Ada yang menyebutkannya 2 Juli, ada pula yang menyebut 1 Juli tanpa menyebut tahun kelahiran. Hal ini mengemuka, salah satunya ketika Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) menggelar panggung gembira di seputaran Bundaran Hotel Indonesia, Minggu, 26 Mei 2024. Panggung gembira digelar sebagai bagian dari kegiatan Kirab Pancasila yang diadakan BPIP berbarengan dengan kegiatan Hari Bebas Kendaraan (Car Free Day) di sepanjangan Jalan Sudirman - MH Thamrin.
Saat itu pembawa acara mengundang 4 orang penonton untuk naik ke atas panggung gembira untuk diberikan cindera mata, namun sebelumnya harus dapat menjawab pertanyaan yang diberikan, salah satu pertanyaannya adalah "Tanggal berapa hari lahirnya Pancasila?".
Peserta pertama, seorang ibu yang mengaku berasal dari sebuah provinsi di Kalimantan menjawab bahwa hari lahir Pancasila adalah 2 Juli (tanpa tahun kelahiran). Dengan berkelakar, sang pembawa acara mengomentari jawaban si ibu "Lho kok ibu tahu tanggal kelahiran Bang Ma'i (nama pembawa acara yang lain)?".
Peserta kedua dan ketiga adalah dua orang anak sekolah dasar, menjawab bahwa hari lahir Pancasila adalah 2 Juni dan 2 Juli (lagi-lagi tanpa menyebut tahun kelahiran). Kali ini (juga) dengan berkelakar si pembawa acara berkomentar "waduh emaknya udah bela-belain duduk di tepi panggung, jawabannya ternyata masih salah".
Setelah peserta pertama hingga ketiga gagal memberikan yang tepat, barulah peserta ke empat, seorang anak sekolah dasar, dapat menjawab pertanyaan dengan agak tepat yaitu 1 Juni. Kenapa saya tulis agak tepat? Karena lagi-lagi tanpa menyebutkan tahun kelahiran.
Si pembawa acara membenarkan jawaban si anak karena mungkin tidak mau repot-repot mengejar dengan memberikan tambahan pertanyaan tentang tahun kelahiran Pancasila. Toh pertanyaan yang diajukan bukan pertanyaan ujian sekolah, hanya sekedar pertanyaan yang diajukan untuk memberikan pengetahuan tentang Pancasila kepada warga yang hadir menyaksikan acara panggung gembira, misalnya mengenai pelafalan sila-sila Pancasila dan hari kelahirannya.
Berangkat dari kejadian seperti di atas, saya memandang perlunya untuk tetap mempertahankan mata pelajaran Pendidikan Pancasia, setidaknya agar para siswa generasi muda lancar mengucapkan Pancasila dan mengetahui sejarah kelahirannya.
Oleh karena itu, langkah Pemerintah melalui Keputusan Presiden Nomor 24 tahun 2016 yang menetapkan tanggal 1 Juni 1945 sebagai Hari Lahir Pancasila dan diperingati setiap tahunnya sebagai sebuah langkah yang tepat.
Dalam pertimbangan Keppres 24/2016 tersebut disebutkan bahwa Pancasila sebagai dasar dan ideologi Negara Republik Indonesia harus diketahui asal usulnya oleh bangsa Indonesia dari waktu ke waktu dan dari generasi ke generasi, sehingga kelestarian dan kelanggengan Pancasila senantiasa diamalkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Ditetapkannya 1 Juni 1945 sebagai tanggal kelahiran Pancasila tidak terlepas dari fakta sejarah bahwa pada tanggal tersebut untuk pertama kalinya Pancasila sebagai dasar
negara diperkenalkan oleh Ir. Sukarno, Anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) di depan sidang BPUPK pada tanggal 1 Juni 1945.
Dalam Sidang BPUPK (selanjutnya disebut Sidang) yang berlangsung pada 29 Mei - 1 Juni 1945 tersebut dan dengan agenda tunggal yaitu membahas tentang dasar negara, Ketua Sidang dr. K.R.T Radjiman Wediodiningrat yang didampingi dua orang wakil ketua yaitu Itjibangase Yosio dan Raden Pandji Soeroso pada pembukaan Sidang tanggal 29 Mei 1945, sesuai agenda Sidang untuk membahas dasar negara, menanyakan kepada 60 orang anggota Sidang mengenai apa dasar negara apabila nantinya Indonesia merdeka. Â
Selama empat hari Sidang, sebanyak 32 orang anggota BPUPK telah menggunakan kesempatan untuk berbicara, yaitu 11 orang pada tanggal 29 Mei, 10 orang pada tanggal 30 Mei, dan 6 orang pada tanggal 31 Mei, serta 5 orang pada tanggal 1 Juni 1945.
Namun demikian, dari 32 orang anggota BPUPK yang berbicara dari 29 Mei - 1 Juni 1945, seperti dituliskan oleh RM. A.B. Kusuma dalam Sejarah Lahirnya UUD 1945 (buku yang memuat salinan dokumen otentik BPUPK), hanya Sukarno lah yang menyampaikan usulan tentang dasar negara yang disebut Pancasila pada 1 Juni 1945.
Usulan Sukarno mengenai Pancasila sebagai dasar negara inilah yang kemudian disepakati sebagai salah satu putusan akhir Sidang dan disepakati untuk dibahas oleh Panitia Kecil yang dibentuk oleh BPUPK dengan beranggotakan adalah Sukarno (Ketua), Mohammad Hatta, Sutardjo Kartohadikusumo, K.H. Abdul Wahid Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo, Otto Iskandardinata, Mohammad Yamin, dan Alexander Andries Maramis. Karena berjumlah delapan orang, maka panitia kecil ini kemudian disebut sebagai Panitia Delapan.
Tugas Panitia kecil adalah merumuskan kembali Pancasila sebagai dasar Negara berdasarkan pidato Sukarno 1 Juni 1945 dan menjadikan dokumen itu sebagai teks untuk Proklamasi Kemerdekaan.
Â
Nah sejak 1 Juni 1945 itulah usulan Pancasila dari Sukarno mengalami perkembangan hingga menghasilkan rumusan Pancasila sebagaimana tertuang dalam naskah Piagam Jakarta 22 Juni 1945 yang disusun oleh Panitia Sembilan yang beranggotakan Sukarno (ketua), Mohammad Hatta (wakil ketua), Alexander Andries Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdoel Kahar Moezakir, H. Agus Salim, Achmad Soebardjo, K.H. Abdul Wahid Hasjim dan Mohammad Yamin.
Lho kok Panitia Sembilan? Bukankan dalam akhir Sidang BPUPK tanggal 1 Juni 1945 yang dibentuk adalah Panitia Delapan?
Benar sekali, terjadi penyesuaian panitia kecil dari Panitia Delapan menjadi Panitia Sembilan. Penyesuaian terjadi atas inisiatif Sukarno karena setelah Sidang BPUPK berakhir 1 Juni 1945, akibat situasi perang dan keamanan saat itu, para anggota Panitia Delapan tidak memiliki kesempatan untuk bertemu dan membahas usulan-usulan peserta Sidang BPUPK 29 Mei - 1 Juni 1945.
Memanfaatkan kehadiran 32 orang anggota BPUPK, yang juga anggota Dewan Penasehat Jepang (Cuo Sangi In), yang datang untuk mengadakan pertemuan Cu Sangi In di Jakarta dari 18-21 Juni 1945 atas undangan Pemerintah Jepang, Sukarno mengundang ke-32 orang tersebut ditambah 15 orang anggota BPUPK yang bukan anggota Cuo Sangi Ini untuk bertemu dan menindakalnjuti hasil pertemuan Sidang BPUPK tanggal 29 Mei - 1 Juni 1945.
Pertemuan berlangsung pada 22 Juni 1945 dan sepakat menugaskan sembilan orang (Panitia Sembilan) untuk merumuskan dasar negara. Komposisi Panitia Sembilan ini berbeda dengan komposisi Panitia Delapan yang dibentuk sebelumnya.
Komposisi Panitia Sembilan terdiri 5 orang mewakil kelompok nasionalis yaitu Sukarno (ketua), Mohammad Hatta (wakil ketua), Mohammae Yamin, Alexander Andries Maramis dan Achmad Soebardjo dan 4 orang mewakili kelompok religius yaitu bikoesno Tjokrosoejoso, Abdoel Kahar Moezakir, H. Agus Salim, dan K.H. Abdul Wahid Hasjim.
Sedangkan komposisi Panitia Delapan sebelumnya terdiri dari 6 orang mewakili kelompok nasionalis yaitu Sukarno, Mohammad Hatta, Sutardjo Kartohadikusumo, Otto Iskandardinata, Mohammad Yamin, dan Alexander Andries Maramis.Sedangka yang mewakili kelompk religius hanya K.H. Wahid Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo,
Rumusan dari kesembilan orangPanitia Sembilan yang dikenal sebagai naskah Piagam Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945 kemudian disepakati menjadi rumusan final yang akan dibahas oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), yang akan dibentuk setelah selesai dibubarkannya BPUPK. Sejarah kemudian mencatat bahwa PPKI dibentuk pada 12 Agustus 1945 dan dalam rapat 18 Agustus 1945, sehari setelah Proklamasi Kemerdeaakn RI, hingga rumusan final, PPKI menyetujui rumusan final Pancasila sebagai dasar negara.
Dari sini tampak bahwa rumusan Pancasila sejak tanggal 1 Juni 1945 yang dipidatokan Sukarno, rumusan Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945 hingga rumusan final 18 Agustus 1945 adalah satu kesatuan proses lahirnya Pancasila sebagai Dasar Negara yang harus diketahui masyarakat.
Begitu lah sejarah singkat hari lahirnya Pancasila. Meskipun alih generasi, hendaknya semua dari kita mengetahui sejarah hari lahirnya Pancasila dan memiliki jiwa Pancasilais yang begitu luhur. Banyak tantangan di setiap sila, yang mengajak kita untuk bersama mengamalkan dalam bentuk nyata, tidak sekadar hafal semata.
Kiranya warisan pemikiran para pendiri bangsa tersebut tidak menjadi bahan candaan. Ketika generasi sekarang tidak mengetahui sejarah hari lahirnya Pancasila dan tidak hafal Pancasila, jangan berharap mampu mengamalkan nilai-nilai luhur di setiap silanya.
Tugas kita bersama untuk menjadikan hari lahir Pancasila sebagai momentum untuk kembali mengenalkan Pancasila sebagai dasar, falsafah, pandangan hidup bangsa Indonesia.
Harapannya, setelah mengenal dan hafal Pancasila, generasi penerus ini bisa mengamalkan nilai-nilai luhur, dari sila pertama hingga sila kelima dalam aktivitas kekinian yang cenderung lebih luwes.
Menjadi tugas kita bersama agar pengetahuan hari lahirnya Pancasila lebih banyak diketahui masyarakat, dipahami nilai-nilainya dan diaktualisasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Oleh karena itu pula, bentuk peringatan hari lahir Pancasila bukan sekadar upacara, ataupun bahagia karena libur nasional. Memaknai hari lahir, biasanya terselip rasa syukur di dalamnya. Salah satu wujud syukur tersebut tentu dengan bagaimana mengembalikan girah Pancasila sebagai pemersatu bangsa Indonesia.
Dan untuk mengembalikan girah Pancasila, salah satu langkah yang dilakukan Pemerintah melalui BPIP dan Kemendikbudristek adalah mengembalikan mata pelajaran Pendidikan Pancasila ke bangku pendidikan formal melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 4 tahun 2022 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan. Melalui PP 4 tahun 2022 ini, Pendidikan Pancasila kembail sebagai mata pelajaran wajib di sekolah.
Tidak cukup sampai disitu, BPIP dan Kemendikbudristek juga telah meluncurkan Buku Teks Utama (BTU) Pendidikan Pancasila untuk jenjang pendidikan sekolah dasar hingga sekolah lanjutan atas (kelas 1 s.d 12). Setiap jenjangnya terdapat dua buku, masing-masing BTU Pendidikan pancasila untuk siswa dan BTU Pendidikan Pancasila untuk guru.
Berbeda dengan buku-buku untuk pendidikan Pancasila sebelumnya, dalam BTU Pendidikan Pancasila sekarang ini terdapat perpaduan antara 30 persen pengetahuan (kognitif) dan 70 persen afektif (aktualisasi). Tujuannya agar para siswa tidak lagi mempelajari Pancasila sebagai sebuah hafalan, tetapi belajar tentang Pancasila secara menyenangkan dengan mengaktualisasikan secara langsung nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Belajar Pancasila pun bukan sekedr soal moral, tetapi juga tentang demokrasi, ekonomi, keadilan sosial dan lain sebagainya sesuai bunyi sila-sila Pancasila.
Untuk memberikan gambaran yang menyeluruh dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, substansi BTU Pendidikan Pancasila mencakup hal-hal yang menyangkut empat konsensus kebangsaan yaitu Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Repubik Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika.
Pada akhirnya, agar pembelajaran Pendidikan Pancasila tidak sekedar hafalan, peran serta aktif seluruh guru (bukan hanya guru mata pelajaran Pendidikan Pancasila) dalam memberikan pembelajaran Pendidikan Pancasila menjadi penting. Para guru kiranya dapat memasukkan pemahaman tentang Pancasila dalam setiap mata pelajaran yang diajarkannya secara menyenangkan dan melibatkan praktek langsung di lapangan sesuai capaian pembelajaran, arah tujuan pembelajaran dan tujuan pembelajaran Pendidikan Pancasila di setiap kelas. (AHU)