Masih tidur," kata Nisa, "dia menyusu banyak sekali."

Dhani mengangguk. Satu yang bisa disyukurinya, bayi kecilnya tidak ikut merasakan kesusahan orang tuanya, karena ternyata apa yang ditakutkannya tidak terjadi. Keadaannya yang sangat sulit untuk sekedar membelikan susu yang tidak bermerk pun, ternyata tertolong oleh keadaan istrinya. Produksi susu Nisa sangat banyak kalau tidak bisa dikatakan berlebihan, bahkan kadang terbuang percuma karena mereka tidak mempunyai lemari es untuk menyimpan kelebihan itu.

"Syukurlah," kata Dhani.

"Tapi ini, Kang," kata Nisa sambil membuat gerakan menunjuk pakaian di bagian dadanya yang terlihat basah.

"Sudah ditampung?"

"Sudah, tapi percuma saja kalau tidak disimpan di lemari es."

Dhani mengangguk-angguk. Sekelebat pikiran muncul di kepalanya.

"Istri pak Roni 82 yang baru melahirkan sebulan lalu berlawanan denganmu. Produksi susunya sangat sedikit, bahkan kadang sama sekali tidak keluar. Bagaimana kalau aku berikan saja kelebihan air susumu untuknya? Hitung-hitung amal, daripada terbuang percuma."

Nisa termenung. Kalau hanya amal memang biasa, tapi siapa tahu dengan demikian mereka bisa mendapat sekedar imbalan untuk kebutuhan hidup mereka. Pak Roni 82 terkenal sebagai orang kaya yang dermawan. Bagaimanapun juga, beliau pasti akan sangat menghargai pemberian itu.

"Jangan berpikir yang tidak-tidak," kata Dhani melihat ekspresi istrinya, "ingat, ini amal. Jangan berharap lebih!"

Nisa kaget lalu beristighfar dalam hati. Ya, jika beramal tidak boleh mengharapkan imbalan. Syukurlah suaminya mengingatkan.

"Aku ambil kelebihan itu dan langsung ke rumah beliau," kata Dhani akhirnya sambil menyerahkan Sahroni kecil ke dalam gendongan Nisa.

Cigugur, 8 April 2011

Note: meneruskan cerita Ramdhani Nur dan Mamar, penggemar berat susu dalam perspektif yang berbeda..sengaja juga tanpa gambar dan agak sedikit maksa karena dikejar-kejar kumpulan bapak-bapak RT..

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun